Setiap bertemu dengan gelandangan yang terlunta-lunta di jalan, wanita paruh baya tersebut akan menghampiri dan mengajaknya berbicara. Ekspresi wajah keriputnya akan beruah-ubah seiring dengan alur cerita. Ikut menangis ketika si gelandangan menceritakan kisah pilu,ikut tertawa ketika gelandangan tersebut menceritakan kisah konyol. Seringkali aku bertanya-tanya tentang apa yang bisa ditertawakan dari kehidupan menggelandang di jalan.
Lain halnya jika yang ditemuinya menggelandang adalah anak kecil. Sepanjang cerita wanita tersebut akan memeluk dan merangkul gelandangan kecil. Tidak peduli seberapa bau aroma tubuh si kecil, tidak peduli seberapa kotor kulitnya. Ia tetap akan memeluk hangat, penuh kasih sayang.
Setiap gelandangan yang ditemuinya di jalan berakhir sama. Dibawanya pulang ke rumah. Disuruhnya tinggal sampai kapanpun, sampai mereka memiliki tujuan mau kemana hingga rumah dua lantai ber cat putih tulang itupun penuh gelandangan. Mungkin sudah lebih dua puluh gelandangan menyesaki huniannya.
"Mami, kapan sih mami berhenti bawa gelandangan pulang? Rumah sudah sesak. Nindy bahkan harus berbagi kamar dengan 3 gelandangan!" Anak bungsunya suatu ketika protes. "Seperti sudah tidak ada privasi di rumah ini. Di setiap sudut rumah ada gelandangan!"
"Nindy!" Wanita itu berseru. "Jaga bicaramu. Kalau kamu begitu terus mending kamu saja yang angkat kaki dari rumah ini."
Ucapan itu akhirnya keluar juga. Menyebabkan mata bulat milik putri semata wayangnya berkaca-kaca. Kalimat yang sama lima tahun lalu telah pula membuat putra sulunya mengemas barang-barang ke dalam koper dan angkat kaki dari rumah mereka.
"Kamu tau, kalau Mami diusir dari panti, Mami pun akan kembali menggelandang," Wanita tua itu melanjutkan kalimatnya.
"Tapi ini bukan panti sosial, Mi!" Nindy menyela.
"Kamu tidak tau bagaimana kejamnya hidup di jalan. Kalau kamu tau kamu pun sakit hati jika diusir!"
"Terserah Mami. Nindy mau tinggal sama mas Nino aja!" Nindy meninggalkan kamar ibunya dan tampaknya setelah ini akan mengemasi pakaian dan minggat ke rumah si abang.
Wanita tua paruh baya tersebut ketika lahir telah dibuang oleh ibunya di depan emperan sebuah toko. Tubuh mungilnya kemudian ditemukan oleh sepasang gelandangan yang hidup nomaden di dalam gerobak. Bayi merah itulah yang tumbuh menjelma menjadi sosok gadis jelita. Kehidupan jalanan yang keras justru melembutkan hatinya.
Suatu ketika razia gelandangan membuatnya harus tinggal di panti. Ia seperti menemukan keluarga baru di sana. Ia mendedikasikan seluruh hidupnya untuk panti sosial tersebut. Ia tumbuh menjadi wanita cantik berhati malaikat. Menangis atas kepedihan orang lain. Tersenyum atas kebahagiaan orang lain.
"Apakah aku salah?" Wanita itu bertanya pelan menyadarkanku yang terjatuh dalam lamunan.
"Tidak, sayang," jawabku sambil beranjak dan memeluk tubuh tuanya.
Wanita tua itu adalah istriku. Dua puluh delapan tahun yang lalu aku menikahinya dan berjanji untuk tidak pernah lagi membuatnya harus tinggal di panti, terlebih menggelandang di jalan.
Pernikahan kami memberikan dya anak yang mewarisi kebaikan budinya. Aku merasa keluarga kecil kami sudah sempurna dan utuh. Namun tidak baginya. Ia tidak pernah merasakan keutuhan itu. Maka lima tahun lalu ia mulai mengumpulkan gelandangan dari jalanan untuk tinggal di rumah kami. Ia menjadikan rumah kami seperti panti sosial.
Gelandangan dan panti membuatnya merasa utuh.
#OneDayOnePost
#FebruariMembara
#HariKeEmpatBelas
Lain halnya jika yang ditemuinya menggelandang adalah anak kecil. Sepanjang cerita wanita tersebut akan memeluk dan merangkul gelandangan kecil. Tidak peduli seberapa bau aroma tubuh si kecil, tidak peduli seberapa kotor kulitnya. Ia tetap akan memeluk hangat, penuh kasih sayang.
Setiap gelandangan yang ditemuinya di jalan berakhir sama. Dibawanya pulang ke rumah. Disuruhnya tinggal sampai kapanpun, sampai mereka memiliki tujuan mau kemana hingga rumah dua lantai ber cat putih tulang itupun penuh gelandangan. Mungkin sudah lebih dua puluh gelandangan menyesaki huniannya.
"Mami, kapan sih mami berhenti bawa gelandangan pulang? Rumah sudah sesak. Nindy bahkan harus berbagi kamar dengan 3 gelandangan!" Anak bungsunya suatu ketika protes. "Seperti sudah tidak ada privasi di rumah ini. Di setiap sudut rumah ada gelandangan!"
"Nindy!" Wanita itu berseru. "Jaga bicaramu. Kalau kamu begitu terus mending kamu saja yang angkat kaki dari rumah ini."
Ucapan itu akhirnya keluar juga. Menyebabkan mata bulat milik putri semata wayangnya berkaca-kaca. Kalimat yang sama lima tahun lalu telah pula membuat putra sulunya mengemas barang-barang ke dalam koper dan angkat kaki dari rumah mereka.
"Kamu tau, kalau Mami diusir dari panti, Mami pun akan kembali menggelandang," Wanita tua itu melanjutkan kalimatnya.
"Tapi ini bukan panti sosial, Mi!" Nindy menyela.
"Kamu tidak tau bagaimana kejamnya hidup di jalan. Kalau kamu tau kamu pun sakit hati jika diusir!"
"Terserah Mami. Nindy mau tinggal sama mas Nino aja!" Nindy meninggalkan kamar ibunya dan tampaknya setelah ini akan mengemasi pakaian dan minggat ke rumah si abang.
Wanita tua paruh baya tersebut ketika lahir telah dibuang oleh ibunya di depan emperan sebuah toko. Tubuh mungilnya kemudian ditemukan oleh sepasang gelandangan yang hidup nomaden di dalam gerobak. Bayi merah itulah yang tumbuh menjelma menjadi sosok gadis jelita. Kehidupan jalanan yang keras justru melembutkan hatinya.
Suatu ketika razia gelandangan membuatnya harus tinggal di panti. Ia seperti menemukan keluarga baru di sana. Ia mendedikasikan seluruh hidupnya untuk panti sosial tersebut. Ia tumbuh menjadi wanita cantik berhati malaikat. Menangis atas kepedihan orang lain. Tersenyum atas kebahagiaan orang lain.
"Apakah aku salah?" Wanita itu bertanya pelan menyadarkanku yang terjatuh dalam lamunan.
"Tidak, sayang," jawabku sambil beranjak dan memeluk tubuh tuanya.
Wanita tua itu adalah istriku. Dua puluh delapan tahun yang lalu aku menikahinya dan berjanji untuk tidak pernah lagi membuatnya harus tinggal di panti, terlebih menggelandang di jalan.
Pernikahan kami memberikan dya anak yang mewarisi kebaikan budinya. Aku merasa keluarga kecil kami sudah sempurna dan utuh. Namun tidak baginya. Ia tidak pernah merasakan keutuhan itu. Maka lima tahun lalu ia mulai mengumpulkan gelandangan dari jalanan untuk tinggal di rumah kami. Ia menjadikan rumah kami seperti panti sosial.
Gelandangan dan panti membuatnya merasa utuh.
#OneDayOnePost
#FebruariMembara
#HariKeEmpatBelas
Cool..
ReplyDeleteItu rumahnya segede apa ya? Hehe
ReplyDelete