Sunday, November 13, 2016

Tangan-Tangan Pendosa


Flashfiction ini dibuat dalam rangka mengikuti sayembara menulis flasgfiction yang diadakan oleh grup menulis LovRinz and Friend


Gambar dari ilustrasi buku Air Mata Shakespeare karya Ida Fitri


Ara menatap kubangan darah yang merembes dan membuat lantai kamar itu memerah. Ini pemuda ketiga belas yang ia patahkan tangannya dalam kurun waktu kurang dari empat puluh hari. Empat puluh hari saja waktunya.

Ini hari ketiga puluh sembilan. Ia tidak akan terburu-buru. Masih ada satu laki-laki lagi yang ingin ia temui. Ia tahu persis di mana laki-laki itu bisa dijumpai.

Ara mengayunkan langkahnya dengan ringan. Begitu ringan hingga ia merasa bisa terbang terbawa angin. Satu saja tujuannya. Ladang ilalang di belakang kuburan.

"A..ara? Kau kembali?" Pemuda itu sendirian. Ara bisa mencium bau tuak yang menyengat dari napasnya, "kau jauh lebih cantik dari terakhir kali kita bertemu."

Ara hanya tersenyum. Ia mendekat dan menggenggam jemari pemuda itu. Sang pemuda gigil. Tangan Ara begitu dingin.

"Ada apa? Kau mau kita bersenang-senang lagi seperti dulu?"

Ara mengangguk girang. Tangannya masih meremas-remas jemari si pemuda. Ingin rasanya Ara mematahkan jari-jemari itu namun yang ia lakukan hanya mengambil botol tuak dari tangan si pemuda lalu memecahkannya di atas batu.

"Hei! Kenapa kau pecahkan minumanku?" Pemuda itu tidak terima. Ia mengayunkan tangannya menampar Ara namun yang didapat hanya udara.

Sementara Ara menunduk dan menggapai salah satu pecahan beling dan dalam hitungan detik menghunuskan beling itu ke mata si pemuda.

"Argggggghh!" Teriakan pemuda itu menggema. Namun Ara tak peduli. 

Ia meraih lengan si pemuda kemudian memelintirnya hingga bunyi tulang patah meyakinkan Ara bahwa pemuda itu tidak akan lagi bisa menggunakan tangannya untuk menyentuh Ara, atau menyentuh perempuan manapun di muka bumi ini.

Setelah itu Ara berbalik pulang. Ia ingin menemui ibu dan mengatakan pada wanita tua itu untuk tidak menangisinya sebab ia kini sudah kembali.

Di ambang pintu Ara mematung. Ibu tampak murung. Mata tua itu sedih. Harusnya Ibu mengurangi kegiatan menangisnya sebab kini  Ara sudah kembali setelah empat puluh hari menghilang. Ara sudah ditemukan dari balik belukar di ladang ilalang belakang kuburan. 

Ibu kini tinggal membersihakan lebam dan jejak sperma yang mengering di sekujur tubuhnya. Lalu mengafaninya.

Gadis dengan Saksofon

FlashFiction ini ditulis dalam rangka mengikuti sayembara menulis yang diadakan oleh Grup Menulis LovRinz and Friend

*
*

Gambar diambil dari ilustrasi buku Air Mata Shakespeare karya Ida Fitri


Sejak awal Tuhan tidak pernah bermaksud menciptakan Hawa. Begitulah yang kami tangkap. Andaikan Adam tidak terlalu banyak tuntutan, Hawa tidak perlu tercipta dan mereka tidak perlu terbuang ke bumi.

Adam hidup bergelimang segalanya di dalam tempat yang indahnya paripurna. Surga. Lihatlah akibat nafsunya, kini anak keturunannya terbuang, terseok-seok di muka bumi, digoda iblis yang durjana, tapi kalau mati nanti kembali mengharapkan surga. Sudah patut ada nama Hawa yang mendahului kata nafsu.

"Pras, coba kamu pikir lagi niatmu mempersunting gadis itu."

"Sudah, Ibu." Prasta menjawab singkat. Tak berniat goyah. Begitulah yang kami tangkap dari raut wajahnya.

"Orang tua gadis itu meminta mahar yang jumlahnya tidak masuk akal. Mereka ini mau menikahkan atau menjual anak sih?!" Wanita yang dipanggil ibu oleh Prasta berjalan mondar-mandir mengelilingi ruang makan sambil tangannya memijit kening. 

"Tabunganku dan hasil jual rumah ini akan mencukupi untuk membayar maharnya, Ibu." 

"Apa?! Kau mau jual rumah ini?" Ibu berhenti mondar-mandir, "Ibu tau ini rumahmu dan kau berhak melakukan apa saja pada rumah ini. Tapi lalu kau mau tinggal di mana?"

"Aku akan membeli rumah yang lebih kecil." Prasta menjawab. Tidak ada lagi ragu dalam wajahnya. Begitulah yang kami tangkap.

"Kau sudah buta karena cinta rupanya!"

Prasta diam. Rasanya kami ingin bilang kepada ibu bahwa Prasta bukan dibutakan cinta. Tetapi lebih tepatnya ia ditulikan cinta. Prasta tidak pernah melewatkan hari tanpa menonton video salah satu band jazz, dimana gadis itu memainkan saksofon. Kami baru tahu nama alat musik tiup itu saksofon. 

Gadis itu memang cantik dan caranya memainkan saksofon begitu merdu.

"Aku rela menjual segalanya untuk mempersuntingnya, Bu. Mengertilah." Keputusan Prasta tampaknya final.

Ya, ya begitulah. Sudah kodrati kaum Adam rela meninggalkan segalanya demi bisa memiliki Hawa. Nenek moyang mereka saja rela meninggalkan surga. Tidak peduli andaipun hanya bisa memakai dedaunan untuk menutupi kebodohan mereka. 

"Banyak semut!" Prasta mengibaskan lembaran roti di atas meja tempat koloni kami berkumpul sebelum memakannya. 

Kami terhempas ke udara. Aku menyesalkan tindakan Adam yang tidak puas dengan surga sehingga Tuhan murka dan melemparnya ke bumi. Karena ulahnya, sepasang nenek moyang kamipun harus turun ke bumi demi menemani Adam dan keturunannya.

Dunia dalam Perahu


Jadi ceritanya, saya lagi ikut sayembara menulis Flash Fiction yang diadakan oleh grup menulis LovRinz and Friend dengan cara bercerita sesuai dengan gambar yang ditentukan. Gambar-fambar tersebut diambil dari buku karya mbak Ida Fitri berjudul Air Mata Shakespeare. Sepertinya itu kumpulan cerpen. Bagi yang berminat bisa langsung memesan di Penerbit LovRinz


Gambar dari Ilustrasi Buku Air Mata Shakespeare karya Ida Fitri


Berminggu-minggu aku coba meyakinkan istriku bahwa bumi tidak bulat seperti yang selama ini dia sangkakan.

Dunia sesungguhnya berbentuk cerukan seperti perahu. Pasangan dewa-dewi bersemayam di dalam sebuah ruang kendali dan berperan sebagai nahkoda yang mengarahkan ke mana perahu ini akan menuju.

"Dewa bersemayam di langit. Terakhir kali dewa turun ke bumi itu adalah Wisnu yang menitis kepada Rama." Istriku selalu bilang seperti itu setiap kali kuperingatkan.

Sepasang dewa-dewi sudah turun ke bumi dan tinggal di sebelah rumah kami. Itu adalah ruang kendali tempat mereka memutar roda kemudi untuk membawa perahu, yang ternyata adalah dunia, pergi sesuka hati mereka.

Aku harus meyakinkan istriku untuk pergi. Aku tidak mau hidupku dikendalikan oleh dewa-dewi. Firasatku mengatakan mereka akan menenggelamkan perahu ini hingga ke dasar. Begitu manusia kehabisan napas, mereka terbang kembali ke khayangan.

"Kau dengar suara itu? Mereka mencoba mencuci otak manusia. Lihat, tetangga-tetangga kita berbondong-bondong menuju ke balai kota. Pasti setelah ini akan ditenggelamkan."

"Sudahlah suamiku. Sebaiknya kau istirahat di kamar."

Aku menuruti perintah istriku. Tidak. Aku tidak akan tidur. Aku akan memeriksa jalan rahasia yang kutemukan beberapa hari yang lalu untuk meloloskan diri.

"Sayang!" Aku berseru memanggil istriku, "Ayo cepat kita pergi sebelum orang-orang menyadari kita tidak itut ke balai kota."

"Astaga! Apa yang akan kau lakukan?" Ia menjerit.

"Ayo kita lompat dari perahu ini. Kau bisa berenang kan?"

Istriku menggeleng.

"Kau tidak mau ikut aku? Kau lebih memilih mendengarkan kata dewa?!"

Istriku kembali menggeleng. Kini sambil berurai air mata.

Aku menyesali sikap istriku. Tapi kemudian aku ingat bahwa istri Nabi Nuh pun tak selamat dari bah karena mengabaikan perintah suaminya.

"Suamiku, menyingkirlah dari jendela!"

Itu kalimat terakhir istriku yang kudengar sebelum aku melompat keluar dari perahu. Setelah itu aku mencoba berenang namun kaki dan tanganku terasa sakit.

Orang-orang yang menuju balai kota mulai mengelilingku.

"Kasihan sekali dia. Depresi karena dikalahkan tetangga sendiri di pemilihan bupati."

"Kabarnya dia sampai jual seluruh harta untuk kampanye. Sekarang malah terlilit hutang."

"Dia kan suka 'black campaign'. Bilang-bilangin bupati terpilih koruptor.”

“Sebaiknya kita bergegas ke balai kota saja. Pelantikan bupati akan dimulai.”

Bisik-bisik masih berlanjut. Jeritan istriku terdengar semakin jauh.

Monday, October 31, 2016

Sedang Ingin Membuat Novel

Saya sedang berpikir untuk membuat sebuah novel ringan yang manis (meski tulisan saya sebelum-sebelumnya tidak bisa dibilang berat). 

Cova -coba mulai buat paragraf per paragraf. Tanda baca saya berantakan, tapi akan saya edit seiring waktu. Mood saya lebih berantakan lagi. Belum pula membagi waktu antara kerjaan kantor, ical (suami saya) dan baby ahmad.

Tapi, biarlah saya mencoba. Meski mungkin proses ini memakan waktu lama. Hiksss..


Ini cuplikan novel yang sedang saya rencanakan.


Marry Me or You Die


Aku sedang menunjukkan grafik laba perusahaan kami yang menukik tajam di smester pertama ketika bunyi sepatu high heels terdengar tergesa-gesa menuju ruang meeting.

Pintu terbuka dengan kasar dan sepintas kulihat seorang wanita berambut panjang dengan blazer hitam dan dress merah selutut. Di belakangnya, satpam yang menjaga pintu masuk tergopoh-gopoh.

"Nona, anda ma..." kalimatnya belum selesai ketika secepat kilat wanita yang kutaksir usianya di penghujung angka dua puluh itu merogoh tas jinjingnya.

Memoriku belum pula selesai memindai wajah asing tersebut saat dari dalam tasnya ia mengambil dan menodongkan senjata ke arahku.

Sontak, jeritan histeris peserta meeting membahana.

Satpam kantor yang biasa kusapa dengan Bang Jul melongo dengan mulut membuka sempurna.

"Bapak Al Gibran Dirgantara," Suara perempuan itu, entah bertanya entah menggertak.

"I..iya, saya sendiri," Aku memutuskan untuk menjawab di tengah berbagai perasaan yang berkecemuk. Didominasi rasa penasaran akan siapa gerangan wanita yang menodongkan senjata padaku ini dibandingkan rasa takut kalau-kalau tangan lentik itu memutuskan menarik pelatuk.

"Jika ada yang coba-coba menghubungi polisi, maka Anda yang akan menanggung akibatnya!" Kali ini aku yakin dia menggertak.

Aku melirik ke arah Bang Jul dan membiri isyarat untuk tidak melakukan apapun.

Mau apa sebenarnya perempuan ini? Mau merampok bank rempatku bekerja? Harusnya dia melakukan itu di lantai satu, tempat nasabah bertransaksi di teller, bukannya di lantai lima. Di unit kredit.

"Aku Carissa Chairani. Semoga kau ingat siapa aku." Wanita itu berkata lagi. Baru kali ini ada penjahat yang memperkenalkan diri.

Memoriku memulangkan ingatanku pada kejadian satu bulan yang lalu, ketika aku mulai mendapat terror di telepon. Mulai dari mengajak bertemu hingga mengancam akan melakukan tindakan gila jika aku tidak menemuinya dan mengabulkan permintaannya.

Tentu saja semua telepon dan ajakan bertemu itu kuabaikan. Aku tidak mengenal wanita itu, aku tidak berniat mengenalnya dan aku tidak peduli siapa dia. Selain itu permintaannya sungguh tidak masuk akal. Dia meminta...

"Marry me, or you die with missery." Wanita yang bernam Carissa itu kembali membuka suara. Tangannya masih menggenggam pistol yang ditodongkan padaku.

🐾🐾🐾

"Al Gibran Dirgantara," aku mengeja namanya sambil meng 'googling' nama itu. Keluar beberapa hasil pencarian yang merujuk pada facebook dan linkedIn.

"Udah ketemu, Ris?" Lena membaringkan tubuhnya di sampingku. Menjejalkan kepalanya ke depan layar laptop. "Ih, cute juga ya orang ini."

"Apaan sih?!" Aku menjitak kepala Lena. Sahabat baik sekaligus rekan kerjaku di perusahaan. Ia interior designer. Aku arsitek.

"Kamu serius nih mau cari orang ini? Kamu yakin ini orang yang dimaksud Opa kamu?" Lena bertanya memburu.

"Aku serius. Tapi aku nggak yakin ini orangnya. Bisa saja ada banyak orang yang memiliki nama seperti ini di dunia,"

"Tapi tadi cuma satu kan hasil pencariannya di facebook. Eh, coba lihat di linkedIn. Dia kerja dimana sih?" Lena mengambil alih laptopku dan mulai mengutak-atik informasi seputar lelaki bernama Al Gibran Dirgantara. Lelaki yang disebutkan Opa dalam surat wasiatnya.

Hari ini 40 malam kematian Opa. Keluarga satu-satunya yang kumiliki sejak orang tua dan kakakku meninggal dalam sebuah kecelakaan mengenaskan 20 tahun yang lalu. Ayahku, pewaris tunggal perusahaan pengembang milik Opa. Ketika Ayah meninggal rupanya Opa mengganti seluruh isi surat wasiat. Pengacara keluarga kami membacakannya di minggu pertama setelah kematian Opa padaku.

"Seluruh kekayaan pribadi dan saham perusahaan milikku kuwariskan sepenuhnya tanpa terkecuali ke satu-satunya cucuku, Carissa Chairany' dengan satu syarat. Ia harus menikahi seorang pemuda bernama Al Gibran Dirgantara anak dari Haris Dirgantara, cucu dari Rasyid Umar Dirgantara," Om Beno, pengacara keluarga kami membacakan isi surat wasiat Opa, "Jika Carissa menikahi pemuda lain, maka ia hanya behak atas 1 unit rumah tipe 36 yang ada di perumahan Permata Jaya dan panti asuhan. Dia boleh memilih rumah yang mana.  Sedangkan seluruh aset dan saham atas namaku kuhibahkan ke badan amal negara dan pengelolaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab badan amal tersebut."

Aku terkejut mengetahui isi surat wasiat Opa. Siapa Al Gibran Dirgantara? Kenapa Opa ingin aku menikahinya? 

"Eh, udah ketemu nih. Dia kerja di bank. Kebetulan aku punya teman yang kerja di bank ini juga. Aku telponin ya."

Aku mengangguk tanpa antusias.

" Halo, Win. Kamu masih kerja di tempat lama kan? Bagus. Kamu kenal sama Al Gibran Dirgantara nggak? Hah?!supervisor kamu?"

Aku mulai mendengar dengan antusias. "Tanyain nama bapaknya siapa," Aku berbisik.

"Tau nggak nama bapaknya siapa? Nggak kenapa-napa sih. Tolong cari tau dong nama bapak dan nama kakeknya. Hahaha. Nggak, aku nggak sedang bercanda. Mau aku prospek. Kali aja bisa kasih masuk penawaran desain interior ke bank kamu. Oke deh. Aku tunggu loh ya. Nggak lah! Aku nggak naksir. Kenal aja nggak. Hah? Udah punya tunangan? Udah prewed? Iya sih lumayan ganteng."

Aku memukul punggung Lena dan menatapnya dengan wajah 'nggak- usah-ngelantur-kemana-mana pembicaraannya-please!'

"Kenapa kamu protes?!" Lena berseru padaku setelah menutup ponselnya. "Ini penting. Kalau dia sudah punya tunangan, kecil kemungkinan kamu bisa merried sama dia kan?"

"Siapa bilang aku mau merried sama dia?" Bantahku.

"Oh, ya? Lalu? Bagaimana anak asuhmu. Siapa yang mau kasih makan dan biayai sekolah mereka. Gaji plus bonus plus hasil jual rumah tipe 36 tidak akan cukup bahkan hanya untuk uang makan sebulannya mereka. Beli susu gimana? Bayar uang sekolah gimana?"

Lena memarahiku seperti ibu memarahi anaknya. Aku bahkan nyaris lupa bagaimana rasanya dimarahi oleh ibu. Ibuku meninggal saat usiaku baru enam tahun.

Sesungguhnya aku tidak peduli seliruh kekayaan Opa mau dikemanakan olehnya. Jangankan rumah tipe 36, aku bahkan bisa hidup dengan membayar kos bulanan. Gajiku sebagai arsitek sudah lebih dari cukup untuk menghidupi diriku. Tapi tentu saja tidak cukup untuk membiayai panti asuhan keluarga yang di dalamnya tinggal 200-an anak dari yang  masih bayi merah hingga yang sudah lulus SMA.

Kenapa Opa begitu tega membiarkan ke-200 anak itu terlantar dengan surat wasiat yang tidak masuk akal. Aku tahu rasanya menjadi yatim piatu. Aku tidak mau, mereka yang yatim piatupun, harus merasakan hidup terlantar.

Lena mengusap air mata yang tidak terasa mengalir di pipiku.

"Aku tau kamu bukan perempuan tamak yang haus kekayaan, Ris. Tapi kamu harus berjuang suapaya 200 anak asuh mu itu bisa hidup."

Ponsel Lena kembali berbunyi. Ia menjawabnya dengan antusias, "gimana Win? Ooo, Nama bapaknya Haris. Nama kakeknya Rasyid. Mereka tinggal dimana sih? Hah? Di kota ini juga? Oke, thank you ya infonya. You are the best darling."

Lena kini menatap ke arahku. "Sekarang pilihan ada di tanganmu sepenuhnya, Carissa."

Aku mengangguk. Aku tahu kok Len, apa yang harus aku lakukan.

🐾🐾🐾

Wednesday, October 5, 2016

Balada Batita dan Emak-emak Rempong



Manado sendu, hujan jatuh titik-titik. 

Seperti biasa di hari biasa di pagi yang biasa. Terbangun dengan rasa kantuk yang masih menggelayut di mata. Terbangun karena batita berumur 1.5 tahun bikin rusuh depan kamar karena pup dan ribut minta dicebok. Kalau di hari kerja batitaku memang tidur malamnya sama Oma. Ah, thx to mama yang sangat pengertian. Regardless how old you are, you are still mommy's little girl. 



Bayangkan pengorbanan seorang mama, di hari tuanya yang masih rela mengurus cucu karena 'little girl' nya ini masih sok-sokan jadi wanita karir. Tenang mama, saya pun tidak mau selamanya harus bangun pagi meninggalkan anak untuk ke kantor. Doakan saya ya mama. Doakan saya untuk lebih percaya bahwa rejeki Allah bisa dijemput tanpa harus keluar rumah.


Aminnnn

Sunday, October 2, 2016

Perkara Rindu


credit


Dear Pierre,

Dimana lagi aku bisa menjumpaimu selain lewat pena dan kertas yang beradu. Yang sudah-sudah pun begitu. Belum habis pula rindu sudah kau suguhi sedu yang membiru. Kuharap kau tidak lupa rencana-rencana pernikahan yang kita susun meskipun itu sudah lama berlalu. 

Pierre cintaku,

Aku tidak tahu apakah itu pisau atau peluru yang bersarang di dada kirimu. Sebab hanya kabar duka yang datang padaku kala itu. Apapun itu telah menanggalkan nyawamu.

Kalau bisa aku tidak ingin berhenti menangis, sebab hanya itu yang mengobati rindu. 

Pierre,

Mari kuantarkan kau mengingat kembali kisah perjumpaan kita. Kala itu Jendralmu yang berpidato gagah namun mataku tak mau lepas dari wajahmu yang tampan. Darah Prancis rupanya lebih tinggi viskositasnya di dalam tubuhmu. Meski begitu kecintaanmu pada negri ini aku rasa lebih dari siapapun.

Mari kuantarkan kembali ingatanmu pada makan malam romantis kita yang pertama dimana kau bercerita tentang orangtuamu yang menginginkan putranya menjadi dokter namun kau lebih memilih masuk militer. Kau bilang menjadi intelejen dan memata-matai Malaysia sangat menyenangkan. Kau sudah mencintai negri ini lebih dari apapun, Pierre.

Lalu ketika kau memutuskan mengaku sebagai Jendral Nasution yang berakhir merenggut nyawamu dan ragamu dari diriku, aku tahu kaupun telah lebih mencintai negri ini dibanding aku, tunanganmu.

Pierre,

Aku harap rindu masih menyapamu meski surat ini tak akan pernah kau baca lagi. Aku sedang memperhitungkan untuk kapan-kapan menziarahimu di tempat yang mereka sebut lubang buaya itu. 
Sementara, biar saja doa ini yang mengantar rindu yang menggebu padamu.

Pierre cintaku,

Membayangkan bagaimana ajalmu menjemput selalu membunuhku. Bagaimana bisa seseorang begitu tega merenggut anak dari orang tuanya, kakak dari adiknya, kekasih dari kecintaannya, calon suami dari tunangannya. 

Bagaimana bisa seorang manusia begitu tega menjejalkan jasad manusia lain begitu saja dalam satu lubang.

Oh, Pierre

Aku berharap semoga Negri ini memeperlakukanmu dengan layak, meski hanya kepada sisa-sisa tulang-belulangmu.


Salam rindu selalu,
Rukmini.


(Surat di atas hanya fiktif. Terinspirasi dari kisah cinta Pierre Thendean dan Rukmini yang LDR dan harus kandas karena Pierre terbunuh pada peristiwa G30SPKI kala melindungi Jendral Nasution)

Fakta :

1. Pierre Thendean keturunan Prancis
2. Orang tuanya menginginkan Pierre menjadi dokter.
3. Pierre sebagai ajudan Jendral memang tampan sehingga kemanapun Jendral pergi, Pierre yang menjadi pusat perhatian.
4. Pierre pernah menjadi intelejen untuk memata-matai Malaysia ketika Presiden Sukarno sedang gencar-gencarnya mencanangkan ganyang Malaysia.
5. Pierre terbunuh karena ketika itu mengaku sebagai Jendral Nasution

Friday, September 9, 2016

Tulisan Terbit


Hello----


Menulis ini di kantor ketika sedang meeting dengan Divisi Legal dari Kantor Pusat yang berkunjung. Pegawai lain yang meeting.  Saya bolos. Heheh (Jangan ditiru).


Seperti yang sudah saya ceritakan pada postingan terdahulu, waktu itu saya ikut lomba menulis cerita abak Islami yang diselenggarakan oleh Pro-U Media dan Alhamdulillah saya menang. Hadiahnya jangan ditanya. Banyak Pokoknya!!!


Nah, salah satu hadiahnya adalah tulisan tersebut di terbitkan dalam buku kumpulan cerpen dan dipasarkan oleh pihak Pro U Media. Pada Official Web Pro-U Media sudah ada tuh... Kira-kira beginilah tampilannya....




Gambar dari sini

Nah, ayo dibeli untuk koleksi bacaan anak Anda ya..... :) (sudah kayak emak-emak belum saya? heheh)

Btw, cerpen saya yang nomor 1. Hohohoho



ciyaooooo.....