"Terimakasih telah datang untukku" suara lembut wanita itu berbisik di telingaku.
Tubuhnya masih dalam dekapanku. Menghentakkan memoriku ke lima belas tahun silam. Pantai Fatucama. Patung Kristus Raja. Wanita bermata sebiru laut Flores. Aku tidak tahu cinta pertama bisa sedasyat ini. Menghujam. Membekas.
Telepon genggam di kantung celanaku berdering. Aku menjauhkan tubuh wanita itu dari dariku, merogoh kantung celana, kemudian berjalan menjauh demi melihat nama yang tertera di layar ponselku.
Aku memberikan isyarat untuk menjawab telepon dan wanita itu mengangguk. Aku berbicara sekenanya pada orang di seberang telepon. Mataku tetap lekat pada wanita kulit coklat di bawah pohon cendana itu. Memerhatikannya membuat memoriku kembali mengelana. Lima belas tahun silam dan rasa yang kata ayahku hanya cinta monyet masih meyisakan lubang kelam di sana. Sialan!
"Kau masih ingat nama makanan ini? Kita sering beli di kantin sekolah dulu" Ujar wanita bermata biru itu begitu aku menutup telepon dan menghampirinya.
"Paung" Kami menyebut nama roti yang dipegangnya itu hampir bersamaan lalu tertawa terbahak. Masa SMA memang sulit dilupakan. Dan roti seperti bakpau namun tanpa isi itu mewarnai masa SMA kami.
"Apa yang kau lakukan lima belas tahun ini?" Tanyanya kemudian.
"Aku?" Sedikit kaget mendengar pertanyaannya. Haruskah kujawab aku menghabiskan lima belas tahun untuk melacak keberadaannya? "singkat cerita, aku menjadi kepala divisi eksplorasi di salah satu perusahaan tambang bijih besi"
Wanita itu mengangsurkan sepotong paung padaku.
"Obrigado" Kataku sambil mengambil penganan khas tersebut dan langsung menggigitnya.
Dia tertawa. Senyumnya semanis dulu. Giginya serapih dulu. "Aku ingin dengar versi panjangnya" Katanya. "ya, di Kupang memang banyak tambang bijih besi. Jadi kau kesini karena ada urusan pekerjaan?"
"Begitulah. Perusahaanku mengekspor bijih besi NTT" Jawabku sekenanya. "lalu kau, apa yang kau lakukan lima belas tahun ini?"
"Menjalani hidup" Jawabnya singkat. "dan mencintaimu".
Aku tertegun mendengar jawabannya. Potongan paung yang terlanjur kugigit, mati-matian kutelan.
Di ufuk timur fajar sudah sempurna merekah. Berkas sinarnya membuat kulit coklat wanita di sampingku ini berkilau. Pohon-pohon cendana tua sudah bangun dari tidur semalam. Dedaunannya bergemirisik menyambut angin pagi yang berlarian menerpa.
Tanpa kusadari tempat ini sudah ramai saja. Penjaja makanan ringan semakin banyak berdatangan.
"Siapa yang menelpon tadi?" Tanyanya lagi.
"A..apa?" Aku tergagap.
"Siapa yang telepon tadi? Apakah penting? Apakah kau harus segera pergi?" Tanyanya memburu.
Aku terdiam. Haruskah kukatakan yang menelpon adalah seorang wanita yang sebulan lagi aku akan aku nikahi? Seorang wanita yang bukan dirinya.
PS :
Paung : Penganan khas Timor-Timur. Bentuknya seperti bakpau namun tidak ada isi di tengahnya.
Obrigado : Ungkapan terimakasih. Digunakan di beberapa negara seperti Portugis, Brazil dan Timor-Timur
#OneDayOnePost
#FebruariMembara
Dahsyat, selalu ada kejutan diakhir cerita :))
ReplyDeleteSelalu suka cerpen mbak sabrina..
ReplyDeleteYuk gelar tikar sambil makan paung
Selalu suka cerpen mbak sabrina..
ReplyDeleteYuk gelar tikar sambil makan paung
{y} :)
ReplyDelete{y} :)
ReplyDeleteMau saya panjangin jadi novel ah..hehhehe.mau nyaingin qumli tuprok, spectra, bug bang, sepotong diam, bukan sembarang penguasa Dan Novel2 lain yang sudah melegenda di ODOP :))
ReplyDeleteAku suka bagian ini
ReplyDelete"Menjalani hidup" Jawabnya singkat. "dan mencintaimu".
Beuh, nyesss
Aku suka bagian ini
ReplyDelete"Menjalani hidup" Jawabnya singkat. "dan mencintaimu".
Beuh, nyesss