Tuesday, May 24, 2016

Nyonya Besar

Dilihat dari bentuknya maka seluruh penduduk kota sepakat bahwa jenis kelamin pohon beringin tua di tengah alun-alun ini adalah perempuan. Bagiku, cabangnya yang rimbun di bagian atas sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa pohon itu memang benar berjenis kelamin perempuan. Bukankah pikiran perempuan selalu lebih dari dua cabang? Karena posturnya yang tambun, pohon itu kerap dipanggil Nyonya Besar.

Nyonya Besar selalu membanggakan usianya yang hampir 20 dasawarsa. Tidak ada manusia yang mampu mengimbangi umurnya, maka ia akan murka jika ada manusia yang tidak menghormatinya.

"Aku jadi tambun begini karena menyerap begitu banyak air." Katanya suatu ketika. 

Aku sedang duduk-duduk di bawah naungannya ketika itu.

"Kau jadi berlemak begini karena suka memakan daging manusia." Seseorang membantah. "Terlebih yang perutnya buncit. Makanan favoritmu."

Nyonya besar tergelak hingga seluruh tubuhnya bergetar dan dedaunan rontok satu-satu dari kepalanya.

Seluruh penjuru kota paham tabiat si Nyonya Besar. Ia sangat penyayang dan welas asih seperti kebanyakan wanita pada umumnya. Ia pun memiliki naluri keibuan itu. Pada ranting rimbunnya tinggal berbagai jenis burung dan serangga. Ia gemar memberikan kehidupan bagi makhluk lain. Di lain pihak pun gemar memangsa manusia. Terutama manusia-manusia rakus yang punya niat jahat terhadapnya. Manusia rakus teridentifikasi dari perutnya yang buncit.

Aku memandang sekilas ke selusur akar yang jadi tempatku duduk membaca buku di sore itu. Tak jauh dari sana ada potongan kaki yang menyembul ke permukaan. Itu pasti kaki milik pria buncit yang dimakannya sore kemarin.

"Oops, itu sisa makanku. Belum tercerna semua."Nyonya besar menjawab rasa penasaranku diiikuti selusur akarnya yang menggeliat meremukkan potongan kaki tadi dan melesakkannya ke dalam tanah. 

Aku tertegun sejenak sebelum kembali menekuri bukuku.

Nyonya Besar Berbadan tambun. Perlu 10 orang dewasa saling merentangkan tangan melingkar untuk memeluknya. Dengan adanya dia alun-alun kota menjadi sangat rindang. Kontras dengan kondisi sekitar yang dipenuhi hutan beton dan menara-menara tinggi menjulang. Di kota ini, satu-satunya pohon yang tersisa hanyalah si Nyonya Besar. Kau bisa menjumpai pohon lain di kota sebelah. Kalau tidak salah ada dua. Si Tua Ketapang dan Si Jangkung Jati. Di kota sebelahnya kota sebelah ada juga Sam Si Samanea. Mereka semuanya gemar memberikan kehidupan bagi burung dan serangga, namun hanya si Nyonya Besar yang doyan memakan manusia buncit.

"Lama-lama kau akan ditebang kalau masih saja makan manusia." Lelaki itu kembali membuka suara menghentikan gelak tawa si Nyonya Besar.

"Sudah. Semuanya berakhir sama. Habis kusantap. Hahahahahah." Nyonya Besar menjawab santai.

Tubuh Nyonya Besar yang seukuran rentangan tangan 10 orang dewasa membuatnya menjadi incaran para manusia rakus untuk ditebang. Jika tempat Nyonya Besar berpijak itu dijadikan lahan parkir mol yang ada di depannya, maka akan sangat strategis bagi pengembangan mol tersebut.

"Lain kali mereka akan menggunakan alat yang lebih canggih untuk menebangmu, sehingga kau tidak punya waktu, jangankan untuk memakan mereka, meranggaspun tidak." Suara si lelaki tua. Ia beranjak.

"Oh, terimakasih sudah mengingatkan. Saat itu terjadi aku ingin kau membuat bahtera." Nyonya Besar menyahuti punggung lelaki tua.

Dedaunan berguguran dari tubuh Nyonya Besar. Menmbuat tanah menjadi seolah berlapis karpet hijau. 

"Ini bulan Desember. Belum waktunya kau meranggas, Nyonya." Gumamku pelan.

"Oh, dear. Maafkan aku. Ini bukan mauku. Bumi sudah semakin panas. Cuaca sudah berubah dengan cara yang paling ekstrim. Tidak ada lagi hujan di bulan Desember."Ujar Nyonya. "Aku perlu meranggas untuk menjaga kestabilan metabolismeku."

Aku mengangguk paham. Seperti halnya perempuan yang mengalami siklus menstruasi, Nyonya Besar juga punya siklus meranggas.

"Oh ya dear, aku juga ingin kau membuat bahtera yang cukup untuk memuat keluargamu."

"Kenapa dengan bahtera itu Nyonya?"

"Buatlah, hanya untuk berjaga-jaga."

"Baik, Nyonya," Ucapku sebelum beranjak.

"Kau manis sekali. Sini kukecup dulu."

Aku mengangsurkan tubuh mendekap Nyonya Besar. Tepat di  jidatnya ada lubang tempat burung hantu bersarang.

***

3 bulan setelah pelukan itu Nyonya Besar ditebang dengan buldozer oleh sekelompok manusia rakus berperut buncit.  3 hari berturut-turut turun hujan deras tanpa jeda. Bendungan di pinggir kota tak mampu menampung air bah. Pun, tak ada lagi akar-akar Nyonya Besar yang menahan laju air. 

Bahtera yang kubuat sudah siap kugunakan. Nanti jika air bah telah setinggi langit-langit. Sekarang baru setinggi gagang pintu.

Monday, May 9, 2016

(Masih) Nyala Untuk Yuyun

Jika rasa bisa berwarna dan asa bisa berwujud, maka warnaku adalah lembayung dan asaku serupa payung. Mengembang riang menyambut penghujung hujan dan muasal bianglala tujuh gradasi. Indah.

40 hari sudah arwahku melayang-layang. Belum pulang ke nirwana sebab ada sekeping hati menahanku di labirin fana.
Ibu.

Sampai kapan kau tumpahkan air yang membentuk anakan sungai di pipimu itu? Tidak cukupkah pelita yang menyala dari ujung-ujung negri demi mengantarkan doa-doa yang dilangitkan padaku?

Ibu, maafkan putri kecilmu ini. Dalam keadaan mengenaskan meninggalkanmu. Ketika 14 tahun lalu kau menangis menyambut kedatanganku, haruskah ketika 14 tahun kemudian hatimu terkoyak mengantarkan jasadku yang lebam ke dalam lahat?

Rasaku berwarna lembayung. Tersesat menggantung antara surga dan pulang. 

Asaku berwujud tangkupan payung. Ada harap dan gumpal-gumpal doamu terselip. Sekaligus impian untukku di usia 25. Barangkali sukses dan menikah dengan pria yang juga berbakti padamu.

Barangkali memberikan cucu-cucu lucu yang menghibur hari tuamu.

Barangkali merawat tubuh tua ringkihmu atau sekedar menyuapi bubur di sore harimu.

Berhenti di situ saja. 
Kini aku tinggal seberkas nyawa tak berwujud. Bersama doamu aku ingin terbang. Bukan meninggalkanmu, hanya untuk pergi menunggumu di gerbang surga. 

Terimakasih ibu. 

Terimakasih untuk pelita-pelita yang dinyalakan mengantar kepergianku.

Maafkan aku, ibu.

Maafkan aku yang mati mengenaskan di usia baru empat belas.

Sehingga sedihmu tak berkesudahan.

Friday, May 6, 2016

Surat Cinta Kartini untuk Yuyun

Jika Kartini masih hidup dan bukan sekedar tokoh fiktif karangan kompeni mungkin dia akan menulis satu bab sendiri surat yang mengisahkan tragedi Yuyun.

Yuyun itu wanita yang sedang menjemput pelita. Bayangkan, dia sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah menuntut ilmu. Dihadang kawanan pemuda mabuk tuak yang kemudian bikin nyawa dia melayang.

Tentu saja Kartini akan dirundung sedih teramat sangat sebab satu lilin telah padam sehingga gelap semakin menjauh dari terang. Kasihan anak gadis yang diperjuangakan Kartini ini. Tak usah sekolah saja sekalian. Atau kalau mau sekolah yang home schooling sebab jalananpun telah menjadi antah berantah yang dihuni binatang jalang. 

Sayang, Kartini sudah tak ada sehingga konsep home schooling yang baru belakangan ini mencuat tidak terjangkau akal budinya. Mungkin jika Kartini masih hidup, ia akan menganjurkan para hawa menempuh pendidikan dengan konsep ini. Itu juga syukur-syukur kalau guru yang mengajar paham mana dosa mana pahala. Kalau tak paham bisa berakhir tragis juga seperti Yuyun. Lebih sadis lagi karena diperkosa di rumah sendiri. Namanya juga home schooling.

Mungkin kalau Kartini masih hidup ia akan menambahkan dalam suratnya beberapa detail. Seperti isi surat untuk nyonya Abendon tahun 1901 ini :

"Pergilah, laksanakan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan. Bekerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas. Dibawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang jahat. Pergi! Pergilah! Berjuang dan menderitalah, tetapi bekerja untuk kepentingan yang abadi”. (Namun ingat jika bepergian beramai-ramailah. Membawa sanak saudara para tetangga agar kau terhindar dari fitnah, tipu muslihat dan ada yang bantu kau pecahkan kepala orang-orang yang isinya cuma nafsu hewani. Nanti jika mereka bermaksud jahat padamu di jalan)

Yang di dalam tanda kurung adalah detail yang kemungkinan akan ditambahkan oleh Kartini dalam suratnya.

Thursday, May 5, 2016

SUAR UNTUK ARA



Sesungguhnya ini hanyalah fiksi (yang terinspirasi dari kisah Yuyun)

Hari itu. Dua minggu setelah jasad Ara ditemukan tak bernyawa di sela-sela rimbunan belukar. Hasil visum medis mengatakan Ara meninggal bahkan ketika gerombolan biadab sedang mengagahinya. Mati tersedak cairan sperma.

Rahmina, ibunda Ara, sebenarnya enggan membawa masalah ini hingga ke meja hijau. Namun desakan sebuah LSM bertajuk 'SUARA' yang merupakan singkatan dari 'Suar untuk Ara' membuatnya sadar harus memperjuangkan nasib Ara meski putrinya itu kini sudah tak bernyawa.

14 tahun saja usia Ara. Mati sia-sia di bawah selangkangan 14 pemuda bermoral celeng yang ketika itu mabuk tuak. Iya celeng! Apalagi hewan yang menggagahi betinanya beramai-ramai kalau bukan celeng?

Hari itu, ditemani Puput, aktivis SUARA yang paling setia mengikuti perkembangan kasus Ara, Rahmina pergi ke kantor lurah. Di sana rencananya ke 14 pemuda sial, beserta orang tua mereka, (pemudanya yang sial, bukan orang tua mereka) akan merundingkan tentang mau dibawa kemana kasus ini. Ke-14 pemuda baru berstatus saksi sebab Rahmina belum juga membuat laporan ke polisi.

"Kita ambil jalan damai saja, ibu Rahmina." Suara pak lurah.

Puput memgerling tajam. Seolah-olah ingin mencabik-cabik kumis melintang di atas bibir tebal lurah itu. Puput sudah dengar perihal si lurah dapat sogokan dari para orangtua pelaku agar tidak memperpanjang kasus.

"Tapi, saya ingin keadilan untuk Ara. Dia putri saya satu-satunya." Sahut Rahmina. Puput senang mendengarnya.

"Tinggal bilang saja berapa sih uang yang ibu butuh? Nggak perlulah kasus seperti ini diperpanjang!" Ibu A membantah.

Ada 14 ibu di kantor lurah saat itu beserta 14 celeng, eh maksudnya anak mereka jadi kita sebut saja dengan Ibu A, ibu B dan seterusnya. Begitu juga dengan celeng A, celeng B dan seterusnya.

"Di sini kami tidak butuh uang! Lagi pula uang berapapun tidak akan bisa menebus nyawa Ara." Itu suara puput. Berapi-api. Menyala terang bagai suar di puncak mercu.

"Hei, kau diam saja ya!" Ibu C menghardik.

"Lagipula, minum tuak itu sudah biasa! Anak ibu saja yang kecentilan. Mungkin pakai baju seksi waktu lewat. Mengundang syahwat!" Ibu F menyambung.

Rahmina terkejut. Ia memulangkan ingatannya ke 14 hari yang lalu. Ara memakai seragam pramuka. Seragam pramuka yang normal, yang selayaknya dipakai oleh anak kelas 2 SMP. Mananya yang seksi?

"Bisa jadi juga anakmu itu yang pengen. Sudah puber kan dia, jadi suka goda-goda lelaki. Mancing-mancing pakai badannya yang semok." Ibu E menimpali.

Rahmina hanya diam. Pikirannya melayang berusaha membentuk postur Ara dari sisa-sisa memorinya. Apanya yang menarik dari tubuh kurus kering milik putri semata wayangnya itu. Buah dadanya bahkan belum pula tumbuh. Ataukah dia yang salah mengingat?

"Makanya, kalau punya anak gadis itu dididik yang benar! Kalau pulang sekolah jangan keluyuran. Kalau sudah begini bagaimana?" Kali ini ibu B yang bersuara.

Rahmina mulai goyah. Benarkah dia yang salah mendidik hingga anak gadis kesayangannya berakhir sekeji itu? Seingatnya Ara adalah anak tekun yang berprestasi di sekolah. Sepulang sekolah selalu membantunya mendulang getah karet di kebun hingga petang. Kulitnya legam dan kusam diberangus ultraviolet.

Rahmina ingat ketika itu Ara belum kembali. Mungkin Ara ada kegiatan tambahan sehingga Rahmina memutuskan mendulang karet sendiri. Menjelang petang Ara tak juga muncul. Bahkan ketika fajar keesokan harinya.

"Tenang, tenang. Kita selesaikan ini dengan kepala dingin," Suara pak lurah membuyarkan lamunan Rahmina. "Kita tanyakan langsung pada saksi. Bagaimana?"

Mata pak lurah menyasar ke arah celeng A. Puput mengenalinya sebagai otak tindakan keji yang menimpa Ara. Polisi yang menyelidiki kasus ini bilang begitu.

"Saya dan teman-teman lain ketika itu sedang mabuk. Jadi kami tidak begitu ingat kejadiannya."

Celeng-celeng lain mengangguk seperti kerbau dicucuk hidungnya. Eh, seperti celeng dicucuk hidungnya.

"Tapi benar kalian memperkosa dan membunuh Ara?" Suara pak lurah.

"Kami tidak ingat pak," Jawab celeng D. Kakinya penuh tato.

"Lagian juga kenapa cewek itu lewat di kebun-kebun. Sendirian lagi!" Celeng G neyeletuk.

"Karena sudah jadi kebiasaan Ara untuk pergi mendulang karet sepulang sekolah!" Puput menyahut. Nada tinggi melengking.

"Sudah! Ini terima saja uang kami. Tidak usah sok-sok memperkarakan sampai di pengadilan!" Ibu H melempar amplop ke atas meja.

Puput terkejut lalu sontak menggebrak meja. "Ibu ini keterlaluan sekali ya! Ibu ini wanita atau bukan!? Ibu-ibu ini punya anak perempuan atau tidak? Bagaimana kalau kejadian ini menimpa putri ibu?!"

Hening.

"Sudahlah nak Puput," Rahmina membuka suara pertama kali mengakhiri keheningan itu. "Mari kita pulang saja."

"Tapi bu..."

"Semua ini memang salah saya. Saya yang tidak becus menjaga dan mendidik Ara. Ini sudah takdirnya. Tidak perlu kita perpanjang lagi."

Rahmina berjalan keluar dari ruangan pak lurah tanpa menyentuh amplop di meja. Puput tak habis pikir tapi bergegas menyusul wanita ringkih itu. Sekilas ia melihat sorot kemenangan di mata para celeng dan ibu-ibunya. Pak lurah jangan ditanya. Sibuk menghitung uang dalam amplop yang ditinggalkan Rahmina.

"Bu..." Puput berusaha membujuk. Ini diluar skenarionya.

"Sudahlah mbak Puput. Biarkan Ara tenang. Biarkan ibu tenang."

Puput tak lagi bersuara. Hanya air matanya yang berbicara. Untuk Rahmina yang kini sebatang kara. Untuk Ara yang yang adalah korban namun justru dipersalahkan.

 Untuk vagina yang terkoyak hingga menyatu dengan anus.

Anak Anak Surga



Kaki-kaki kecil tanpa alas berlari secepat yang dia bisa. Debu-debu berterbangan di sekitarnya. Di setiap tikungan tubuh mungil itu selalu nyaris jatuh. Napasnya terengah-engah. Sejenak ia berhenti, menoleh ke belakang. Sang ayah masih di sana menggendong adik lelaki kecilnya yang baru 8 bulan. Masih mengenakan diaper. Ibunya tak ada lagi. Mati tertembak di tikungan ke tiga yang mereka lintasi.

"Ayo lari Ali, ayah menyusul di belakangmu!"

Ia mengangguk paham. Kakinya dipaksa melaju. Baru 6 tahun usianya. Langit mendung di penghujung maghrib tak membuat langkahnya gentar. 

"Di tikungan depan belok kanan!" Suara sang Ayah memberi instruksi. Kali ini tubuh mungilnya terjerembab, namun secepat kilat pula ia bangkit.

"Mau lari sampai kapan Ayah?" Jeritan lirih dari mulut mungilnya hampir saja lesap di telan suara ledakan dan desingan peluru yang entah darimana sumbernya.

"Ayo lari terus Ali, Ayah di belakangmu!" Suara sang Ayah. "Kita harus cari susu untuk Umar."

Langkah mungil itu terhenti. Ia berbalik. Wajah kecilnya dipenuhi debu dan jelaga. Sweater yang dikenakannya lusuh. Sudah 2 minggu tidak diganti. Rasanya sudah lelah ia berlari. Dari satu pengungsian ke pengungsian lain. Demi menghindari bom, menghindari peluru, atau sekedar menghindari orang-orang yang membawa benda tajam membantai membabi buta.

"Umar mau menyusu. Kenapa kita tinggalkan ibu di sana Ayah?"

Sang Ayah memperlambat langkah. Menghampiri putra kecilnya yang bertanya tentang ibu. Tak tega rasanya mengatakan bahwa ibunya telah mati tertembak. 

"Ibu lelah dan tertidur. Setelah kita dapat susu untuk Umar, kita kembali dan membangunkan ibu." Ayah membelai kepala Ali. Menyingkirkan sedikit jelaga dari sana. Satu tangannya mendekap si bungsu yang lelap dalam tidur.

Ketika itu peluru mendesing. Entah darimana sumbernya tapi memilih bersarang di punggung sang Ayah. Tubuh besar itu rubuh seketika. Si kecil Umar kaget dan menjerit nyaring seolah ingin menyaingi desingan peluru.

Ali cekatan meraih tubuh mungil adiknya dari dekapan sang Ayah yang berlumuran darah.

"Umar, ayah sedang lelah dan tertidur. Mari kita pergi mencari susu untukmu."

Tubuh kecil itu kembali berlari. Kini dengan Umar yang masih menjerit dalam pelukannya.

Maghrib sudah berlalu. Begitupun mendung. Langit Aleppo kini bertaburan bintang.

Tuesday, May 3, 2016

Selepas Senja

Senja paling indah hanya bisa terlihat dari Makassar. Merah saganya mampu meluluhlantakkan apa yang sebelumnya hanya bergelayut dalam kepala dan hatimu.

Aku selalu menyukaimu sebab kau terlalu jujur. Jika kata yang keluar dari bibirmu dusta sekalipun matamu tak bisa berbohong. Pun ketika kau bilang bahwa cinta itu masih ada. Aku tahu kau berkata benar. Benar untuk 120 hari yang lalu. Sekarang tidak.

"Saya sudah memikirkannya berminggu-minggu," Katamu. "Kalau apapun keputusan saya menimbulkan luka, maka saya akan memilih keputusan yang melukai paling sedikit orang."

Aku terdiam. Demi Tuhan, memandangmu saja sudah mendatangkan luka kali ini.

"Kalau saya memilimu, orangtuaku, orang tuanya dan orang tuamu akan terluka," katamu lagi. "Kalau saya memilihnya hanya kita berdua yang terluka."

Aku mengangguk kecil. Menyetujui hasil analisamu, terhdap masalah kita, yang katamu berminggu-minggu itu.

"Saya tahu ini egois." 

Setelah itu kau terdiam cukup lama. Rupanya kau sudah selesai bicara. Aku tidak menyahut karena dua hal. Pertama karena aku tahu kau akan mengorbankan kebahagiaanmu demi kebahagiaan orang-orang yang kau cintai, kedua karena aku telah terlalu larut dalam senja. Senja yang sebelum ini selalu menghadirkan bahagia di antara kita. Perihal senja terindah adalah yang terlihat dari Makassar itu juga idemu.

"Apakah kamu mencintainya?" Tanyaku lirih hingga hampir senyap beradu dengan angin dan ombak Losari.

"Seingat saya, saya tidak pernah mencintai perempuan lain sebesar cinta saya padmu" Jawabmu menambah sayatan luka.

Aku kembali mengangguk. Menyetujui perkataanmu.

"Maafkan saya," Katamu lagi. Kuhitung sebagai kata maaf ke sembilan belas yang kau ucapkan sejak 1 jam yang lalu. "Kita pulang sekarang? Saya antar."

Kali ini aku menggeleng. "Nanti saya pulang sendiri."

Kau terdiam cukup lama sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi. Aku masih terpaku di bawah senja di depan hamparan pantai Losari menyaksikan punggungmu yang bergerak menjauh.

Air mataku luruh. Senja terindah di bumi kali ini meluluhlantakkan pertahananku. 

Begitu sajakah kita? Berakhir seperti ini?

Senja lalu tenggelam. Kontras dengan air mataku yang menderas.

Sunday, May 1, 2016

Jangan Pernah Mengkhianati Proses



Niat di awal tahun untuk gencar mengikuti lomba menulis belakangan memudar. Tenggelam dalam rutinitas dunia nyata membuat dunia fiksi mengabur.

Dikejar target mingguan, dihantui target bulanan, dipecut untuk memenuhi target akhir tahun. Bekerja keras. Sangat keras untuk membangun mimpi orang lain. Menjadi budak korporasi. Benar makna sebuah kalimat bijak. Jika kau tidak bekerja untuk membangun mimpi-mimpimu maka orang lain akan mempekerjakanmu untuk membangun mimpi-mimpi mereka.

Mimpi itu masih terpatri jelas dalam ingatan. Tidak hilang tidak pergi. Saya menahannya dengan segenap jiwa karena tahu raga terlalu rapuh untuk itu.

Mimpi itu sederhana. Sesedernaha pena yang menari-nari di atas kertas kosong. Semudah huruf yang berbaris merangkai kata. Kata yang saling sambung membentuk kalimat. Saya rindu tersesat dalam imajinasi.

Namun, apa daya. Imajinasi enggan bersahabat dengan logika. Apalagi logika yang digunakan untuk bekerja dalam dunia nyata. Logika dan imajinasi saya bertengkar hebat. Berebut memenangkan raga saya. Kalau jiwa tak perlu ditanya berpihak pada siapa.

Saya rindu ketika larut malam mata masih menyala. Pikiran mengalirkan ide yang mendesak-desak. Jemari lincah menari di atas keyboard. Sementara besoknya saya harus kembali ke dunia nyata. Ketika itu tak mengapa mata terantuk kantuk sebab rangkaian kata-kata telah menjelma prosa.

Saya telah mengkhianati proses saya. Proses berdamai dengan imajinasi. Namun pengkhianatan ini jenis pengkhianatan yang dapat dimaklumi sehingga mungkin masih termaafkan. Semoga.