Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com.
Percayalah, tidak ada yang dapat membawaku
kembali ke tempat ini selain pekerjaan. Dan kenangan.
Kopi by Ignatius Dimas |
Aku menghirup aroma kopi dari cangkir yang ada di hadapanku dan mengecapnya sedikit di ujung lidah untuk kemudian
menggeleng kecewa pada gadis yang duduk dengan wajah antusias di hadapanku.
"Masih bukan? Yaahhh..." Gadis
itu bernama Karin dan kini dia mendengus kecewa. Ini gelas kopi ke 33 di hari ke 11 ku di
Manado.
"Aku mulai meragukan metode yang kita
gunakan ini, Queen," gumamnya.
"Sejak awal ide ini memang gila. Mana
mungkin menemukan seseorang hanya dengan mengandalkan ingatan tentang rasa kopi
yang pernah dia buat di masa lalu!" Gerutuku.
"Lah, kan kamu sendiri yang bilang
kopi buatannya punya aroma khas yang tidak ditemukan pada kopi manapun,"
Karin masih mencoba membela diri padahal ‘3
coffee shops per night’ itu murni idenya.
Ada puluhan kedai kopi di Manado dan Karin
lebih dari yakin dengan mendatangi tiga kedai kopi perhari-setelah jam kerja
kami di perusahaan selesai-adalah langkah paling jitu menemukan Gladio.
"Jangan menyerah! Cewek kece pantang
menyerah. Ayo kita balik hotel."
Aku hanya bisa merengut sebal sambil
mengekor Karin dengan langkah gontai kembali ke hotel tempat kami menginap
selama menjalankan tugas sebulan di Manado. Tentu saja kedatanganku dan Karin
di Manado bukan dengan tujuan sekonyol mencari lelaki. Kami ditugaskan
perusahaan tempat kami bekerja untuk meng audit kantor cabang di kota nyiur
melambai ini.
Selama hampir tiga tahun bekerja di salah
satu Bank BUMN sebagai auditor selalu membuatku bersyukur karena dipercayakan
menjelajahi beberapa kantor cabang di seluruh penjuru negri. Palembang,
Semarang, Samarinda, Makassar, Ambon, Manokwari. Tapi aku tidak pernah sekesal
sekarang karena tidak boleh menolak ketika ditugaskan untuk mengaudit kantor
cabang Manado.
"Jangan lupa, nanti kamu ziarah ke
makam orang tuamu," pesan Opa sebelum aku berangkat. Sejak menjadi yatim
piatu Opa lah yang mengambil peran sebagai orang tuaku. Seminggu setelah
musibah kebakaran yang menyebabkan kedua orang tuaku meninggal Opa membawaku
untuk tinggal bersamanya di Jakarta.
Pernahkah kalian merasa benci terhadap
sesuatu yang hanya dengan mendengar namanya saja kalian merasa sakit? Itulah
yang terjadi setiap kali aku mendengar kata Manado. Hanya kenangan buruk yang
membuatku tidak nyaman hadir melintas seperti slide show. Rasanya sesak mengingat bagaimana rumah tempatmu
dibesarkan terbakar sementara orang tuamu ada di dalam.
Aku selamat karena malam itu sedang
menginap di rumah teman untuk membahas soal ujian nasional SMA. Ketika kembali
keesokan harinya rumahku tinggal puing reruntuhan sekaligus menyandang predikat
baru sebagai anak yatim piatu.
Di lain pihak kadang-kadang perasaan sesak
itu berbaur dengan aroma kopi. Adalah Galdio Mokoginta yang menghadirkan aroma
itu ke dalam kenanganku.
Hari pertama di Manado aku mengajak Karin
mengunjungi makam kedua orang tuaku. Letaknya tidak jauh dari pusat kota
sehingga kami hanya perlu naik angkutan umum selama 20 menit.
Karin adalah sahabat baikku sejak kuliah
di Jakarta. Best friend is sister God
never Gave Us. Dia tahu semua tentangku termasuk masa laluku. Beruntung
sekali karena kami diterima di perusahaan yang sama bahkan di unit yang sama.
Hari kedua di Manado Karin memaksaku untuk
mendatangi bekas rumahku dulu. Karin bilang kenangan buruk harus dilawan agar
kita tidak merasa resah jika mengingatnya di kemudian hari. Bagiku kenangan buruk
cukup dikubur dalam-dalam.
"Jadi, itu rumah Gladio?" tanya
Karin ketika itu menunjuk rumah di seberang jalan.
Kami berdiri di atas puing-puing
reruntuhan bekas terbakar. Tujuh tahun sudah berlalu namun di atas tanah ini
belum berdiri bangunan apapun.
"Queen, kamu tidak mau cari tahu
kenapa tiba-tiba keluarga Gladio menghilang?" tanya Karin lagi.
Aku menggeleng pelan.
Di hari yang sama ketika rumahku terbakar,
Gladio dan keluarganyapun pergi meninggalkan rumah mereka. Gladio pergi
meninggalkanku tanpa berita setelah selama tujuh belas tahun ia selalu berjanji
untuk bersama denganku. Janji masa lalu yang konyol sehingga aku memilih
menguburnya dalam-dalam bersama kenangan buruk lainnya.
Galdio Mokoginta adalah anak lelaki dengan
aroma kopi yang menguar di sekelilingnya. Papanya penggila kopi Toraja dan
hampir setiap sore mengundang Ayahku untuk minum kopi bersama.
Glad, aku biasa memanggilnya demikian,
memiliki cita-cita yang unik. Ingin menjadi pemilik rumah kopi yang menyediakan
berbagai cita rasa kopi nusantara. Mungkin ia juga menggilai kopi seperti
ayahnya.
"Queen, tahu tidak kalau kopi Toraja
itu juga disebut sebagai Queen of Coffee.
Ini jenis kopi mahal yang hanya diminum oleh kalangan tertentu kalau di luar negri.
Ekspor kopi Toraja itu ilegal kalau tidak melalui perusahaan Key Coffee di
Amerika. Gila kan? Padahal kopi Toraja itu asli produk Indonesia loh,"
Gladio selalu bersemangat jika bercerita tentang kopi. Akupun selalu
bersemangat menyimaknya sambil menghirup dalam-dalam aroma kopi dari cangkirku.
Di usia baru sembilan belas ia sudah
sangat mahir membuat kopi.
"Kopi itu menyerap rasa alam
sekitarnya. Kalau ketika diminum ada sedikit rasa buah, mungkin ketika tumbuh
dulu ia ditanam dekat tanaman buah," ujar Glad suatu ketika di sore hari
ketika aku memenuhi undangan minum kopinya. "Jika ada sedikit rasa pedas
mungkin ditanam dekat tanaman cabe."
Aku tersenyum lalu menyesap cangkir kopi
yang baru saja berpindah tangan dari genggaman Glad ke tanganku.
"Hmmm, kopi ini aromanya unik.
Rasanya tidak terlalu asam seperti kopi-kopi biasanya."
Gladio tersenyum,"oh, ya?"
Aku mengangguk bersemangat. Pikiranku yang
awalnya disesaki dengan perkara ujian nasional langsung rileks seketika.
"Aromanya seperti tanah basah sehabis
hujan," tambahku.
Senyum Gladio semakin mengembang.
"Ini kopi Toraja. Kesukaanku dan Papa.
Di seduh dengan air panas tepat di derajat ke 95. Hasilnya adalah kopi beraroma
kenangan."
"Aroma kenangan?"
"Ya, kenangan akan kampung halaman
semasa kecil dulu. Biji kopi ini berasal dari tanah kampung halaman nenek. Di
petik dan digiling di depan rumah nenek di Toraja sana."
Ibu Galdio berasal dari Toraja. Ayahnya
orang Kotamubagu, Sulawesi Utara.
"Ngana mau kalau suatu saat pesiar ke
rumah nenekku?"
Aku mengangguk antusias,"mau
sekali!"
"Nanti, setelah kita berdua menikah. Honeymoon."
Aku yakin pipiku lansung merah ketika itu.
Untuk menyamarkannya aku segera menyeruput dari cangkir kopiku hingga tandas.
Lalu mengalihkan pandangan jauh-jauh melampaui bingkai jendela. Langit Manado selalu indah. Biru membentang ketika siang, penuh gemintang ketika malam.
Galdio adalah anak lelaki yang tinggal di
depan rumahku. Kami tumbuh besar bersama. Ia adalah objek untuk predikat baru
dalam kamusku ketika itu. Cinta.
Di hari pertama begitu aku selesai unpacking barang bawaan di hotel Karin
mengungkapkan teori ini, "Ada tiga alasan kenapa kamu harus cari
Gladio," Karin mengacungkan tiga jarinya. "Pertama karena kebetulan
kita lagi di Manado untuk waktu yang lumayan lama. Kedua karena dia adalah oase
kebahagiaan di tengah lautan kesedihan masa lalumu. Ketiga biar kamu move on lalu kembali membuka hati untuk
lelaki."
Aku hampir saja tersedak air minumku
sendiri ketika mendengar ocehannya.
"Sudah 24 tahun dan belum ada lelaki
yang bisa menembus benteng hatimu yang berlapis-lapis itu," ujar Karin
lagi.
"Nggak usah lebay!" Bantahku
sambil melempar handuk ke wajah Karin yang selalu tampak menyebalkan kalau
mulai sok tahu.
Sehabis mengunjungi reruntuhan rumahku,
Karin memaksa untuk mengetuk pintu rumah Gladio.
"Ayo kita cari dia. Siapa tahu dia
ada di dalam," bisik Karin sesaat sebelum pintu rumah dibuka oleh wanita
paruh baya berpakaian modis yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Tante
Ani. Adik dari Mama Gladio.
"Mereka sudah lama tidak tinggal di
sini," Tante Ani menjawab pertanyaan Karin.
Setelah dipersilahkan masuk kami duduk di
sofa ruang tamu. Karin antusias menginterogasi Tante Ani sementara aku hanya
takjub memandang sekeliling rumah. Demi Tuhan tidak ada satupun yang berubah
dari rumah ini sejak terakhir kali aku kemari. Bahkan coffee grinder milik Ayah Gladio masih berada di posisi yang sama
dalam buffet di sudut ruangan.
Sofa yang aku duduki adalah sofa yang sama
ketika tujuh tahun lalu aku dan Gladio perang bantal seusai dia memggombal soal
honeymoon ke Toraja.
"Papanya Glad di fitnah terlibat
dalam korupsi. Sekarang di penjara. Waktu itu Mamanya Gladio tidak sanggup menahan
malu atas gunjingan tetangga. Makanya mereka pindah ke Tondano dan tidak pernah kembali lagi ke Manado."
Aku menajamkan telinga. Tahun 2009,
walikota Manado yang sedang menjabat terjerat kasus korupsi APBN bernilai
milyaran. Beberapa pejabat yang berada di jajaran pemerintahannya satu persatu
diciduk aparat. Papa Gladio adalah pejabat yang memangku posisi penting di
pemerintahan kota ketika itu. Aku tidak tahu ia terjerat kasus tersebut.
"Bagaimana kabar om Handy sekarang,
tante? Sudah bebas kah?" Tanyaku.
"Belum. Masih 3 tahun lagi.
"Lalu dimana Gladio sekarang?"
Giliran Karin bertanya.
"Gladio tidak pernah kembali ke rumah
ini. Lima tahun yang lalu terakhir kali tante bertemu waktu acara wisudanya. Sekarang
dia sibuk dengan bisnisnya. Jarang ada di Manado."
"Bisnis apa?" Suara Karin
membuatku ingin membekap mulutnya yang cerewet.
"Rumah kopi. Dia punya beberapa rumah
kopi di Manado dan sekitarnya."
Aku tertegun. Gladio telah mewujudkan
mimpinya.
"Dimana rumah kopinya tante?"
Masih suara Karin.
"Tante tidak begitu tahu. Ada
beberapa. Tapi yang paling tante ingat ada di Tomohon. Dekat Danau Linow."
Kejadian itulah yang membuatku mengikuti
reacana gila Karin menelusuri satu demi satu rumah kopi di Manado untuk mencari
tahu keberadaan Gladio setelah Tante Ani mengaku tidak menyimpan lagi nomor HP Gladio maupun nomor HP Mama Gladio yang baru. Bahkan kepada
keluarga dekatpun mereka tidak memberi tahu alamat tempat tinggal sekarang.
Awalnya dengan alasan untuk menghindari serbuan wartawan media lokal. Namun
lebih dari itu mungkin mereka ingin membangun kehidupan yang baru di tempat
yang tidak ada satu orangpun mengenal mereka. Mengenal mereka sebagai keluarga
terpidana korupsi.
Hari Jumat. Hari terakhirku di Manado
sebelum akhirnya kembali lagi ke Jakarta. Diskusi audit di kantor cabang telah
selesai dilakukan sejak dua jam yang
lalu. Aku mengasingkan diri ke musholah kantor di lantai 5 untuk sedikit
melepas lelah. Selain itu, dari jendela lantai lima bangunan ini pantai berlatar senja terlihat
sempurna.
Tampak di kejauhan jembatan gantung Soekarno yang baru setahun lalu diresmikan berdiri kokoh. Tiga hari yang lalu
aku dan Karin menyempatkan berfoto di icon
baru kota Manado itu. Berlatar tulisan ‘Mari jo pasiar ke Manado’.
"Queenara, besok ke Danau Linow yuk. Katanya
ada rumah kopi enak di sana." Suara cempreng Karin membuyarkan lamunanku.
"Aku pikir kita sudah sepakat untuk
menghentikan 3 coffeeshops per night ?”
Gerutuku kesal.
"Geer banget sih!" Karin
mebalas. "Aku tuh mau ke Linow untuk foto-foto di sini!" Ia
menunjukkan foto di Instagramnya yang melukiskan pemandangan danau dengan air
berwarna gradasi hijau berpadu bentangan langit biru dan bangunan putih yang
sepertinya cafe.
"Ini lagi hits di insta. Aku yakin
kamu yang orang manadopun tidak tahu tempat ini" sambungnya, "Forget about Gladio. Sepertinya orang
itu juga tidak mau ditemukan."
@@@
_Selesai_
Tulisan ini bisa tercipta juga tidak lepas dari hasil jalan-jalan ke :
- majalah.ottencoffee.co.id
- dewa-barista.blogspot.co.id
- specialtycoffee.co.id
- torajaparadise.com
- wikipedia
- dan juga Danau Linow