Cerpen ini pernah saya kirimkan ke Majalah Femina dan ditolak mentah-mentah. hahaha...
Saran, masukan dan kritikan pedas ditunggu di kolom komentar.
Gambar dari Google |
2013
Ini
malam pertamamu. Setelah mengimami istrimu solat sunnah kau hanya diam terpekur di atas sajadah. Sekelebat kejadian
tadi siang kembali menyeruak memorimu. Itu saat kau menggenggam erat tangan
ayah dari wanita yang baru saja kau imami solatnya. Bibirmu fasih melafalkan
ijab kabul. Kau tampak tenang saat itu. Tapi hatimu bergetar. Getaran yang
hebat. Kau berusaha keras menyembunyikan air matamu.
Ijab
kabul itu selesai dalam satu kali hembusan nafas. Semua undangan mengamini. Kau
melihat sekilas ke arah pengantin wanitamu yang duduk tidak jauh dari tempat
ayahnya duduk. Ia tersenyum dalam balutan gaun pengantinnya yang sederhana.
Wajahnya sederhana, tapi kau selalu terpaku pada kecantikan kalbunya. Kau
menoleh sekilas ke arah ibumu yang duduk di sampingmu. Ada senyum bangga di
bibirnya yang menua.
Lamunanmu
buyar saat tangan istrimu menyentuh pundakmu. Kau melihatnya berjalan ke arah
ranjang pengantin yang telah dihias begitu indah untuk hari bahagiamu. Kau
tersenyum dan menyusulnya ke ranjang. Kau menatap istrimu dalam-dalam dan masih
tidak percaya kini kau telah memiliki wanita itu sepenuhnya.
Tiba-tiba
dadamu sesak. Matamu memanas. Detik berikutnya kau menangis tersedu sedan di
pelukannya. Menangis seperti anak kecil.
1998
Usiamu
tidak lebih dari sepuluh tahun saat gerombolan massa yang terdiri dari
orang-orang kampungmu datang memebawa obor di tangan mereka masing-masing. Ada
orang tua dari Rizal, teman kelasmu di sekolah, memipin di baris depan. Awalnya
kau pikir Ayahmu sedang membuat hajatan dan mengundang warga sekampung, tapi
dilihat dari muka mereka yang tegang dan penuh kebencian kau mulai merasa
dugaanmu salah.
Kau
masih ingin melihat apa yang akan dilakukan massa yang datang
berbondong-bondong ke rumahmu itu namun tangan ibumu cepat mencengkram dan
menarik lengan bajumu.
“Bawa
adikmu sembunyi ke rumah tante Suari!” Ibumu berteriak kepada Andira, kakak perempuan
tertuamu, mengalahkan massa di luar sana yang juga sedang gaduh berteriak
“Bakar! Bakar rumah lintah darat ini!”
Kau bergidik
dalam pelukan Andira, sementara ia mendekapmu sambil menangis. Kalian
mengendap-ngendap keluar dari rumah melalui pintu belakang menghindari amukan
massa. Dari kejauhan kau sempat melihat ayah dan ibumu berlutut di kaki para
pembawa obor itu. Kau meronta tapi dekapan Andira mengalahkan tenagamu.
Seminggu
kemudian kau bersekolah seperti biasa. Rumahmu masih utuh seperti sebelum kau
mengungsi ke rumah tante Suari. Kehidupan berjalan normal. Kecuali Ibumu yang
lebih sering menangis dan Ayahmu yang tiba-tiba menjual mobil kesayangannya.
Itu mobil yang baru dia beli lima bulan yang lalu dengan harga yang terbilang
fantastis di era krisis moneter. Itu
satu-satunya mobil mewah di kampungmu. Kepalamu penuh dengan tanda tanya tentang
mobil yang tiba-tiba dijual, tapi kau tidak pernah benar-benar berani
menanyakannya.
“Anak
lintah darat! Keluarga Kospin lintah darat!” Rizal menghampirimu sambil
mengejek saat bel jam istirahat berbunyi.
“Lintah
darat! Lintah darat!” teman sekelasmu yang lain ikut mengejek.
Kau
belum mengerti apa itu lintah darat. Kaupun tidak yakin Rizal dan kawan-kawanmu
yang lain menegerti. Tapi semenjak peristiwa massa dan obor itu kawan-kawanmu
jadi sering melontarkan ejeken seperti itu.
“Keluarga
Kospin lintah darat!” Rizal terus saja mengejek.
Satu-satunya
yang kau mengerti hanyalah bahwa Kospin adalah nama Koperasi simpan pinjam yang
didirikan oleh Ayah, Ibu dan beberapa kolegamu sebelum kau lahir. Bahwa hampir
semua masyarakat di kampungmu menaruh hormat dan segan pada Ayahmu yang telah
merintis koperasi yang kata mereka sangat membantu usaha mereka itu. Kau tidak
mengerti kenapa justru orang-orang kampungmu minggu lalu datang
berbondong-bondong hendak membakar rumahmu.
Media
massa dan media elektronik lokal sempat beberapa kali meliput rumahmu, mewawancarai
ayahmu, mewawancarai pamanmu, mewawancarai bibimu tanpa pernah sekalipun
mewawancarai Ibumu, sebab yang bisa dilakukan ibumu hanya menangis.
“Saya
sungguh minta maaf kepada seluruh anggota koperasi yang telah menyimpan dananya
maupun telah menginvestasikan uangnya untuk Kospin. Saya tidak ada niat buruk
apalagi niat menipu. Ini juga musibah buat saya. Ini musibah kita bersama”
Ayahmu, selaku ketua Koperasi, mencoba menjelaskan kepada salah satau wartawan
yang meminta pendapatnya.
“Kami
berjanji akan mencari orang itu hingga dapat. Saya sama sekali tidak menyangka
kepercayaan kami justru dikhianati. Kamipun rugi ratusan juta rupiah. Kami
mohon anggota koperasi bersabar. Kita sama-sama merintis usaha ini dari awal.
Jangan pungkiri koperasi ini sudah membantu banyak warga kampung. Sekarang kita
kena musibah. Uang dibawa lari. Kenapa kami saja pengurus koperasi yang
disalahkan?” Salah satu pamanmu menambahkan.
Beberapa
polisi bolak-balik mendatangi rumahmu, mewawancarai Ayahmu, mewawancari paman
dan bibimu.
“saya
dan pengurus koperasi lainnya sama sekali tidak terlibat dalam kasus ini. Ini
murni perampokan. Bendahara kospin yang bawa lari uangnya. Total semua satu
setengah milyar. Uang saya pribadi ada di sana delapan ratus juta” Ayahmu
memberikan keterangan pada polisi yang cekatan mencatat.
“Baiklah,
Pak kami akan mengusut permasalahan ini hingga tuntas dan berusaha sebisa
mungkin menangkap pelakunya”
Kau
mendengar percakapan-percakapan itu sambil lalu. percakapan yang tidak ada
artinya sama sekali buatmu. Kau masih belum mengerti.
2004
Usiamu
tepat enam belas tahun. Saat itu hujan gerimis. Langit yang menggantung di atas
kampungmu kelabu pekat seolah memberi pertanda sebentar lagi ia akan
menumpahkan badai. Kau di atas sepeda motor tanpa tujuan. Di belakang, ibumu
membonceng sambil menangis. Ia menangis sejak kalian meninggalkan rumah hingga
hampir memasuki kota.
“Cepat
temukan kakakmu. Cepat temukan Andira” Kalimat ibumu di antara isakannya.
Kau
tidak menyahut. Dingin dan hujan membuatmu menggigil. Hatimu terpukul. Andira,
kakak tertuamu, sudah tiga bulan tidak pulang ke rumah. Setelah diwisuda dari
salah satu universitas swasta terkemuka di kota ia tidak memberi kabar sama
sekali. Kemarin saat salah satu pamanmu ke kota dan mengunjungi kos Andira, si
pemilik kos mengatakan Andira sudah tidak tinggal di sana sejak satu bulan yang
lalu. Pamanmu mencari ke rumah kerabat di kota, mencari ke rumah kerabat di
kampung tetangga. Nihil.
Pamanmu
pulang dan memberitahu ayah dan ibumu tentang Andira yang menghilang. Itulah
yang membuatmu berada di atas sepeda motor membonceng ibumu di antara rintikan
hujan. Ibumu ingin mencari Andira dengan mata, tangan dan kakinya sendiri.
Dengan sisa tenanganya yang ada. Dengan air mata yang belum kering menangisi
kakak perempuan ke-dua mu, Anita, yang sudah setahun ini juga meninggalkan
rumah. Kawin lari dengan pemuda sekampung saat orang tuamu tidak menyetujui
hubungan mereka.
Kau
merasakan kondisi keluargamu semakin terpuruk sejak Koperasi yang didirikan
ayahmu mengalami kebangkrutan luar biasa tepat saat krisis moneter 1998
melanda. Bendahara koperasi yang membawa kabur uang satu setengah milyar sudah
berhasil dibekuk, namun uang tidak kembali sepeserpun. Ia dihukum kurungan
penjara atas keserakahan dan kesilauannya akan materi yang bukan miliknya.
Warga kampung yang semula menuntut ganti rugi atas uang mereka yang dibawa lari
perlahan-lahan mulai melupakan persitiwa itu.
Keluargamu
memulai segalanya dari awal. Ibumu kembali menata mental dan emosinya setelah
beberapa tahun mengalami depresi hebat. Ayahmu membeli sebidang tanah yang
digarap menjadi tambak udang dari hasil menjual mobil mewahnya. Tambak udang
yang bukannya memberi keuntungan justru membawa perekonomian keluargamu
terpuruk semakin dalam karena kerap mengalami kerugian. Ibumu menyiasatinya
dengan meminjam dari tetangga kiri kanan demi mempertahankan asap di dapurmu
tetap mengepul.
Kau
pikir mungkin itu penyebab ke dua kakak perempuanmu lari dari rumah. Kamu pikir
mungkin mereka tidak tahan harus merasakan hidup menderita setelah hidup mewah
bertahun-tahun. Saat itu adik bungsumu, Maulana, masih sembilan tahun. Ia sama
sekali tidak mengerti bahwa kalian sedang dalam keterpurukan finansial. Ia pun
juga tidak pernah tahu bahwa kalian pernah sangat kaya dan hidup dalam kemewahan
bertahun-tahun silam.
Saat
itu kau dipaksa segara dewasa. Segera tumbuh menjadi lelaki tanpa perlu
melewati masa remaja terlebih dahulu. Kau dipaksa menggarap tambak udang saat
remaja seusiamu saling berkirim surat cinta. Kau dipaksa berpanas-panas memanen
udang saat remaja seusiamu tamasya ke pantai. Bekas luka akibat goresan
cangkang udang di telapak tanganmu tak hilang hingga beberapa tahun kemudian.
Perih sekali. Perih yang juga kau bawa hingga bertahun-tahun lamanya.
2007
Usiamu
genap sembilan belas tahun saat Ayahmu meninggal dunia. Diabetes melitus menggerogoti tubuhnya tanpa ampun. Kau tidak
menangis. Kau lupa sejak kapan air matamu kering. Saat itu Maulana dua belas
tahun. Ia sangat terpukul dengan kematian ayahmu. Ia anak kesayangan ayahmu.
Ibumu terus saja mengusap-usap tanah kuburan. Tangisnya tak kunjung reda.
“Ibu,
apa saya tidak usah kuliah saja?” Kau memutuskan menanyakan hal itu. Hal yang
membuat pikiranmu kalut sedari memandikan jenazah ayahmu tadi. Padahal itu
satu-satunya kabar gembira setalah bertahun-tahun kepahitan mendera hidupmu.
Bagaikan cahaya terang diujung gorong-gorong gelap saat mendapat kabar bahwa
kau salah satu murid yang direkomendasikan sekolahmu untuk masuk ke Universitas negeri terkemuka di kota tanpa
perlu ikut tes.
Tangis
ibumu kembali pecah demi mendengar pertanyaanmu. Tak hanya ibumu, kini para
pelayatpun ikut menangis. Membayangkan seorang pria wafat meninggalkan isteri
dan kedua anak lak-laki, yang satu baru memasuki masa remaja, yang satunya
tidak pernah mengalami masa remaja, tanpa sepeserpun harta warisan dan usaha
yang bisa diandalkan cukup membuat siapapun merasa miris.
Kakak
keduamu, Anita, menangis di samping nisan ayahmu. Ia kembali setelah setahun
kabur dari rumah. Kembali dengan tambahan seorang bayi mungil dalam keluarga
kecilnya. Ia kembali untuk memohon restu kedua orang tuamu lagi. Kakak
pertamamu, Andira tidak pernah kembali hingga saat itu. Kau ragu apakah kabar
kematian ayahmu telah sampai padanya di belahan dunia manapun dia berada kini.
“Apapun
yang terjadi, kau tetap harus kuliah, Nak. Ibu tahu itu jugalah yang menjadi
keinginan Ayahmu. Ibu akan berusaha sekalipun harus pinjam-pinjam uang ke
tetangga” Kalimat ibumu menjawab segala kegundahanmu. Kau mulai memantapkan
hati dan langkah.
Saat
itu kau semakin yakin bahwa kau terus di paksa dewasa. Kau dipaksa untuk segera
menjadi lelaki tanpa perlu menikmati indahnya remaja dan asyiknya cinta monyet.
Sejak kematian ayahmu kau bertambah yakin bahwa keluargamu butuh seorang lelaki
lagi. Lelaki pertama harus segera muncul setelah ayahmu tiada. Sejak saat itu
kau mengambil alih tugasnya, meletakkan kepentingan Ibumu dan Maulana di atas kepentinganmu.
2011
Kau
diwisuda sebagai lulusan terbaik hari itu. Usaha yang kau rintis dengan susah
payah sejak awal masuk ke bangku kuliah pun semakin maju dan menghasilkan lebih
dari apa yang kau harapkan. Hampir semua pekerjaan telah kau tekuni di
sela-sela kesibukanmu kuliah. Kau mengorbankan waktu untuk mendekati gadis yang
kau taksir atau sekedar kumpul dengan teman-teman melihat club sepakbola favoritmu bertanding live di TV.
Kau
seringkali merasa iri demi melihat teman-temanmu berkencan dengan gadis
pujaannya selepas kuliah atau di malam minggu sementara kau masih harus menjual
kelapa, menjual pepaya, menjual apapun yang bisa kau peroleh dari kampungmu
dengan harga murah ke pasar-pasar tradisional di kota demi menghidupi
keluargamu. Tapi kau berusaha menepis segala perasaan iri itu. Mungkin
teman-teman kuliahmu hanyalah seorang anak laki-laki di keluarganya, tapi kau
bukan. Kau lelaki dalam keluargamu. Kebahagiaan Ibu dan adik yang masih kau
biaya sekolahnya berada di atas kebahagiaanmu.
Semua
hasil jerih payahmu itu kini mendekati puncak keberhasilannya. Kau tahu
teman-temanmu masih harus berjuang memasukkan lamaran kerja ke meja-meja
perusahaan setelah upacara wisuda itu berakhir sementara kau hanya tinggal
memetik hasil kerja kerasmu.
Kau
tahu suatu saat roda kehidupan berputar dan keberuntungan memihak padamu. Saat
itu kau hanya mengingikan satu hal. Menangis dalam pelukan wanita yang kau
cintai. Menangis sejadi-jadinya sampai suaramu serak, menangis sejadi-jadinya
sampai bebanmu hilang.
Dan
kau ingin wanita itu kelak tidak perlu menanyakan mengapa kau menangis.