Saya sudah mencintai dunia ini jauh-jauh hari. Sebabnya sejak kecil saya sudah mengakrabi segala jenis buku bacaan mulai dari komik Detective Conan hingga kumpulan cerpen Putu Wijaya.
Ketika duduk di bangku SD, teman sebangku saya adalah seorang penulis ulung. Dia yang menularkan semangat menulis itu. Berbekal buku tulis dan pulpen tinta cair. Yup! Kami menulis di buku tulis hingga puluhan banyaknya dan saling memberi saran. Nama teman saya itu Gabriella. Ketika SMA saya dibelikan komputer oleh Ibu, saya toh tetap menulis di buku tulis.
Sejarah lengkapnya perjalanan menulis saya bisa di lihat di sini.
Sebagai penulis amatir, saya sadar saya masih jauh dari kata 'bagus'. Saya juga belum menelurkan satu bukupun.
Pencarian akan jati diri tulisan (genre) juga masih Dalam proses dan belum ketemu. Intinya, saya tidak ada apa-apanya dibanding penulis lain. Tapi saya adalah pembelajar yang baik, pembaca yang tangguh, dan pengambil resiko yang ulung. Yap, saya takkan gentar meski beberapa redaksi tabloid menolak cerpen saya. Hehehe.
Apakah cita-cita saya adalah penulis ketika kecil dulu? Tentu saja bukan! Cita-cita saya dulu adalah dokter. Lebih spesifik, dokter bedah. Apakah tercapai, tentu saja tidak. Hahahahahah. Menulis adalah passion saya. Cara saya melarikan diri dari rutinitas yang seolah mematikan krearivitas. Jika diapresiasi oleh orang lain adalah hal yang sangat luar biasa bagi saya, jika dimuat di tabloid ataupun memenangkan lomba, itu bonus. Bonus yang luar biasa.
Saat ini saya sedang tergila-gila dengan beberapa penulis. Dan saya cenderung -tanpa sadar-meniru genre penulis-penulis yang saya kagumi itu. Siapa saja mereka bisa dilihat di sini.
Saya percaya kepiawaian menulis itu bukan bakat sehingga tidak bisa diwarasi melalui gen, melainkan keterampilan, layaknya menyulam ataupun memasak. Practise makes perfect. Latihan membuatnya sempurna. Meskipun standar sempurna dalam dunia kepenulisan sangatlah ambigu di luar konteks masalah EYD maupun pemilihan diksi.
Bagi seseorang, suatu karya sastra dapat saja sangat indah, namun bagi saya biasa saja. Sungguh, ini hanya masalah selera. Untuk itulah, terus sajalah menulis dengan gayamu. Tidak usah muluk-muluk ingin meniru si A, si B. Masing-masing tulisan akan menemukan pembacanya sendiri.
Karena menulis itu menjadi sempurna dengan latihan, maka menulislah dari sekarang. Tidak cukup hanya dengan berkata "saya ingin menjadi penulis" lalu belum menulis apapun. Ketika ditanya orang tulisan apa yang sudah dibuat kamu hanya bisa nyengir sambil garuk kepala yang tidak gatal "ini baru mau ditulis". Bahkan orang yang telah menulis banyak halpun belum bisa dikatakan penulis jika BELUM DIBACA oleh orang lain. Tidak usah muluk-muluk bisa menginspirasi orang lain. Dibaca saja dulu lah.
Maka, rumus saya, ketika ingin menjadi penulis, menulislah. Orang lain tidak perlu deklarasi diri. Yang mereka butuhkan adalah karya. Toh mereka tidak terlalu peduli siapa kamu, karena yang ingin mereka baca adalah tulisanmu.
Apakah ada yang kecewa dan protes ketika mengetahui Tere Liye adalah seorang lelaki tulen? Tidak ada! Karena karya-karyanya sangat indah dan menginspirasi. Mengenai jenis kelamin sungguh tidak masalah. Apakah ada yang marah karena Illana Tan tidak menunjukkan jati diri sebenarnya? Tidak ada! Paling hanya mengundang sedikit penasaran karena penulis buku sekuel best seller itu masih misterius.
Itulah bukti, bahwa industri ini tidak mementingkan siapa dirimu. Bodo amat tentang bagaimana rupamu, sepanjang tulisanmu dibaca, maka kamu layak disebut PENULIS.
Selain hal-hal yang disebutkan di atas, yang juga mendorong saya untuk mencintai dunia ini, adalah seorang senior ketika kuliah dulu yang berkata "menulislah! Maka kau akan hidup lebih kama dibanding usiamu." Kalimat itu sangat membekas dalam otak saya, padahal yang menggeluarkan kalimat itu sudah lupa dia pernah berkata demikian.
Ya, menulislah! Sebab penulis adalah manusia abadi sepanjang masa. Tidak percaya? Lihat ulasan saya di sini.
Sekian tulisan (tidak terlalu) penting ini. Semoga dapat memberi manfaat meski sedikit.
Salam.
0 comments:
Post a Comment