Saturday, March 5, 2016

Pentinglah Arti Sebuah Nama



Dikaruniai jabang bayi di dalam rahim setelah pernikahan berjalan 10 bulan disertai rong-rongan dari para tante yang hampir tiap saat menelpon menananyakan kenapa saya tak kunjung hamil, ya meneketehe ya, andaikan punya anak semudah menanam bibit cabe, ngapain juga saya musti susah-susah bikin tiap malam (oopsss..!). 

Lagian juga ini tante-tante yang lebih rusuh daripada pasangan suami istri ini. Ya, singkat cerita test pack ke-11 yang saya gunakan memberikan hasil berbeda dibanding 10 test pack sebelumnya. Dua garis cuy! (Saya beli test pack 1 dus setelah menikah).

Menjalani kehamilan selama sembilan bulan dengan segala suka duka, morning sickness, moonlight sickness (ini istilah saya karena saya lebih sering mual di malam hari), ketidakstabilan estrogen dan progesteron, saya jalani dengan penuh rasa syukur. Di belahan dunia lain ada yang mengharapkan kehadiran buah hati namun belum diberikan. Saya telah diberikan, berarti harus dijaga sebaik mungkin, termasuk memberikan nama yang baik pula.

Suami dari dulu menginginkan anak pertama kalau bisa laki-laki pertimbangannya ada yang bantu menjaga dan membiayai adik-adiknya nanti ketika kami sudah terlalu tua untuk bekerja. (Catatan: saya ingin punya 5 anak, namun setelah kena baby blues syndrom saya akan pikir-pikir lagi).

Perkara nama, pernah terlintas dalam pembicaraan santai kami ketika saya belum hamil, sebuah nama anak laki-laki yang gagah. Namun karena lupa dicatat, begitu menjelang melahirkan malahan kami lupa. Persolan namapun tidak lagi menjadi trending topic, tergantikan dengan masalah berat badan janin yang sudah 3kg padahal jadwal melahirkan saya masih sebulan lagi. Hwaaah!

Pokoknya, nama akan diambil dari asmaul husnah dan harus ada nama Rasul. Kandidat terkuat adalah Muhammad Aziz. Saat lahiran pun tiba. Proses lahiran yang selancar jalan tol. Bayi laki-laki dengan berat 3,45 kg dan panjang 48 cm yang saya lahirkan secara normal. Alhamdulillah.

Keesokan harinya seorang kerabat datang berkunjung di rumah sakit. Setelah berbasa-basi haha hihi dia lalu menanyakan nama bayi kami. Suami menjawab yakin "Muhammad Aziz." Lalu segalanya berubah dengan 1 kalimat bantahan dari kerabat kami itu, "kalau ada asmaul husnahnya, usahakan di depannya itu ada 'Abdul' yang artinya ''Hamba''. Asmaul husnah itu nama-nama Allah. Cuma Allah yang pantas dipanggil dengan nama itu"

Demikianlah teori yang meluluhlantakkan nama yang sudah kami pikirkan matang-matang itu. Demi menguatkan teori kerabat kami, suamipun menelpon ustadznya di makassar untuk verifikasi dan mendapatkan jawaban yang sama. Karena suami menganggap nama 'Abdul' sudah banyak orang yang miliki jadinya dia tidak mau anaknya dikasih nama begitu. Duh!

Ya, sudah. Nama ini dipikirkan nanti-nanti saja kalau sudah pulang dari rumah sakit (saya di rumah sakit 3 hari). Keesokan harinya lagi, adalah jadwal pulang saya. Seorang suster masuk ke dalam ruangan dan meminta saya menuliskan nama anak. 

"Suster, anak ini belum dikasih nama" kata saya.

"Kenapa belum bu? Sebelum pulang kami harus bikin surat keterangan lahir untuk keperluan ibu urus akte kelahiran. Harus dipikirkan sebelum pulang ya bu. Saya tunggu!" Waduuuh!

Jadilah hari itu saya dan suami browsing untuk cari nama yang tepat dan baik. Tetap harus ada nama Rasul.  Lalu saya terpana pada suatu nama 'Said'. Said bin Tsabit dan Said bin Harith, keduanya adalah sahabat Rasul. Said bin Tsabit adalah penghafal Al-Quran, Said bin Harith adalah anak angkat Rasul, salah satu dari keduanya adalah pakar ilmu waris ( saya lupa said yang mana). Salah satu artikel menyebutkan tidak ada yang lebih paham ilmu waris dibanding Said. 

Perkara waris adalah perkara yang sensitif dan orang yang mendalami ilmu tersebut pastilah orang yang adil. Hukum waris ditetapkan langsung oleh Allah. Adakah yang lebih adil dari Dia? Dengan memberikan nama itu kami mengharapkan nanti anak kami mampu menegakkan keadilan di muka bumi ini (amin).

Said, dalam pelafalan bahasa Inggris ditulis Zayd. Dan jadilah resmi anak pertama saya bernama Ahmad Zayd. Maunya dipanggil Zayd, tapi karena ibu saya kesulitan mengeja kata yang dominan konsonan makanya dipanggil Ahmad sampai sekarang.

Ya sudah, tidak apalah. Gugur sudah satu kewajiban orang tua terhadap anak. Memberikan nama yang baik. Masih ada rentetan kewajiban lain menanti. Semangat!

#onedayonepost

9 comments:

  1. Dan saya merasa lega yg kedua setelah dia selesai dikhitan. Gimana nanti klo udah sampai mengantarnya menikah ya.. huwaaa terharu sendirian..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hwaaahhhhh......mengantar menikah? Sudah sedih duluan memikirkannya.. Hikzzz

      Delete
  2. Semoga Ahmad Zayd jadi anak sholeh, aamiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin uni...makasih yaaa..:)). Semoga anak-anak kita menjadi pelipur Lara kedua org tuanya Dan menjadi media menjemputku surga.

      Delete
  3. Barakallah, semoga Zayd menjadi anak sholih dan menjadi qurrota a'yun

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin mbak Nindy,, doa yang sama untuk anak-anak mbak...amin..amin..

      Delete
  4. Wah, dibanding Dedek Alif yang mana lebih gede?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau dari usia...gedean dedek Alif drey...beda beberapa hari kalau nggak salah. :D

      Delete