Saturday, August 20, 2016

Finding Gladio


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com.


Percayalah, tidak ada yang dapat membawaku kembali ke tempat ini selain pekerjaan. Dan kenangan.

Kopi by Ignatius Dimas

Aku menghirup aroma kopi dari cangkir yang ada di hadapanku dan mengecapnya sedikit di ujung lidah untuk kemudian menggeleng kecewa pada gadis yang duduk dengan wajah antusias di hadapanku.

"Masih bukan? Yaahhh..." Gadis itu bernama Karin dan kini dia mendengus kecewa. Ini gelas kopi ke 33 di hari ke 11 ku di Manado.

"Aku mulai meragukan metode yang kita gunakan ini, Queen," gumamnya.

"Sejak awal ide ini memang gila. Mana mungkin menemukan seseorang hanya dengan mengandalkan  ingatan tentang rasa kopi yang pernah dia buat di masa lalu!" Gerutuku.

"Lah, kan kamu sendiri yang bilang kopi buatannya punya aroma khas yang tidak ditemukan pada kopi manapun," Karin masih mencoba membela diri padahal ‘3 coffee shops per night’ itu murni idenya.

Ada puluhan kedai kopi di Manado dan Karin lebih dari yakin dengan mendatangi tiga kedai kopi perhari-setelah jam kerja kami di perusahaan selesai-adalah langkah paling jitu menemukan Gladio.

"Jangan menyerah! Cewek kece pantang menyerah. Ayo kita balik hotel."

Aku hanya bisa merengut sebal sambil mengekor Karin dengan langkah gontai kembali ke hotel tempat kami menginap selama menjalankan tugas sebulan di Manado. Tentu saja kedatanganku dan Karin di Manado bukan dengan tujuan sekonyol mencari lelaki. Kami ditugaskan perusahaan tempat kami bekerja untuk meng    audit kantor cabang di kota nyiur melambai ini.

Selama hampir tiga tahun bekerja di salah satu Bank BUMN sebagai auditor selalu membuatku bersyukur karena dipercayakan menjelajahi beberapa kantor cabang di seluruh penjuru negri. Palembang, Semarang,  Samarinda, Makassar, Ambon, Manokwari. Tapi aku tidak pernah sekesal sekarang karena tidak boleh menolak ketika ditugaskan untuk mengaudit kantor cabang Manado.

"Jangan lupa, nanti kamu ziarah ke makam orang tuamu," pesan Opa sebelum aku berangkat. Sejak   menjadi yatim piatu Opa lah yang mengambil peran sebagai orang tuaku. Seminggu setelah musibah kebakaran yang menyebabkan kedua orang tuaku meninggal Opa membawaku untuk tinggal bersamanya di Jakarta.

Pernahkah kalian merasa benci terhadap sesuatu yang hanya dengan mendengar namanya saja kalian merasa sakit? Itulah yang terjadi setiap kali aku mendengar kata Manado. Hanya kenangan buruk yang membuatku tidak nyaman hadir melintas seperti slide show. Rasanya sesak mengingat bagaimana rumah tempatmu dibesarkan terbakar sementara orang tuamu ada di dalam.

Aku selamat karena malam itu sedang menginap di rumah teman untuk membahas soal ujian nasional SMA. Ketika kembali keesokan harinya rumahku tinggal puing reruntuhan sekaligus menyandang predikat baru sebagai anak yatim piatu.

Di lain pihak kadang-kadang perasaan sesak itu berbaur dengan aroma kopi. Adalah Galdio Mokoginta yang menghadirkan aroma itu ke dalam kenanganku.

Hari pertama di Manado aku mengajak Karin mengunjungi makam kedua orang tuaku. Letaknya tidak jauh dari pusat kota sehingga kami hanya perlu naik angkutan umum selama 20 menit.

Karin adalah sahabat baikku sejak kuliah di Jakarta. Best friend is sister God never Gave Us. Dia tahu semua tentangku termasuk masa laluku. Beruntung sekali karena kami diterima di perusahaan yang sama    bahkan di unit yang sama.

Hari kedua di Manado Karin memaksaku untuk mendatangi bekas rumahku dulu. Karin bilang kenangan buruk harus dilawan agar kita tidak merasa resah jika mengingatnya di kemudian hari. Bagiku kenangan buruk cukup dikubur dalam-dalam.

"Jadi, itu rumah Gladio?" tanya Karin ketika itu menunjuk rumah di seberang jalan.

Kami berdiri di atas puing-puing reruntuhan bekas terbakar. Tujuh tahun sudah berlalu namun di atas   tanah ini belum berdiri bangunan apapun.

"Queen, kamu tidak mau cari tahu kenapa tiba-tiba keluarga Gladio menghilang?" tanya Karin lagi.

Aku menggeleng pelan.

Di hari yang sama ketika rumahku terbakar, Gladio dan keluarganyapun pergi meninggalkan rumah mereka. Gladio pergi meninggalkanku tanpa berita setelah selama tujuh belas tahun ia selalu berjanji untuk bersama denganku. Janji masa lalu yang konyol sehingga aku memilih menguburnya dalam-dalam bersama kenangan  buruk lainnya.

Galdio Mokoginta adalah anak lelaki dengan aroma kopi yang menguar di sekelilingnya. Papanya penggila kopi Toraja dan hampir setiap sore mengundang Ayahku untuk minum kopi bersama.

Glad, aku biasa memanggilnya demikian, memiliki cita-cita yang unik. Ingin menjadi pemilik rumah kopi yang menyediakan berbagai cita rasa kopi nusantara. Mungkin ia juga menggilai kopi seperti ayahnya.

"Queen, tahu tidak kalau kopi Toraja itu juga disebut sebagai Queen of Coffee. Ini jenis kopi mahal yang hanya diminum oleh kalangan tertentu kalau di luar negri. Ekspor kopi Toraja itu ilegal kalau tidak melalui perusahaan Key Coffee di Amerika. Gila kan? Padahal kopi Toraja itu asli produk Indonesia loh," Gladio selalu bersemangat jika bercerita tentang kopi. Akupun selalu bersemangat menyimaknya sambil menghirup dalam-dalam aroma kopi dari cangkirku.

Di usia baru sembilan belas ia sudah sangat mahir membuat kopi.

"Kopi itu menyerap rasa alam sekitarnya. Kalau ketika diminum ada sedikit rasa buah, mungkin ketika tumbuh dulu ia ditanam dekat tanaman buah," ujar Glad suatu ketika di sore hari ketika aku memenuhi undangan minum kopinya. "Jika ada sedikit rasa pedas mungkin ditanam dekat tanaman cabe."

Aku tersenyum lalu menyesap cangkir kopi yang baru saja berpindah tangan dari genggaman Glad ke  tanganku.

"Hmmm, kopi ini aromanya unik. Rasanya tidak terlalu asam seperti kopi-kopi biasanya."

Gladio tersenyum,"oh, ya?"

Aku mengangguk bersemangat. Pikiranku yang awalnya disesaki dengan perkara ujian nasional langsung rileks seketika.

"Aromanya seperti tanah basah sehabis hujan," tambahku.

Senyum Gladio semakin mengembang.

"Ini kopi Toraja. Kesukaanku dan Papa. Di seduh dengan air panas tepat di derajat ke 95.       Hasilnya adalah kopi beraroma kenangan."

"Aroma kenangan?"

"Ya, kenangan akan kampung halaman semasa kecil dulu. Biji kopi ini berasal dari tanah kampung  halaman nenek. Di petik dan digiling di depan rumah nenek di Toraja sana."

Ibu Galdio berasal dari Toraja. Ayahnya orang Kotamubagu, Sulawesi Utara.

"Ngana mau kalau suatu saat pesiar ke rumah nenekku?"

Aku mengangguk antusias,"mau sekali!"

"Nanti, setelah kita berdua menikah. Honeymoon."

Aku yakin pipiku lansung merah ketika itu. Untuk menyamarkannya aku segera menyeruput dari cangkir kopiku hingga tandas. Lalu mengalihkan pandangan jauh-jauh melampaui bingkai jendela. Langit Manado     selalu indah. Biru membentang ketika siang, penuh gemintang ketika malam.

Galdio adalah anak lelaki yang tinggal di depan rumahku. Kami tumbuh besar bersama. Ia adalah objek untuk predikat baru dalam kamusku ketika itu. Cinta.

Di hari pertama begitu aku selesai unpacking barang bawaan di hotel Karin mengungkapkan teori ini, "Ada tiga alasan kenapa kamu harus cari Gladio," Karin mengacungkan tiga jarinya. "Pertama karena kebetulan kita lagi di Manado untuk waktu yang lumayan lama. Kedua karena dia adalah oase kebahagiaan di tengah lautan kesedihan masa lalumu. Ketiga biar kamu move on lalu kembali membuka hati untuk lelaki."

Aku hampir saja tersedak air minumku sendiri ketika mendengar ocehannya.

"Sudah 24 tahun dan belum ada lelaki yang bisa menembus benteng hatimu yang berlapis-lapis itu," ujar Karin lagi.

"Nggak usah lebay!" Bantahku sambil melempar handuk ke wajah Karin yang selalu tampak menyebalkan kalau mulai sok tahu.

Sehabis mengunjungi reruntuhan rumahku, Karin memaksa untuk mengetuk pintu rumah Gladio.

"Ayo kita cari dia. Siapa tahu dia ada di dalam," bisik Karin sesaat sebelum pintu rumah dibuka oleh   wanita paruh baya berpakaian modis yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Tante Ani. Adik dari Mama Gladio.

"Mereka sudah lama tidak tinggal di sini," Tante Ani menjawab pertanyaan Karin.

Setelah dipersilahkan masuk kami duduk di sofa ruang tamu. Karin antusias menginterogasi Tante Ani sementara aku hanya takjub memandang sekeliling rumah. Demi Tuhan tidak ada satupun yang berubah dari rumah ini sejak terakhir kali aku kemari. Bahkan coffee grinder milik Ayah Gladio masih berada di posisi yang  sama dalam buffet di sudut ruangan.

Sofa yang aku duduki adalah sofa yang sama ketika tujuh tahun lalu aku dan Gladio perang bantal  seusai dia memggombal soal honeymoon ke Toraja.

"Papanya Glad di fitnah terlibat dalam korupsi. Sekarang di penjara. Waktu itu Mamanya Gladio tidak sanggup menahan malu atas gunjingan tetangga. Makanya mereka pindah ke Tondano dan tidak pernah kembali lagi ke Manado."

Aku menajamkan telinga. Tahun 2009, walikota Manado yang sedang menjabat terjerat kasus korupsi APBN bernilai milyaran. Beberapa pejabat yang berada di jajaran pemerintahannya satu persatu diciduk aparat. Papa Gladio adalah pejabat yang memangku posisi penting di pemerintahan kota ketika itu. Aku tidak tahu ia   terjerat kasus tersebut.

"Bagaimana kabar om Handy sekarang, tante? Sudah bebas kah?" Tanyaku.

"Belum. Masih 3 tahun lagi.

"Lalu dimana Gladio sekarang?" Giliran Karin bertanya.

"Gladio tidak pernah kembali ke rumah ini. Lima tahun yang lalu terakhir kali tante bertemu waktu acara wisudanya. Sekarang dia sibuk dengan bisnisnya. Jarang ada di Manado."

"Bisnis apa?" Suara Karin membuatku ingin membekap mulutnya yang cerewet.

"Rumah kopi. Dia punya beberapa rumah kopi di Manado dan sekitarnya."

Aku tertegun. Gladio telah mewujudkan mimpinya.

"Dimana rumah kopinya tante?" Masih suara Karin.

"Tante tidak begitu tahu. Ada beberapa. Tapi yang paling tante ingat ada di Tomohon. Dekat Danau  Linow."

Kejadian itulah yang membuatku mengikuti reacana gila Karin menelusuri satu demi satu rumah kopi  di Manado untuk mencari tahu keberadaan Gladio setelah Tante Ani mengaku tidak menyimpan lagi nomor HP Gladio maupun nomor HP Mama Gladio yang baru. Bahkan kepada keluarga dekatpun mereka tidak memberi  tahu alamat tempat tinggal sekarang. Awalnya dengan alasan untuk menghindari serbuan wartawan media lokal. Namun lebih dari itu mungkin mereka ingin membangun kehidupan yang baru di tempat yang tidak ada satu    orangpun mengenal mereka. Mengenal mereka sebagai keluarga terpidana korupsi.

Hari Jumat. Hari terakhirku di Manado sebelum akhirnya kembali lagi ke Jakarta. Diskusi audit di kantor cabang telah selesai  dilakukan sejak dua jam yang lalu. Aku mengasingkan diri ke musholah kantor di lantai 5 untuk sedikit melepas lelah. Selain itu, dari jendela lantai lima  bangunan ini pantai berlatar senja terlihat sempurna.

Tampak di kejauhan jembatan gantung Soekarno yang baru setahun lalu diresmikan berdiri kokoh.  Tiga hari yang lalu aku dan Karin menyempatkan berfoto di icon baru kota Manado itu. Berlatar tulisan ‘Mari jo pasiar ke Manado’.

"Queenara, besok ke Danau Linow yuk. Katanya ada rumah kopi enak di sana." Suara cempreng Karin membuyarkan lamunanku.

"Aku pikir kita sudah sepakat untuk menghentikan 3 coffeeshops per night ?” Gerutuku kesal.

"Geer banget sih!" Karin mebalas. "Aku tuh mau ke Linow untuk foto-foto di sini!" Ia menunjukkan    foto di Instagramnya yang melukiskan pemandangan danau dengan air berwarna gradasi hijau berpadu bentangan langit biru dan bangunan putih yang sepertinya cafe.

"Ini lagi hits di insta. Aku yakin kamu yang orang manadopun tidak tahu tempat ini" sambungnya, "Forget about Gladio. Sepertinya orang itu juga tidak mau ditemukan."


@@@

Danau Linow (dokumentas pribadi)



Yang membuat air Danau Linow tampak berwarna hijau adalah kandungan belerang. Pagi ini cerah   dan aku berhasil terbujuk dengan rayuan maut Karin untuk datang jauh-jauh ke Tomohon, satu jam dari manado demi memuaskan hasratnya ber-selifie ria di spot yang katanya lagi hits di instagram.

Sebuah café dua lantai dirancang menyerupai kapal seolah mengembang di atas Danau Linow. Ketika Karina sudah ada di lantai dasar restoran yang tingginya hampir sejajar dengan permukaan danau, jejeritan sambil jingkrak-jingkrak minta difoto dari berbagai angle, aku lebih memilih duduk di lantai dua restoran sambil      memandang seluas danau membentang. Menikmati alam yang begitu harmoni berpadu,menikmati hari-hari        terakhirku di Manado, menikmati aroma kopi yang memenuhi atmosfer café.

Tunggu dulu. Aku tercengang sambil sesekali menarik nafas agak dalam berharap aroma kopi dapat   terjaring sempurna masuk ke rongga hidungku. Ini aroma kenangan. Ini aroma khas yang menemani soreku bersama Glad.

Aku mencegat pelayan café yang baru saja melintas. Meminta menu.

“Ini wangi kopi apa? Aku ingin kopi ini.”

Pelayan café itu tersenyum lalu meletakkan buku menu di atas meja di hadapanku.

“Ini primadona kami,” ujar pemuda yang kutaksir usianya sebaya denganku itu. Jarinya menunjuk tulisan pada kolom minuman.

Queen of Coffee. Aku membaca menu yang ditunjuknya.

“Biji kopi pilihan. Kopi Toraja Arabica.  Ditanam dan diolah langsung dari Tana Toraja.”

Seketika jantungku berdegup dua kali lipat lebih cepat. Semua penjelasan pelayan café ini serasa familiar di telingaku.

“Apakah pemilik café ini bernama Glad? Gladio Mokoginta?"

Pelayan café itu mengangguk. Di Manado, nama seseorang akan diikuti dengan nama belakang berupa marga keluarga dari sebelah ayah. Mokoginta adalah marga Gladio. Jadi bisa dipastikan pemilik café ini adalah benar Glad, lelaki dari masa laluku.

“Dimana Glad sekarang? Bisa saya bertemu?”

“Oh, maaf, Bapak Glad sedang keluar kota.”

“Bisa saya minta nomor hape nya?” aku konsisten memburu.

"Maaf saya tidak bisa berikan. Bapak Glad tidak suka kalau nomornya diberikan ke orang asing.”

Rupanya Glad benar tidak ingin ditemukan. Meskipun sangat kecewa, aku tetap memesan secangkir Queen of Coffe dan selembar sticky note serta bolpoin.

Pelayan café itu kembali 15 menit kemudian. “Ini kopi Nona. Di seduh dengan air tepat di derajat ke- 95. Silahkan dinikmati.”

Aku tersenyum sambil meraih sticky note dan bolpoin yang kupesan. Aku tahu soal derajat 95 itu. Batinku.

“Ada lagi yang bisa saya bantu?” Pelayan itu belum beranjak.

Kapan ajak saya ke rumah nenek?

Aku menuliskan kalimat itu di sticky note. Awalnya aku ingin menyertakan nomor HP-ku tapi kemudian aku urung. Jika Glad tidak ingin ditemukan, maka aku tidak akan mencoba menemukannya. Jadi, aku hanya menambahkan ‘Queenara’ di ujung kalimat.

“Tolong berikan pada Gladio.”

Pelayan café itu mengangguk, “oh, ya jika Nona suka kopi ini bisa kembali lagi besok. Kami buka sampai hari Minggu.”

“Sayangnya besok saya sudah kembali ke Jakarta.”

“Wah, sayang sekali. Kopi ini selalu membuat orang kembali. Tapi jika masih ada waktu di Manado bisa mencicipi kopi kami di restoran Tude House di Kawasan Mega Mas.”

Aku sedikit tercengang. Pantas saja aku dan Karin tidak berhasil menemukan kopi khas Gladio di Manado meski sudah rutin mengunjungi 3 rumah kopi hampir setiap hari. Kami melewatkan Tude House karena itu restoran bukan rumah kopi.


@@@

Aku sengaja tidak membertitahu Karin soal kopi di Danau Linow.

“Rin, kamu mau makan nggak? Aku mau keluar nih cari makan.” Aku melirik jam di layar HP. 19.05 WITA.

“Nggak deh. Titip snack saja ya.”

Pesawatku besok jam 06.15 WITA. Ini benar-benar jadi malam terakhirku di Manado. Entah kapan lagi aku kembali ke kampung halamanku ini. Rasanya tidak ada alasan lagi kembali ke sini.

Tujuanku sekarang adalah Tude House. Aku ingin menikmati Queen of Coffee untuk yang terakhir kalinya sebelum pulang dan mungkin seperti yang Karin bilang berdamai dengan masa lalu. Selama ini aku membenci Glad karena dia tiba-tiba menghilang tanpa berita. Ketika menghilang itu seluruh media sosialnya dinonaktifkan. Nomor HP nya tidak bisa dihungungi.

Aku membencinya tanpa alasan yang jelas. Padahal dia punya alasan kenapa memilih untuk menghilang. Jika aku jadi dia mungkin aku akan melakukan hal yang sama.

Aku memilih tempat duduk outdoor agar lebih maksimal menikmati malam di Manado. Restoran Tude House sangat cozy dan berdiri menghadap pantai Boulevard. Dari tadi angin laut tidak pernah berhenti memainkan anak rambutku.

 Ketika waitrees datang aku sudah tahu akan memesan apa. Hanya secangkir kopi tanpa makanan  apapun.

Aroma kopi sudah menguar. Benar ini          aroma kopi dari masa lalu. Benar ini aroma       kopi yang selalu dihadirkan Glad menemani       sore-sore kami dulu. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sumbernya dan  tidak menemukan seoranpun waitrees yang membawa   nampan dengan cangkir kopi di sekitarku. Mungkin ada pengunjung lain yang memesan kopi.

Wangi kopi itu semakin menyengat hidungku sebelum sebuah suara berat bergumam,       “jadi kapan kita ke kampung nenek?’

Aku menengadah menantang sesosok tubuh tinggi menjulang yang berdiri menghalangi pandanganku  ke lepas pantai. Kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga siku, celana jins  biru berpadu sepatu casual dan senyum lebar. Gladio Mokoginta berdiri tepat di hadapanku.   Debur ombak yang dihantarkan dari samudera pasifik baru saja pecah di selah bebatuan menyisakan percikan air yang menjangkau ujung mejaku.

Aroma kopi Toraja berbaur dengan mint menusuk hidung. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri sekali lagi untuk kemudian menyadari bahwa aroma ini berasal dari lelaki di hadapanku.

_Selesai_

Tulisan ini bisa tercipta juga tidak lepas dari hasil jalan-jalan ke :
- majalah.ottencoffee.co.id
- dewa-barista.blogspot.co.id
- specialtycoffee.co.id
- torajaparadise.com
- wikipedia
- dan juga Danau Linow