Saturday, April 23, 2016

Lelaki Pertama


Cerpen ini pernah saya kirimkan ke Majalah Femina dan ditolak mentah-mentah. hahaha...


Saran, masukan dan kritikan pedas ditunggu di kolom komentar.


Gambar dari Google



2013
Ini malam pertamamu. Setelah mengimami istrimu solat sunnah kau hanya diam terpekur di atas sajadah. Sekelebat kejadian tadi siang kembali menyeruak memorimu. Itu saat kau menggenggam erat tangan ayah dari wanita yang baru saja kau imami solatnya. Bibirmu fasih melafalkan ijab kabul. Kau tampak tenang saat itu. Tapi hatimu bergetar. Getaran yang hebat. Kau berusaha keras menyembunyikan air matamu. 

Ijab kabul itu selesai dalam satu kali hembusan nafas. Semua undangan mengamini. Kau melihat sekilas ke arah pengantin wanitamu yang duduk tidak jauh dari tempat ayahnya duduk. Ia tersenyum dalam balutan gaun pengantinnya yang sederhana. Wajahnya sederhana, tapi kau selalu terpaku pada kecantikan kalbunya. Kau menoleh sekilas ke arah ibumu yang duduk di sampingmu. Ada senyum bangga di bibirnya yang menua.

Lamunanmu buyar saat tangan istrimu menyentuh pundakmu. Kau melihatnya berjalan ke arah ranjang pengantin yang telah dihias begitu indah untuk hari bahagiamu. Kau tersenyum dan menyusulnya ke ranjang. Kau menatap istrimu dalam-dalam dan masih tidak percaya kini kau telah memiliki wanita itu sepenuhnya.

Tiba-tiba dadamu sesak. Matamu memanas. Detik berikutnya kau menangis tersedu sedan di pelukannya. Menangis seperti anak kecil.

1998
Usiamu tidak lebih dari sepuluh tahun saat gerombolan massa yang terdiri dari orang-orang kampungmu datang memebawa obor di tangan mereka masing-masing. Ada orang tua dari Rizal, teman kelasmu di sekolah, memipin di baris depan. Awalnya kau pikir Ayahmu sedang membuat hajatan dan mengundang warga sekampung, tapi dilihat dari muka mereka yang tegang dan penuh kebencian kau mulai merasa dugaanmu salah.
Kau masih ingin melihat apa yang akan dilakukan massa yang datang berbondong-bondong ke rumahmu itu namun tangan ibumu cepat mencengkram dan menarik lengan bajumu.

“Bawa adikmu sembunyi ke rumah tante Suari!” Ibumu berteriak kepada Andira, kakak perempuan tertuamu, mengalahkan massa di luar sana yang juga sedang gaduh berteriak “Bakar! Bakar rumah lintah darat ini!”

Kau bergidik dalam pelukan Andira, sementara ia mendekapmu sambil menangis. Kalian mengendap-ngendap keluar dari rumah melalui pintu belakang menghindari amukan massa. Dari kejauhan kau sempat melihat ayah dan ibumu berlutut di kaki para pembawa obor itu. Kau meronta tapi dekapan  Andira mengalahkan tenagamu.

Seminggu kemudian kau bersekolah seperti biasa. Rumahmu masih utuh seperti sebelum kau mengungsi ke rumah tante Suari. Kehidupan berjalan normal. Kecuali Ibumu yang lebih sering menangis dan Ayahmu yang tiba-tiba menjual mobil kesayangannya. Itu mobil yang baru dia beli lima bulan yang lalu dengan harga yang terbilang fantastis di era  krisis moneter. Itu satu-satunya mobil mewah di kampungmu. Kepalamu penuh dengan tanda tanya tentang mobil yang tiba-tiba dijual, tapi kau tidak pernah benar-benar berani menanyakannya.

“Anak lintah darat! Keluarga Kospin lintah darat!” Rizal menghampirimu sambil mengejek saat bel jam istirahat berbunyi.

“Lintah darat! Lintah darat!” teman sekelasmu yang lain ikut mengejek. 

Kau belum mengerti apa itu lintah darat. Kaupun tidak yakin Rizal dan kawan-kawanmu yang lain menegerti. Tapi semenjak peristiwa massa dan obor itu kawan-kawanmu jadi sering melontarkan ejeken seperti itu.

“Keluarga Kospin lintah darat!” Rizal terus saja mengejek.

Satu-satunya yang kau mengerti hanyalah bahwa Kospin adalah nama Koperasi simpan pinjam yang didirikan oleh Ayah, Ibu dan beberapa kolegamu sebelum kau lahir. Bahwa hampir semua masyarakat di kampungmu menaruh hormat dan segan pada Ayahmu yang telah merintis koperasi yang kata mereka sangat membantu usaha mereka itu. Kau tidak mengerti kenapa justru orang-orang kampungmu minggu lalu datang berbondong-bondong hendak membakar rumahmu.

Media massa dan media elektronik lokal sempat beberapa kali meliput rumahmu, mewawancarai ayahmu, mewawancarai pamanmu, mewawancarai bibimu tanpa pernah sekalipun mewawancarai Ibumu, sebab yang bisa dilakukan ibumu hanya menangis. 

“Saya sungguh minta maaf kepada seluruh anggota koperasi yang telah menyimpan dananya maupun telah menginvestasikan uangnya untuk Kospin. Saya tidak ada niat buruk apalagi niat menipu. Ini juga musibah buat saya. Ini musibah kita bersama” Ayahmu, selaku ketua Koperasi, mencoba menjelaskan kepada salah satau wartawan yang meminta pendapatnya.

“Kami berjanji akan mencari orang itu hingga dapat. Saya sama sekali tidak menyangka kepercayaan kami justru dikhianati. Kamipun rugi ratusan juta rupiah. Kami mohon anggota koperasi bersabar. Kita sama-sama merintis usaha ini dari awal. Jangan pungkiri koperasi ini sudah membantu banyak warga kampung. Sekarang kita kena musibah. Uang dibawa lari. Kenapa kami saja pengurus koperasi yang disalahkan?” Salah satu pamanmu menambahkan. 

Beberapa polisi bolak-balik mendatangi rumahmu, mewawancarai Ayahmu, mewawancari paman dan bibimu.

“saya dan pengurus koperasi lainnya sama sekali tidak terlibat dalam kasus ini. Ini murni perampokan. Bendahara kospin yang bawa lari uangnya. Total semua satu setengah milyar. Uang saya pribadi ada di sana delapan ratus juta” Ayahmu memberikan keterangan pada polisi yang cekatan mencatat.

“Baiklah, Pak kami akan mengusut permasalahan ini hingga tuntas dan berusaha sebisa mungkin menangkap pelakunya”

Kau mendengar percakapan-percakapan itu sambil lalu. percakapan yang tidak ada artinya sama sekali buatmu. Kau masih belum mengerti.

2004
Usiamu tepat enam belas tahun. Saat itu hujan gerimis. Langit yang menggantung di atas kampungmu kelabu pekat seolah memberi pertanda sebentar lagi ia akan menumpahkan badai. Kau di atas sepeda motor tanpa tujuan. Di belakang, ibumu membonceng sambil menangis. Ia menangis sejak kalian meninggalkan rumah hingga hampir memasuki kota. 

“Cepat temukan kakakmu. Cepat temukan Andira” Kalimat ibumu di antara isakannya.

Kau tidak menyahut. Dingin dan hujan membuatmu menggigil. Hatimu terpukul. Andira, kakak tertuamu, sudah tiga bulan tidak pulang ke rumah. Setelah diwisuda dari salah satu universitas swasta terkemuka di kota ia tidak memberi kabar sama sekali. Kemarin saat salah satu pamanmu ke kota dan mengunjungi kos Andira, si pemilik kos mengatakan Andira sudah tidak tinggal di sana sejak satu bulan yang lalu. Pamanmu mencari ke rumah kerabat di kota, mencari ke rumah kerabat di kampung tetangga. Nihil. 

Pamanmu pulang dan memberitahu ayah dan ibumu tentang Andira yang menghilang. Itulah yang membuatmu berada di atas sepeda motor membonceng ibumu di antara rintikan hujan. Ibumu ingin mencari Andira dengan mata, tangan dan kakinya sendiri. Dengan sisa tenanganya yang ada. Dengan air mata yang belum kering menangisi kakak perempuan ke-dua mu, Anita, yang sudah setahun ini juga meninggalkan rumah. Kawin lari dengan pemuda sekampung saat orang tuamu tidak menyetujui hubungan mereka.

Kau merasakan kondisi keluargamu semakin terpuruk sejak Koperasi yang didirikan ayahmu mengalami kebangkrutan luar biasa tepat saat krisis moneter 1998 melanda. Bendahara koperasi yang membawa kabur uang satu setengah milyar sudah berhasil dibekuk, namun uang tidak kembali sepeserpun. Ia dihukum kurungan penjara atas keserakahan dan kesilauannya akan materi yang bukan miliknya. Warga kampung yang semula menuntut ganti rugi atas uang mereka yang dibawa lari perlahan-lahan mulai melupakan persitiwa itu.

Keluargamu memulai segalanya dari awal. Ibumu kembali menata mental dan emosinya setelah beberapa tahun mengalami depresi hebat. Ayahmu membeli sebidang tanah yang digarap menjadi tambak udang dari hasil menjual mobil mewahnya. Tambak udang yang bukannya memberi keuntungan justru membawa perekonomian keluargamu terpuruk semakin dalam karena kerap mengalami kerugian. Ibumu menyiasatinya dengan meminjam dari tetangga kiri kanan demi mempertahankan asap di dapurmu tetap mengepul.

Kau pikir mungkin itu penyebab ke dua kakak perempuanmu lari dari rumah. Kamu pikir mungkin mereka tidak tahan harus merasakan hidup menderita setelah hidup mewah bertahun-tahun. Saat itu adik bungsumu, Maulana, masih sembilan tahun. Ia sama sekali tidak mengerti bahwa kalian sedang dalam keterpurukan finansial. Ia pun juga tidak pernah tahu bahwa kalian pernah sangat kaya dan hidup dalam kemewahan bertahun-tahun silam.
Saat itu kau dipaksa segara dewasa. Segera tumbuh menjadi lelaki tanpa perlu melewati masa remaja terlebih dahulu. Kau dipaksa menggarap tambak udang saat remaja seusiamu saling berkirim surat cinta. Kau dipaksa berpanas-panas memanen udang saat remaja seusiamu tamasya ke pantai. Bekas luka akibat goresan cangkang udang di telapak tanganmu tak hilang hingga beberapa tahun kemudian. Perih sekali. Perih yang juga kau bawa hingga bertahun-tahun lamanya.

2007
Usiamu genap sembilan belas tahun saat Ayahmu meninggal dunia. Diabetes melitus menggerogoti tubuhnya tanpa ampun. Kau tidak menangis. Kau lupa sejak kapan air matamu kering. Saat itu Maulana dua belas tahun. Ia sangat terpukul dengan kematian ayahmu. Ia anak kesayangan ayahmu. Ibumu terus saja mengusap-usap tanah kuburan. Tangisnya tak kunjung reda. 

“Ibu, apa saya tidak usah kuliah saja?” Kau memutuskan menanyakan hal itu. Hal yang membuat pikiranmu kalut sedari memandikan jenazah ayahmu tadi. Padahal itu satu-satunya kabar gembira setalah bertahun-tahun kepahitan mendera hidupmu. Bagaikan cahaya terang diujung gorong-gorong gelap saat mendapat kabar bahwa kau salah satu murid yang direkomendasikan sekolahmu untuk masuk ke  Universitas negeri terkemuka di kota tanpa perlu ikut tes.

Tangis ibumu kembali pecah demi mendengar pertanyaanmu. Tak hanya ibumu, kini para pelayatpun ikut menangis. Membayangkan seorang pria wafat meninggalkan isteri dan kedua anak lak-laki, yang satu baru memasuki masa remaja, yang satunya tidak pernah mengalami masa remaja, tanpa sepeserpun harta warisan dan usaha yang bisa diandalkan cukup membuat siapapun merasa miris. 

Kakak keduamu, Anita, menangis di samping nisan ayahmu. Ia kembali setelah setahun kabur dari rumah. Kembali dengan tambahan seorang bayi mungil dalam keluarga kecilnya. Ia kembali untuk memohon restu kedua orang tuamu lagi. Kakak pertamamu, Andira tidak pernah kembali hingga saat itu. Kau ragu apakah kabar kematian ayahmu telah sampai padanya di belahan dunia manapun dia berada kini. 

“Apapun yang terjadi, kau tetap harus kuliah, Nak. Ibu tahu itu jugalah yang menjadi keinginan Ayahmu. Ibu akan berusaha sekalipun harus pinjam-pinjam uang ke tetangga” Kalimat ibumu menjawab segala kegundahanmu. Kau mulai memantapkan hati dan langkah.

Saat itu kau semakin yakin bahwa kau terus di paksa dewasa. Kau dipaksa untuk segera menjadi lelaki tanpa perlu menikmati indahnya remaja dan asyiknya cinta monyet. Sejak kematian ayahmu kau bertambah yakin bahwa keluargamu butuh seorang lelaki lagi. Lelaki pertama harus segera muncul setelah ayahmu tiada. Sejak saat itu kau mengambil alih tugasnya, meletakkan kepentingan Ibumu dan Maulana  di atas kepentinganmu.

2011
Kau diwisuda sebagai lulusan terbaik hari itu. Usaha yang kau rintis dengan susah payah sejak awal masuk ke bangku kuliah pun semakin maju dan menghasilkan lebih dari apa yang kau harapkan. Hampir semua pekerjaan telah kau tekuni di sela-sela kesibukanmu kuliah. Kau mengorbankan waktu untuk mendekati gadis yang kau taksir atau sekedar kumpul dengan teman-teman melihat club sepakbola favoritmu bertanding live di TV. 

Kau seringkali merasa iri demi melihat teman-temanmu berkencan dengan gadis pujaannya selepas kuliah atau di malam minggu sementara kau masih harus menjual kelapa, menjual pepaya, menjual apapun yang bisa kau peroleh dari kampungmu dengan harga murah ke pasar-pasar tradisional di kota demi menghidupi keluargamu. Tapi kau berusaha menepis segala perasaan iri itu. Mungkin teman-teman kuliahmu hanyalah seorang anak laki-laki di keluarganya, tapi kau bukan. Kau lelaki dalam keluargamu. Kebahagiaan Ibu dan adik yang masih kau biaya sekolahnya berada di atas kebahagiaanmu.

Semua hasil jerih payahmu itu kini mendekati puncak keberhasilannya. Kau tahu teman-temanmu masih harus berjuang memasukkan lamaran kerja ke meja-meja perusahaan setelah upacara wisuda itu berakhir sementara kau hanya tinggal memetik hasil kerja kerasmu. 

Kau tahu suatu saat roda kehidupan berputar dan keberuntungan memihak padamu. Saat itu kau hanya mengingikan satu hal. Menangis dalam pelukan wanita yang kau cintai. Menangis sejadi-jadinya sampai suaramu serak, menangis sejadi-jadinya sampai bebanmu hilang. 

Dan kau ingin wanita itu kelak tidak perlu menanyakan mengapa kau menangis.

Sabrina A. Lasama

Samanea Saman




Sebuah cerpen yang pernah saya kirim ke Go!Girl namun tidak kunjung mendapat tanggapan. heheheh

Monggo dinikmati jangan lupa kritikan paling pedas di kolom komentar.


 
Gambar dari sini

Pagi masih muda. Matahari malu-malu mengintip dari ufuk timur. Berkas sinarnya memantul di permukaan danau yang nyaris sebening kaca. Silau. Tapi aku selalu jatuh cinta dengan matahari yang terlihat dari kampus ini. 

 “Selamat pagi, Sam. Kau sedang apa?” Aku tahu itu suara Levi. Aku kenal betul desir suaranya.

 “Aku sedang berpikir untuk berterimakasih kepada yang membuat rancangan master plan kampus ini. Hebat sekali saat dia berinisiatif untuk membuat danau buatan yang ada di depan kita sekarang”
Levi tersenyum dan memutuskan menemaniku menghirup keindahan danau pagi ini. 

Levi baru beberapa minggu ini hadir di kehidupanku. Awalnya aku tidak menyadarinya hingga suatu senja, di tepi danau persis di tempatku berdiri sekarang Ia menyapaku. Aku melirik Levi sekilas. Pagi ini dia begitu indah. Hadir dengan nuansa hijau yang memukau. Sejak pertama kali mengenalnya aku tahu dia bukan mahasiswa kampus ini, sepertiku.

Ia sering menemaniku menikmati keindahan danau seperti sekarang. Kadang Ia menyapaku di senja hari. Kadang sekedar menegurku di kala siang dan matahari menyengat. Tapi lebih sering kami bercengkrama di saat pagi masih muda. 

Hari demi hari kebersamaan kami membuatku tidak bisa menepis sebuah perasaan yang tiba-tiba timbul di hatiku. Awalnya Aku bingung dan berusaha menyangkal. Tapi dibanding membuang energi untuk menghalau persaan itu, aku lebih memilih untuk menikmatinya.

“Lihat! banyak anak-anak yang datang melihat rusa!” seruan Levi membuyarkan lamunanku.

Ini hari Sabtu. Kampus libur. Tapi kehidupan sudah menggeliat sejak pagi masih muda. Ada yang datang untuk sekedar jogging, ada yang datang membawa anak kecil untuk menonton rusa sumbangan bapak Presiden untuk kampus ini berlari-larian di tepi danau.  Ada juga yang datang hanya untuk duduk dan menikmati keindahan danau seperti yang sedang kulakukan bersama Levi.

“Aku tidak bisa, Ridwan” 

Aku agak terkejut dan menoleh ke arah sumber suara dan mendapati seorang gadis berbaju ungu duduk tidak jauh dari tempatku. Di sampingnya seorang laki-laki berkaus oblong hitam menatapnya dengan raut sedih.

“Ssstt.. laki-laki itu baru saja menyatakan perasaannya ke gadis itu” itu suara Levi yang berbisik. Desiran suaranya menggelitikku. “Tapi sepertinya dia ditolak”

“Ternyata kamu suka nguping juga ya Lev?” Sindirku. “Sudahlah, jangan campuri urusan orang lain”
“sssttt....” Levi hanya membalasku dengan suaranya yang mendesis.

“Aku mencintai temanmu, Ridwan. Bukan kamu.” Terdengar lagi suara si gadis berbaju ungu.

Laki-laki yang disebut Ridwan hanya diam mematung. Jarak sepuluh sentimeter di antara mereka seolah-olah menganga lebih lebar. Aku tahu laki-laki itu kecewa. Kekecewaan teramat sangat yang mampu melemparkan pikirannya menjauh dari tempat tubuhnya duduk saat ini.

Aku menunggu apa yang akan mereka bicarakan kemudian. Tapi yang ada hanya sunyi. Sementara di angkasa sana berkas sinar matahari sudah semakin nyata. Laki-laki dan perempuan itu terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing sehingga tidak menyadari keberadaan kami

 “menurutmu bagaimana kelanjutan hubungan mereka?” tanyaku pada Levi kemudian.

“Aku berharap mereka tetap bisa berteman” sahut Levi seadanya. 

“Seperti kita?” Tanyaku. “Seperti kita yang tetap berteman meski kamu tahu betul apa yang aku rasakan?”

Levi tersenyum tipis. Ia melihat ke arah matahari sejenak. Aku tahu sebentar lagi ia akan berpamitan dan meninggalkanku menikmati danau seorang diri. Ada kewajiban yang harus segera ia tunaikan saat matahari meninggi. Selalu seperti itu setiap harinya.

 “Aku tidak ingin kehilanganmu, Lev”

“Aku juga sama sekali tidak ingin meninggalkanmu. Tapi kau tahu Sam, perpisahan adalah sesuatu yang amat nyata untuk kita

Kata-kata Levi tentang perpisahan itu sangat menyakitkan buatku. Bukan pertama kali ini saja ia berfilosofi tentang hal tersebut. Tapi sebanyak apapun ia mengucapkannya tetap terasa menyakitkan.
 “Saat kau menemukan yang lebih baik, kau akan segera melupakanku, Sam”.

Levi lalu pergi meninggalkanku yang masih membisu untuk menunaikan kewaijibannya. Ia tidak suka diganggu saat sedang bekerja. Ia perlu berkonsentrasi sebelum matahari menghilang. 

“Cepat! Cepat! Jangan lambat!” Aku kembali terhempas ke alam sadarku dan menyadari hari beranjak sore. 

Di kejauhan tampak seorang mahasisiwa mengenakan pakaian olahraga memimpin segerombolan mahasiswa lain yang berpenampilan aneh di belakangnya. Yang wanita rambutnya di kuncir lima. Yang laki-lakinya digundul. Masing-masing mereka mengalungi papan nama dari kardus berukuran tiga puluh sentimeter yang diikatkan pada tali rafia. Dari penampilannya, mereka pasti mahasiswa baru yang sedang menjalani ospek. Dan yang berlari memipin mereka di barisan paling depan pasti mahasiswa senior.

 Tetap fokus dan perhatikan pohon-pohon di kanan-kiri jalan” Teriak si mahasiswa senior itu.
Seorang gadis berkuncir lima berlari melalui tempatku duduk. Ia berhenti sejenak di dekatku. Jarak kami yang lumayan dekat membuatku bisa membaca tulisan yang tertera di papan kardus yang dikenakannya. Reni. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin angkatan 2012.
***
Fajar baru saja menyapa semenit yang lalu. Aroma lumut yang tertutup embun di permukaan tanah berlapis paving menyengat hidungku. Aku tidak tahu ini pagi keberapa sejak perkenalanku dengan Levi. 

“Selamat pagi, Sam”

Aku menoleh dan mendapati Levi hadir dalam nuansa kuning muda dan tampak pucat. 

“Kau baik-baik saja?” tanyaku khawatir.

“Ya, aku baik-baik saja”

Belakangan Levi hadir dalam nuansa kuning, bukan lagi hijau seperti saat pertama kali kami bertemu dulu. Padahal warna hijau itu favoritku dan kupikir juga warna favorit Levi. 

“Jangan sedih begitu, Sam. Lihat, langit masih biru dan danau favoritmu ini masih tetap berkilauan seperti kaca”

Aku berusaha tersenyum. Aku tahu Levi sedang tidak baik-baik saja seperti yang dikatakannya tadi. Tapi aku tidak ingin membuatnya tambah sedih dengan rasa khawatirku yang kata Levi tidak beralasan.

“Jangan terlalu mendramatisir. Aku tahu ini sudah sering terjadi padamu. Kau sudah terlalu banyak kehilangan. Tidak apa-apa kalau mengalami satu kali kehilangan lagi” Itu kalimat Levi minggu lalu saat aku mengungkapkan kekhawatiranku pada kondisinya, kekhawatiran yang dia anggap berlebihan.

“Relakan aku, Sam. Tidak ada gunanya kamu mempertahankanku”  ujar Levi tiba-tiba.

 “Aku akan mempertahankanmu apapun yang terjadi”

“Sampai kapan?” Tanyanya. 

Aku memilih untuk diam berusaha melawan kesedihanku.

“Aku akan menemanimu sampai larut” ujar Levi kemudian.

Sudah beberapa hari ini Levi setia menemaniku hingga larut malam. Ia tak lagi pergi saat matahari meninggi. Aku senang lebih lama bersamanya. Semoga ia juga merasakan hal yang sama.

***
Penghujan tiba. Seringkali hujan turun dari pagi dan belum berhenti hingga menjelang malam. Hari ini hujan turun sedari pagi namun berhenti ketika matahari meninggi.

“Sam, lihat di sana!”

Aku menoleh mengikuti arah pandang Levi. Segerombolan mahasiswa. Yang wanita dikuncir lima dan yang laki-laki di cukur botak. Salah satu dari mereka tampak familiar dalam ingatanku.

“fokus dan perhatikan baik-baik pohon-pohon itu. Sebagai mahasiswa kehutanan kalian harus bisa mengklasifikasikannya” Teriak salah seorang mahasiswa senior.

“apa yang mereka lakukan?” tanyaku.

“mereka mengklasifikasikan jenis-jenis pohon. Lihat itu, mereka memasang semacam papan di masing-masing pohon. Ficus Benjamina1, Vitex Cofassus2, swietenia macrophylla3. Mereka menamai pohon-pohon itu”

Aku hanya tersenyum sesekali mengangguk menanggapi celotehan Levi. Sore ini ia tampak ceria meski wajahnya bertambah pucat dari hari ke hari. Nuansa coklat muda hangat yang dihadirkannya sore ini tidak mampu menutupi wajahnya yang pucat. 

 “Oke kita lanjutkan besok pengklasifikasiannya!” Teriak salah satu di antara mereka lantang mengkahiri kegiatan para mahasiswa itu mengklasifikasikan nama-nama pohon yang ada di sekitar danau kampus ini.

Kupikir aku memang harus segera merelakan Levi. 

***

Segerombolan mahasiswa baru fakultas kehutanan sudah memadati area danau sejak pagi. Mereka melanjutkan misi mereka yang belum tuntas kemarin. Mengklasifikasikan jenis-jenis pohon yang ada di kampus ini.

“Kalau aku membiarkanmu pergi, apakah kamu akan tetap mengingatku?” tanyaku pada Levi yang sudah sejak sepuluh menit lalu menemaniku menikmati indahnya danau di pagi hari.
Levi tampak terkejut namun tetap menjawab “Tentu saja, Sam. Aku tidak akan pernah melupakanmu”

“Benarkah?” rasanya air mataku sudah akan jatuh.

“apakah kamu akan merelakanku?” tanyanya pelan.

“Tentu saja kalau itu maumu”

“Bukan mauku. Tapi sudah seharusnya demikian. Andaikan aku terlahir lagi, aku tetap ingin terlahir dengan perasaan ini. Rasa cinta ini”.

Lalu kami berdua terdiam. Angin sehabis hujan semalam berhembus. Dingin malam yang basah masih terasa di sela-sela hembusannya. Di kejauhan sana beberapa ekor rusa berlarian saling mengejar satu sama lain menelusuri sisi lain danau.

“Reni, tolong pasang papan untuk pohon yang itu!” Aku mendengar salah satu mahasiswa berseru dan gadis benama Reni berlari-lari kecil menghampiri tempatku duduk. Tangan kanannya  membawa sebuah plat biru dari seng. Tangan kirinya membawa palu dan sekantung tas plastik berisi paku.

Aku kembali mengalihkan pandanganku ke arah Levi. Aku sudah memutuskan untuk merelakannya hari ini. 

“Terimaksih untuk untuk semuanya Levi. Kau tahu, aku sangat mencintaimu” ujarku serak. Aku tidak mampu menahan air mataku.

Angin berhembus agak kencang pagi itu. “Aku juga mencintaimu. Jaga diri baik-baik, Sam”. Itu kalimat terkahirnya sebelum ia beranjak pergi. Air mata tak kuasa lagi kubendung.

“Pohon ini banyak getahnya, kak!” Aku mendengar suara Reni berteriak namun aku tidak menghiraukannya. Aku terlalu sibuk mengamati kepergian Levi. 

“Semakin dipaku semakin banyak getanya!” Aku kembali mendengar suara Reni. Air mataku tumpah semakin banyak. 

Seorang mahasiswa senior berlari-lari kecil menghampiri Reni. “Sini, biar aku yang paku!” Mahasiswa senior itu cekatan mengambil alih tugas Reni memaku plat seng ke tubuhku. Tidak sakit. Rasa sakit kehilangan Levi jauh lebih besar.

Samanea saman4. Aku membaca tulisan di atas plat yang dipakukan ke atas tubuhku sekilas.
Angin masih berhembus kencang saat aku membiarkan Levi gugur dari salah satu rantingku. Aku merunduk melihat tubuhnya menari-nari dibelai angin sebelum terbaring sempurna di atas permukaan tanah tepat di samping sepatu Reni.

Terimakasih telah berfotosintesis untukku saat matahari meninggi selama tiga bulan ini.

Sabrina A. Lasama

Keterangan :
1.      Ficus Benjamina              : Pohon Beringin
2.      Vitex Cofassus                 : Pohon Bitti
3.      swietenia macrophylla     : Pohon Mahogani
4.      Samanea Saman              : Ki Hujan (Sejenis Pohon Peneduh)