Monday, March 29, 2021

OUTSIDE

OUTSIDE

Cerpen Etgar Keret



Tiga hari berlalu setelah pemberlakuan PSBB dicabut, terlihat dengan jelas bahwa tidak ada satu orang pun penduduk yang berencana meninggalkan rumah mereka. Untuk alasan yang tidak dimengerti, orang-orang justru lebih memilih untuk tetap berdiam di rumah, sendirian atau bersama dengan keluarga mereka, mungkin karena lebih suka untuk tetap berjauhan dari orang asing. Setelah menghabiskan banyak waktu berdiam di dalam rumah, setiap orang menjadi terbiasa untuk tidak pergi ke tempat kerja, tidak pergi ke mall, tidak ngopi dengan teman, tidak mendapatkan pelukan yang tak terduga dan tak diinginkan dari kenalan di kelas yoga ketika berpapasan di jalan.

Pemerintah mengizinkan beberapa hari lagi bagi warganya untuk beradaptasi, tapi ketika itu kemudian menjadi suatu kebiasaan yang tidak berubah, maka mereka tidak punya pilihan. Polisi dan satuan tantara dikerahkan untuk mengetuk pintu-pintu dan meminta orang-orang untuk keluar.


Dokumentasi Pribadi

Setelah terisolasi selama 120 hari, bukanlah sesuatu yang mudah untuk kau kembali mengingat apa sebenarnya yang biasa kau lakukan sehari-sehari untuk mencari nafkah. Dan ini bukan berarti kau sedang tidak berusaha. Itu pastinya sesuatu yang melibatkan otoritas. Mungkin sekolah? Penjara? Kau memiliki ingatan samar-samar tentang seorang anak kurus dengan kumis yang baru saja tumbuh melemparkan batu ke arahmu. Apakah kau sebelum ini adalah seorang pekerja sosial?

Kau berdiri di pinggir jalan di luar gedung dan tantara-tentara yang menggiringmu tadi memerintahkanmu untuk segera bergerak. Jadi, kau mulai bergerak. Tapi, kau tidak yakin sama sekali tentang kemana sebenarnya tujuanmu. Kau mencoba menelusuri layar ponselmu untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa menjadi petunjuk. Janji temu sebelumnya, panggilan tak terjawab, alamat-alamat di memo. Orang-orang menjadi riuh saat tumpah ke jalan dan beberapa di antara mereka terlihat sangat panik. Mereka sama sekali tak bisa mengingat kemana mereka seharusnya pergi, meskipun jika mereka bisa mengingat tujuannya, mereka tak lagi mengetahui bagaimana caranya ke sana dan untuk apa sebenarnya mereka harus ke sana.

Kau mulai membutuhkan rokok, tapi kau meninggalkan bungkus rokokmu di rumah. Saat tentara-tentara itu menerobos masuk dan berteriak kepadamu untuk meninggalkan rumah, kau hampir saja tak sempat untuk sekadar mengambil kunci dan dompet, bahkan kau melupakan kaca matamu. Kau sudah mencoba untuk kembali ke dalam rumah tapi tentara-tentara itu masih ada di sana, sedang menggedor pintu rumah tetanggamu dengan tak sabaran. Jadi, kau berjalan ke toko di sudut gang dan menyadari kau tak punya uang kecuali koin lima shekel di dalam dompetmu. Pemuda jangkung di bagian kasir yang berbau keringat, mengambil rokok dari tanganmu sambil berkata, “Aku akan menyimpannya untukmu di sini.” Saat kau bertanya apakah kau boleh membayar dengan kartu kredit, dia menyeringai seolah kau baru saja menceritakan lelucon padanya. Tangannya menyentuhmu saat dia mengambil kembali rokok itu dan tangan itu terasa sangat berbulu, seperti tikus. Seratus dua puluh hari sudah berlalu sejak kau bersentuhan dengan orang lain.

Jantungmu berdebar, udara terasa bergemuruh melewati paru-parumu dan kau tidak yakin apakah kau masih bisa bertahan dengan kondisi ini. di dekat mesin ATM duduk seorang pria mengenakan pakaian yang kotor, dan ada sebuah kaleng di sampingnya. Kau mengingat dengan jelas apa yang kau lakukan di situasi seperti ini. Secepat kilat kau berusha menjauhinya dan saat dia berkata kepadamu dengan suara yang serak bahwa dia belum makan sejak dua hari yang lalu, kau memalingkan wajahmu, menghindari kontak mata dengan begitu lihai. Tidak ada satu pun yang menakutkan. Ini hanya seperti ketika naik sepeda : tubuh mengingat segalanya dan hati yang melunak akan kembali mengeras dalam waktu singkat saat kau sendirian.[]

 

Sumber : https://www.nytimes.com/interactive/2020/07/07/magazine/etgar-keret-short-story.html

 

Diterjemahkan dari bahasa Ibrani oleh Jessica Cohen

Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Sabrina Lasama

 

Keret lahir di Ramat Gan, Israel pada tahun 1967. Ia adalah anak ketiga dari orang tua yang selamat dari Holocaust. Kedua orang tuanya berasal dari Polandia. Saat ini ia berdomisili di Tel Aviv bersama istrinya dan putra mereka. Ia adalah dosen di Ben-Gurion University of The Negev di Beer Sheva dan di Universitas Tel Aviv. Dia berkewarganegaraan ganda yaitu Israel dan Polandia