Sunday, January 26, 2020

Yang Terberat Ketika Kamu Memutuskan Resign (Part 1)


Kok pakai part-part an segala?  Iya,  soalnya akan ada banyak hal yang menggalaukan langkahmu, Mak. 

Gambar dari google


Apapun alasanmu resign dari tempat kerja yang sekarang,  pasti kamu akan melalui fase-fase galau dan bertanya pada diri sendiri tentang apakah keputusan yang kamu buat ini benar atau tidak.  Jika kamu sudah mengajukan surat resign,  maka sudah pasti kamu telah mempertimbangkan hal ini dengan baik dan mantap.  Saya pun demikian. 

Baca :

Tapi ya... Masih ada aja yang membuat hati ini galau tidak karuan.  Dalam kasus saya,  masalah finansial,  alhamdulillah, tak menjadi kendala. Tapi, hal ini akan tetap saya bahas di part berikutnya. 

Lalu, apa yang bikin galau on the top?  Saya bilang ke sahabat-sahabat dan orang terdekat saya bahwa hal yang paling berat saat saya memutuskan untuk resign adalah dealing sama orang-orang di sekitar yang judgemental pada keputusan ini.  Entah teman kantor,  entah tetangga,  entah tante-tante yang tiba-tiba telpon,  "Nina,  kamu tidak nyesal resign?  Nanti tidak punya uang sendiri loh."

Kamu akan sangat sering mendengar kalimat-kalimat penuh jugdment seperti ini :

"Banyak yang ingin di posisimu,  kenapa kamu malah keluar?" 

"Bisnis kan bisa tetap jalan.  Tinggal bayar orang yang bisa kalau misalkan kamu bilang mau benahi pembukuan bisnis."

"Sayang loh,  sekarang cari kerja susah."

"Gaji sebulan besar,  di kampung halaman sendiri,  jarak kantor-rumah gak sampai sepuluh menit.  Gak bersyukur banget."

Herannya,  kalimat-kalimat di atas itu akan kamu dengar dari orang-orang yang tidak masuk kategori sahabat akrab ataupun karib kerabat dalam daftar pertemanan kamu.  Sebaliknya,  orang-orang yang benar-benar mengenalmu,  justru akan mensupport apapun alasanmu. 

Mendengar kalimat-kalimat menghakimi dari lingkungan adalah hal yang terberat buat saya bahkan di hari pertama saya mengajukan surat resign. Tapi saya kembali lagi meyakini bahwa ini adalah jalan yang saya pilih,  suami,  kedua ortu,  sahabat-sahabat terdekat tidak keberatan serta saya memang tidak dilahirkan untuk menyengangkan semua orang bukan? 

Pun ketika membuat keputusan penting dalam hidup,  saya tidak harus membuat keputusan yang memuaskan hati orang lain.  Toh, ini adalah hidup saya dan  yang menjalani hidup adalah saya sendiri. 

Pelajaran berharga lain yang bisa saya ambil dari peristiwa ini adalah menahan diri. Menahan diri dari bertanya 'Mengapa kamu begini begitu'  ketika dihadapkan pada pilihan orang lain yang tidak masuk di logika kita saat ini.  

'Kenapa belum menikah?'

'Kenapa belum punya anak?'

'Kenapa anaknya belum sekolah?'

'Kenapa masih kerja di sana?'

'Kenapa tidak menyusui sampai 6 bulan?'

Dan kenapa-kenapa lainnya yang sebenarnya bukan urusan kita,  sebaiknya pikirkan baik-baik sebelum kita pertanyakan. 

Kalau kamu?  Apa keputusan yang pernah kamu buat yang menjadikanmu sasaran penghakiman orang lain? 

Wednesday, January 15, 2020

Bagaimana Jika


Bagaimana jika saya memaksa masuk ke  SMA di luar kota meskipun Ibu melarang?

Bagaimana jika saya menerima tawaran perpanjangan kontrak dari perusahaan tambang dan bukannya memilih melanjutkan skripsi?




Bagaimana jika saya tidak menikah dengan pasangan saya sekarang,  atau bahkan saya memutuskan melajang hingga setidaknya sampai saya telah mengunjungi negara ke 20?

Bagaimana jika saya tidak memenuhi ajakan teman untuk menemani dia tes di bank yang akhirnya menjadi tempat saya bekerja sekarang?

Bagaimana jika saya tidak pernah melahirkan seorang anak pun?

Bagiamana jika saya bilang 'Jawa'  ketika kerususuhan Timor-timur berlangsung dan Ibu bertanya 'Kita mau mengungsi di Jawa atau Manado?'?

Bagaimana jika saya tidak menulis Manado waktu disuruh memilih kota di mana kita ingin ditempatkan setelah mengikuti pelatihan officer di salah satu bank tempat saya bekerja saat ini?

Bagaimana jika saya memutuskan untuk menerima hadiah langsung di Jakarta saat memenangkan kompetisi menulis cerpen Islami dan bukannya meminta adik saya yang mewakili?

Bagaimana jika saya tidak menukar kesempatan untuk pelatihan selling skill dengan teman saya karena belakangan saya agak takut naik pesawat?

Bagaimana jika saya memilih rentetan bagaimana jika di atas tapi tetap tidak merasa bahagia?

Bagaimana jika saya ternyata memutuskan menjalani rentetan bagaimana jika di atas tapi justru berharap dapat menjalani pilihan yang saya buat saat ini?


(gambar dari https://www.aangnovi.com/2018/12/bagaimana-jika-dan-jawabannya.html?m=1) 

Tuesday, January 14, 2020

Saya Menulis Maka Saya Waras



Dilansir dari Tempo.co  2 Februari tahun 2013, Bapak Habibie mengalami depresi yang sangat berat sepeninggalan Ibu Ainun. Psikosomatis malignant adalah diagnosa yang diberikan oleh seorang Profesor doktor yang juga adalah dokter keluarga setelah mendapati suatu subuh,  Bapak Habibie berjalan keliling rumah sambil menangis seperti anak kecil yang mencari ibunya dengan hanya mengenakan pakaian tidur.

Gambar dari sini



Pak Habibie mengalami kondisi di mana dia larut dalam kesedihan sehingga hanya ada 4 solusi yang ditawarkan oleh dokter untuk menjaga kondisi Pak Habibie tidak semakin parah dan menjadi linglung.

Pertama, Pak Habibie dirawat di rumah sakit jiwa. Kedua, tetap di rumah tapi ada tim dokter dari Indonesia dan Jerman yang ikut merawat. Ketiga, curhat kepada orang-orang yang dekat dengan Habibie dan Ainun. Keempat, dengan menulis. Bisa kita terka bersama solusi apa yang Pak Habibie pilih. Solusi itu yang kemudian mengantarkannya menulis sebuah buku yang akhirnya diangkat ke layar lebar dan meraup 3,3 juta penonton hanya dalam waktu 3 minggu.

Resign tidak pernah menjadi perkara yang mudah bagi saya dan saya yakin bagi orang-orang lain yang sedang berada dalam kondisi seperti saya.  Selain kesiapan finansial ada yang jauh lebih penting,  yaitu kesiapan mental.  Beralih dari rutinitas yang dijalani bertahun-tahun ke rutinitas baru yang butuh adaptasi adalah hal yang berat. Belum lagi ketika harus dealing dengan omongan orang-orang yang memandang aneh keputusan kita.  Risiko hidup di Indonesia, kita yang jalani hidup orang lain yang ngomen.  Masalahnya adalah komentar-komentar orang lain tak sedikit yang menjadi toxic bagi diri sendiri. 


Baca :


Saya sadar saya adalah orang yang lumayan memikirkan penilaian orang lain terhadap keputusan saya.  Bahkan saya memikirkan berhari-hari bagaimana cara saya bisa ngomong ke atasan. Saya takut mereka kecewa terhadap keputusan saya.  Tidak logis memang. Ngapain kita memusingi pendapat orang lain tentang cara kita menjalani hidup. Wong orangtua kita saja gak khawatir kok.  Tapi itulah yang terjadi.

Untuk itu saya memutuskan membuat satu kategori dalam blog ini. 'Jurnal Resign'.  Saya akan menulis apa yang saya rasakan dan pikirkan selama menjalani proses resign ini dan saya harap bisa membuat orang lain yang membaca dan sedang berada dalam posisi saya mengetahui bahwa mereka memiliki teman seperjuangan.

Selain itu,  saya percaya menulis masih menjadi obat bagi segala jenis penyakit 'mental'  saya.  Menulis adalah media healing yang paling ampuh buat saya.  Untuk itu saya tetap menulis dan saya harap saya tetap bisa mempertahankan kewarasan saya. 😁

Thursday, January 9, 2020

Doa yang Spesifik



Pra Resign

Jalan hijrah itu berat,  kalau terasa ringan mungkin kita salah jalan.

Gambar dari google 


Baca :


Di tahun 2020 saya tidak membuat resolusi apapun.  Saya hanya membatin ingin berdoa lebih spesifik tentang pekerjaan yang sedang saya jalani saat ini. Saya bekerja di sebuah bank plat merah di bagian pemasaran kredit menengah. 

Saya masuk ke bank melalui jalur ODP sehingga langsung mendapatkan posisi manajerial.  Saat itu karir awal saya sebagai asisten manajer di bagian marketing kredit kecil.  Saya tahu perkara riba bahkan ketika masih dalam tahap tes.  

Kegelisahan ini saya sampaikan ke kakak mentor saya zaman kuliah dulu dan jawabannya kurang lebih,  berdoalah kepada Allah untuk meminta petunjuk.  Niatkan pekerjaan ini nanti untuk mencari nafkah halal.  Saat itu,  sebagai mahasiswa baru yang ketakutan tidak mendapat pekerjaan,  saya melanjutkan proses rekrutmen itu hingga akhirnya diterima.

Saya menjalani ikatan dinas dengan tahan ijazah selama 4 tahun dari 2012 hingga 2016. 4 tahun yang terasa menyiksa karena pekerjaannya di bawah tekanan. Baik tekanan atasan maupun tekanan target. Namun kisah tak menyenangkan selalu diikuti dengan hal-hal baik.  Saya mendapatkan banyak teman,  beberapa seperti saudara. Saya mendapat banyak pengalaman dari pengusaha-pengusaha yang berinteraksi dengan saya. Yang tak kalah mewah saya mendapatkan banyak ilmu. Hal-hal baik itu membuat saya mampu melalui hari-hari demi hari bekerja di bank.  Namun demikian saya tetap menyimpan keinginan untuk resign. Resign saat ikatan dinas mewajibkan kita membayar sejumlah uang sebagai penality.  Jadi saya menunggu hingga ikatan dinas berakhir.

Ketika masa ikatan dinas berakhir dan saya mendapatkan kembali ijazah saya,  ada lebih banyak alasan yang akhirnya membuat saya bertahan dibanding resign. Restu orang tua juga menjadi tembok paling tinggi yang menghalangi niat saya itu.  Orangtua tetap menginginkan saya bekerja meski tahun 2013 saya menikah dan tahun 2018 kondisi bisnis suami sudah settle dan rasa-rasanya kami bisa hidup dari pendapatan usaha itu saja. 

Pertengahan tahun 2019 adalah tahun terberat dalam sejarah karir saya.  Saya sangat tertekan hingga saya merasa mungkin saya kena depresi.  Saya sebenarnya orang yang sanggup bekerja di bawah tekanan.  Hal-hal baru dan menantang membuat saya bergairah.  Namun,  saya juga pernah mengalami baby blues syndrom pasca melahirkan anak pertama yang membuat saya yakin ada lubang kecil pada sistem pertahanan mental saya yang di waktu-waktu tertentu lubang itu berpotensi menganga dan bisa membuat saya sakit mental. Hal itu diamini ketika saya didiagnosa Burn Out Syndrom saat berkonsultasi dengan psikolog yang disediakan oleh kantor untuk mendampingi karyawan-karyawan yang merasa membutuhkan.

Baca :
Baby Blues

Apa itu burn out syndrom?  Untuk menjelaskan sindrom ini saja saya merasa sangat draining. Sahabat-sahabat dalam cyrcle kecil saya yang selalu menjadi tong sampah sangat memahami kondisi saya ini. Saya telah menuliskan panjang lebar tentang burn out syndrom yang sebenarnya akan saya posting di blog ini,  tapi malah berakhir dengan saya kirim ke majalah kantor. Pikir saya lebih bermanfaat kalau dimuat di majalah kantor karena saya yakin pasti banyak karyawan yang mengalami ini entah mereka sadari atau tidak.  Selain itu dapat honor juga (Lol) Mungkin nanti kalau sudah tayang,  saya akan posting di blog juga.

Kembali pada doa yang spesifik tadi.  Kekuatan doa telah meluluh lantakkan pertahanan orangtua terutama ibu saya.  Berbagai cara telah saya utarakan demi mendapat restunya untuk keluar dari bank.  Mulai dari alasan tertekan,  tidak cocok dengan atasan,  riba. Semuanya mental. Dengan berdoa secara spesifik hanya dalam 2 hari,  ibu saya yang nenyuruh saya resign.

Sampai sekarang ketika mengingat peristiwa ini saya selalu merasa terharu sekaligus merinding.  Baru 2 hari saya berdoa secara spesifik,  hari ke 3 di kala subuh,  ibu saya masuk ke kamar dan bilang,  "Nin,  kamu resign saja.  Mama lihat vidio siksa kubur orang pemakan riba di youtube.  Mama takut ditanyai sama malaikat di alam kubur. Kenapa mama membiarkan anak mama bekerja di jalan yang Allah haramkan."

Ketika itu saya ingin nangis tapi saya tahan,  soalnya saya gengsi kan ya kalau nangis depan ibu. 😁

Di awal tahun saya merasa Tuhan dekat dan sayang sekali sama saya. Selain itu saya kok ingin berterimakasih sama youtube. πŸ˜†πŸ˜†


(to be continue di postingan selanjutnya)

Wednesday, January 1, 2020

I am Not Perfect but I am Enough

Gambar dari google


(Bukan kontemplasi apalagi rangkuman prestasi) 

Sebagai ibu yang mengajarkan toilet training yang lumayan terlambat,  membiarkan anak menonton youtube supaya saya bisa leyeh-leyeh,  memberi makan nugget hanya karena cooking is not my thing. Heheh. I am not perfect as a mother but i am enough. 

Terimakasih untuk diri saya sendiri yang masih bisa jadi teman ngobrol dan ketawa suami meski urusan masak lebih jago dia dan sebagai gantinya saya ambil alih tugas membersihkan toilet. Terimakasih karena berhasil melewati tahun-tahun ganjil pernikahan yang penuh drama menguras energi dengan baik.  Terimaksih pak suami untuk tidak melarikan diri dari sayaπŸ˜‚. I relize i am not perfect as a wife but i am enough. 

Tetap menulis di sela-sela ke-mager-an dan burn out syndrom kemarin,  tetap gembira ke kantor meski penuh tantangan,  meski hasil dari 2 kegiatan tadi (nulis dan ngantor) tidak maksimal,  terimakasih karena sudah bertahan.  I am not perfect but i think i am enough. 

Terimakasih untuk papa mama handai taulan yang turut mewarnai hari-hari. Selamat tinggal 2019. I survived.πŸ˜‚πŸ˜‚  Semoga 2020 lebih banyak bahagia untuk kita semua.