Saturday, January 30, 2016

Tips Menulis Cerpen (Ala-ala) Part 2


Demi menyambung postingan di Sini, maka saya akan memberikan tips berikutnya yang saya terapkan dalam menulis cerpen.

2. Paragraf pertama yang memikat

Yup! Setelah memikirkan judul yang menarik, tugas kedua kita sebagai cerpenis adalah menyuguhkan paragraf pertama yang memikat siapapun yang membaca. 

Sama pentingnya dengan judul, paragraf pertama ini juga turut menentukan nasib tulisan kita. Dibaca sampai ending atau di eliminasi ke tempat sampah.

Nah, dari hasil browsing sana-sini, ada beberapa kata yang WAJIB dihindari digunakan sebagai kata pembuka di paragraf pertama suatu cerpen, yaitu; 'pada suatu hari', 'Teng..Teng..bel sekolah berbunyi', 'once upon a time', 'di suatu masa'. Ya, pokoknya kalimat-kalimat seperti itulah. Kata orang-orang yang sudah malang melintang di dunia cerpen, hal itu sangat klise, umum, membosankan, de es te.

Lalu, apa yang harus kita tuliskan di paragraf pertama? Seperti yang saya bilang, sesuatu yang memikat. Mari kita bahas dalam contoh kasus (sok banget yaa..hahha).

Case 1.
Pada suatu ketika hiduplah seorang petani dan istrinya di dalam hutan. Sehari-harinya mereka ke sawah untuk menanam padi. Jarak antara sawah dan gubuk mereka sangat jauh sehingga mereka harus berjalan kaki berjam-jam. Hari itu seperti hari biasanya. Pak tani memikul cangkul dan bu tani menjinjing bekal makan. Mereka berjalan beriringan menuju sawah. Lalu tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara tangis bayi. "Oek..oek..oekk". Langkah keduanya terhenti seketika.

Case 2. 
Tidak ada yang berbeda di hari itu. Pak Tani dan Bu Tani berjalan beriringan menuju sawah. Pak Tani memikul cangkul sedangkan Bu Tani menjijing bekal makan siang. Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti. Dari kedalaman hutan Yang gelap terdengar tangis bayi. "Oeek..oeek".

Dalam kedua contoh kasus, sama-sama menceritakan tentang Pak Tani dan Bu Tani yang mendengar tangis bayi ketika dalam perjalanan menuju sawah. Namun, ada yang terasa berbeda bukan? Mana kira-kira pembukaan paragraf yang lebih enak dibaca? Yup! Tentu saja pada case 2.

Biasanya untuk paragraf pertama, saya menggunakan kalimat kalimat yang pendek, mengurangi detail (ingat! Cerpen tidak membutuhkan terlalu banyak detail seperti pada novel) dan langsung menghadirkan kejutan. Paragraf pertama harus meninggalkan kesan sehingga membuat pembaca dengan sukarela melenggang ke paragraf-paragraf setelahnya.


3. Lakukan Riset!

Meski menulis sesuatu yang fiktif, kita tidak boleh malas melakukan sedikit riset tentang tema yang akan diangkat. Fakta adalah nyawa pada tulisan fiksi.

Contoh sederhananya adalah, misalkan kita ingin menuliskan cerita tentang serangan ikan piranha. Setidak-tidaknya kita harus tahu bagaimana bentuk ikan piranha itu, dimana habitatnya, bagaimana cara dia memangsa. Itu semua membutuhkan riset. 

Tanpa riset bisa saja kita menuliskan tentang serangan ikan piranha dengan latar dengan latar danau toba. Memangnya ada ikan piranha yang hidup di danau toba?

Riset yang mendalam juga sangat berguna ketika kita hendak menulis dengan latar belakang tempat yang belum pernah kita kunjungi. Salah seorang penulis novel, yang menulis novel berlatar Frankfrut, namun belum pernah sama sekali kesana, merasa perlu mendownload foto-foto kota Frankfrut dari Google Dan memandanginya berlama-lama supaya bisa mendapatkan penggambaran visual yang baik tentang bagaimana kondisi kota itu sebenarnya.

Saya sangat mengandalkan mbah Google ketika harus menulis dengan tema tertentu yang tidak saya kuasai. Riset yang saya lakukan bisa berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Semakin lama riset saya, biasanya saya semakin PD untuk menulis. Semakin lama riset yang saya lakukan biasanya semakin cepat tulisan saya selesaikan.

Demikianlah, sekian dulu tips menulis cerpen Ala-ala Kali ini.
See you next post, soon...:)

#OneDayOnePost
#HariKeDuaBelas

Friday, January 29, 2016

Tips Menulis Cerpen (Ala-ala) - part 1


Haduh. Siapa saya ini sehingga sok mau bikin tips menulis cerpen segala? Tapi kata salah satu teman di komunitas One Day One Post (mau tau lebih banyak tentang One Day One Post bisa klik di Sini) bahwa dengan berbagi ilmu maka pengetahuan kita justru bertambah. Lalu kata Fitrawan Umar (penulis novel Yang Sulit dimengerti adalah Perempuan) yang juga bertambah ketika dibagi adalah  kebahagiaan (nggg..agak nggak nyambung. Tapi okelah).

Dengan keterbatasan ingatan dan pengalaman yang masih sangat minim saya akan coba berikan sebanyak mungkin tips yang saya terapkan dalam menulis cerpen. Berikut ulasannya.

1. Judul yang Menarik.

Buatlah judul yang menarik dan mengundang orang untuk membaca lebih jauh tulisan kita. Saya pernah baca artikel tentang seorang editor tabloid ternama yang setiap harinya dibanjiri cerpen yang masuk. Bisa ratusan tiap hari! Apakah dia berkewajiban membaca setiap karya tersebut? Tentu saja tidak. Apa yang dia lakukan? Menyeleksi berdasarkan judul. Judul biasa-biasa saja langsung di eliminasi. Padahal kan siapa tahu ada karya yang bagus pada judul yang biasa tersebut. 

Untuk itu jangan buang kesempatan kita jadi terkenal (heheh) hanya karena salah pemilihan judul.
Cerpen di laptop saya ada yang sampai saat ini belum diberi judul karena saya belum menemukan judul pas. Sebaliknya ada juga tulisan saya yang berawal dari sebuah judul yang tiba-tiba terlintas dalam kepala. 

Seolah olah ada bohlam lampu imajiner yang menyala lalu "Aha! Kalimat ini menarik sekali untuk jadi judul. Saya ingin menulis dengan judul ini" demikianlah.

Contoh kasus (apaan nih pakai contoh kasus segala) cerpen-cerpen sastrawan yang pemilihan judulnya sangat menarik :

1. Jangan Tanyakan Tentang Mereka yang Memotong Lidahku - Fitrawan Umar

2.Tato Kucing -Anggun Prameswari.

3.Fat - Raymond Carver ( Yang kemudian diterjemahkan ke Dalam Bahasa Indonesia oleh Maggie Tiojakin dengan judul Lemu dan bisa dibaca di www.fiksilotus.com )

Beberapa judul dari cerpen yang saya tulis (apakah ini penting? Heheh)

1. Cowok Turtle Neck.
2. Bukan Gadis Bugis.
3.Negeri Para Lelaki.

Apa yang kamu rasakan ketika membaca judul-judul di atas? Keinginan untuk mencari tahu lebih banyak cerita di dalamnya. Iya kan? (Oh, ayolah. Bilang saja iya!)

Hmm, berhubung sudah lumayan panjang saya akhiri postingan Tentang tips menulis ini dengan kalimat :

"Mulailah menuliskan cerita yang hanya bisa diceritakan olehmu, karena akan selalu ada penulis yang lebih baik dan lebih pintar darimu. Akan selalu ada orang yang lebih hebat darimu dalam melakukan berbagai hal, tapi tidak ada di antara mereka yang bisa menjadi dirimu" Neil Gaiman.

Apa?! Tipsnya cuma ini? Tenang...saya akan lanjutkan lagi di postingan berikutnya. Saya janji.

#OneDayOnePost
#HariKeSebelas

Thursday, January 28, 2016

Apalah Arti Sebuah Nama

Jelas berarti! Apalagi pemilik nama itu adalah Tuhan. Lalu pantaskah nama Tuhan ada di panci, di alas kaki, atau di permadani yang digunakan ketika konser membawakan lagu-lagu cinta? Ah, tidak pantas rasanya!

 Familiar dengan kasus-kasus di atas? Yup! Ini tentang isu yang lumayan hangat dimana FPI melaporkan salah satu perusahaan panci yang tertera nama Allah di dekat label produksinya dengan tuduhan "penistaan agama". Berlebihan kah?

Mari saya beri analogi. Masih ingat ketika SD dulu kita saling mengejek dengan menggunakan nama orang tua? Sakit hatikah? Tentunya cukup sakit hati kalau sampai membuat kita berkelahi dengan teman sekelas. Semoga analoginya nyambung.

Siapa berani jamin panci itu tidak akan digunakan untuk mengambil air di wc? Siapa yang berani jamin alas kaki itu tidak dipakai untuk melangkah ke tempat-tempat maksiat nan kotor. Bahkan ada perintah untuk menanggalkan perhiasan jika ada tulisan nama Tuhan di sana sebelum masuk toilet.

Jadi apakah FPI ini berlebihan?

Oh, ayolah! Kita semua sepakat bahwa Tuhan itu Maha Suci, termasuk namanya.

#OneDayOnePost
#HariKeEmpatBelas

Wednesday, January 27, 2016

Menjadi Ibu Yang Baik

Demi menekan jumlah hutang tulisan pada #OneDayOnePost program saya mutuskan menulis saja pagi-pagi buta jam 3 dini hari WITA meskipun semalam sampai di rumah dari kantor jam 10 malam.

Kalau lihat dari judulnya jangan harap di sini ada tips bagaimana menjadi ibu yang baik karena ini bukan blog parenting. Heheheh. Karena saya sendiri masih jauh dari kriteria  "ibu yang baik" dan sangat tertohok dengan ulasan ust. Felix Siauw yang menyoal ibu yang juga berprofesi sebagai wanita karir-yang kemudian jadi kontroversi kemarin itu.

Terlepas dari setuju atau tidak dengan pernyataan ust. Felix Siau, saya memilih untuk introspeksi diri saja. Saya memang menghabiskan waktu lebih banyak di kantor di hari kerja. Bahkan kadang-kadang hari Sabtu pun harus masuk demi mennyelesaikan pekerjaan Dan berburu dengan deadline. Melelahkan memang! Namun kemudian saya bersyukur sejak melahirkan tidak pernah terpisah jauh dari baby saya. Terpisah jauh pertama kali adalah ketika harus mengunjungi nasabah di Pulau Tahuna (kalian boleh googling pulau itu ada dimana) selama tiga hari karena pesawat dari Manado ke pulau itu cuma ada 3 hari sekali. Selebihnya saya belum pernah meninggalkan baby saya lagi.

Lalu ada dua orang teman saya yang juga bekerja di bank yang sama dengan job desk yang sama harus rela meninggalkan baby mereka setelah masa cuti melahirkan berakhir.

Mari saya perkenalkan dengan mbak Susi yang dua Kali berturut-turut harus meninggalkan baby nya di Manado sementara dia kembali beetugas di Biak. Kenapa nggak dibawa saja ke Biak? Sebab tidak ada pengasuh yang mau ikut ke Biak dan karena mengambil pengasuh di Biak yang sama sekali asing dan tidak dikenal adalah lebih riskan. Jadinya setelah cutinya berakhir baby nya di tinggalkan di Manado bersama kakek -nenek dan pengasuhnya.

Lalu ada mbak Anet yang mengalami kasus serupa setelah melahirkan anak pertama dan harus kembali beetugas di Ternate. Syukurlah kedu ibu-ibu super itu sekarang bisa kembali bersatu dengan anak-anak nya karena mereka telah ditugaskan kembali di Manado. Dan ketika balik itu tentu saja anaknya sudah besar dan membutuhkan pendekatan ekstra untuk membuat si anak kenal kembali dengan aroma ibunya. Hahha.

Lalu, apakah mereka bukan ibu baik? Rasanya terlalu dini jika menjudge demikian. Kenapa nggak berhenti kerja saja? Kalau ada yang bertanya begitu rasanya saya ingin bilang "kenapa kamu nggak berhenti ikut campur urusan orang aja?"

 Lah, iya..kan yang paham kondisi keluarga -termasuk anak-anaknya- adalah ibu mereka sendiri lantas kenapa kamu merasa paling berhak menghakimi bahwa dia bukan ibu yang baik lebih lebih menyuruh berhenti kerja? Kamu ini siapa? Suaminya? Anaknya? Kalau bukan siapa-siapa mending memandang fenomena ini dari sisi positifnya saja. Terserah mau berpikir bagaimana, urusanmu! 

Rasanya ingin bilang seperti itu kalau ada yang nyelutuk demikian.

Setiap anak adalah unik, setiap ibu adalah unik, setiap keluarga adalah unik. Yang saya mau tegaskan di sini adalah hargailah keputusan mereka seberapapun berbedanya dengan apa yang kita pikirkan.

Kalau saya sendiri sih, saya tidak mau berstatus wanita karir selamanya. Saya sudah merundingkan ini dengan suami dan saya sedang menunggu momentum yang tepat untuk hengkang dari dunia kerja ini. Eh, saya sedang menciptakan momentum itu. Doakan secepatnya. Amin.

#OneDayOnePost
#HariKeTigaBelas
#HutangHariKe11&12

Saturday, January 23, 2016

Investasi di Jalan Yang Lurus



Kata orang suatu hal yang dilakukan berulang-ulang akan membentuk habit. Kataku, itu investasi. Apalagi kalau hal yang dilakukan berulang-ulang itu terkait passion kita. 

Dulu (sekarang depending dulu karena belitan pekerjaan dan menikmati profesi baru sebagai ibu dari seorang bayi) saya sangat suka jalan-jalan. Saya bahkan pernah meniatkan menabung di celengan demi bisa bertemu sahabat di Bandung. Ketika liburan kuliah (lupa semester berapa) dan celengannya sudah penuh, saya bongkar, hasil tabungannya 1,5jt saya gunakan untuk liburan ala-ala back packer ke Jakarta-Bandung-Semarang dari Makassar. Cukupkah? Tentu saja tidak! Tiket pesawat buat pulangnya saya ngemis ke Ibu saya. Dan daripada anak perempuannya ini terlantar di kota lain, ibu pun mengirimkan saya uang untuk beli tiket pulang ke Manado. Saya menyebut hobi jalan-jalan itu sebagai investasi di jalan yang lurus. Investasi pengalaman. Investasi yang nanti bisa diwariskan ke anak cucu (dengan menceritakan kisah jalan-jalan tersebut).

Lalu, adalah investasi di jalan yang tidak lurus? Ada! Investasi lemak. Heheh. Saya sangat hobi makan. Terutama fast food. Segala jenis fast food selalu menggoda saya untuk mencicipinya. Walhasil lemak ini makin menggunung saja.

Beberapa minggu belakangan ini saya melakukan investasi-di jalan yang lurus- lainnya, yaitu membeli buku. Kebiasaan ini sudah saya lakukan sejak masih duduk di bangku SMP, berlanjut hingga SMA,mulai jarang ketika kuliah dan saat ini saya ingin membiasakannya kembali. 

Ini buku-buku yang saya beli di Bulan Januari :

1.Puya ke Puya by Faisal Oddang



2. Yang Sulit dimengerti adalah Perempuan by Fitrawan Umar.



3. Ciuman di Bawah Hujan by Lan Fang

4. Recipes for a Perfect Marriage by Kate Kerrigan



5. Bahtera Sebelum Nabi Nuh by Dr.Irvin Finkel

6. Rahasiakan Top Menulis by Much. Khori

7.The Naked Traveller Antalogy Horror by Triniti.




Salah satu diantaranya memesan langsung dari si penulis karena penulisnya adalah teman kuliah, beberapa diantaranya hasil berburu buku diskon di Gramedia, beberapa lagi karena tertarik dengan judulnya.

Lalu ini adalah wish list saya di bulan Februari. Semoga sudah ada stok nya di Toko buku Manado.

1. 101 Dosa Penulis Pemula by Isa Alamsyah


2. Critical Eleven by Ika Natassa


3. Corat Coret di Toilet by Eka Kurniawan.


4. Pertanyaan Pada Kenangan by  Faisal Oddang.


Sekian dulu edisi investasi di jalan Yang lurus kali ini.

#OneDayOnePost
#HariKeTujuh
#HutangLunas!



Friday, January 22, 2016

Meniru Siapakah Gaya Menulismu ?

Penulis akan menulis mengikuti gaya penulis favoritnya. Percayakah kalian terhadap kalimat tersebut? Saya sih percaya. Seorang teman yang selalu menjadi pembaca pertama sekaligus editor bagi tulisan-tulisan saya bilang kalau saya menulis dengan gaya POP. Yap benar! Saya berkiblat ke Ika Natassa dalam tema cerita, alur dan sedikit pilihan diksi. Selebihnya ada sentuhan RL.Stine (dan penulis-penulis luar Negri-yang saya tidak begitu ingat namanya-melalui novel terjemahan yang saya baca). 

Teman saya yang sekaligus editor saya itu bilang, meskipun saya sudah berkeluarga saya tidak berbakat menulis dengan tema keluarga, atau menghadirkan tokoh orang dewasa yang telah menikah. Ah, saya jadi semakin tertantang menulis dengan tema keluarga dengan tokoh-tokoh dewasa. Berkali-kali saya coba tapi hasilnya memang tidak begitu memuaskan.

Belakangan saya kecanduan dengan tulisan-tulisan Eka Kurniawan yang sangat "dirty realism" dan juga terkagum-kagum dengan tulisan-tulisan Faisal Oddang-yang sangat nyastra dengan gaya menulis mirip Eka Kirniawan-yang belakangan saya tahu adalah juga salah satu penulis favorite Faisal Oddang. Tuh, kan teori saya tentang penulis yang menulis dengan gaya penulis favoritenya benar lagi.

Oh ya, Faisal Oddang ini adalah penulis pemula yang sangat diperhitungkan oleh penulis-penulis sastra dua tahun belakangan ini karena memenangkan penghargaan Kompas Dan Tempo sekaligus atas maha karya nya berjudul "Puya ke Puya" di usianya Yang lebih muda 2 atau 3 tahun di bawah saya. Membaca Faisal dan Eka Kurniawan membuat saya ingin mencuri ide-ide mereka Dalam teknik kepenukisan dan menuangkannya dalam sebuah karya yang khas saya.

Ingat seberapapun kita meniru penulis favorite kita dalam berkarya teruslah memberikan ciri khas pada tulisan-tulisan kita. Dalam kasus saya, saya masih dalam proses Pencarian akan ke " khas"an itu. Saya masih 25 tahun. Semoga 5 tahun lagi orang akan bilang kalau dia suka menulis dengan gaya saya.

Selamat menemukan jati diri karya kita. 

#OneDayOnePost
#HariKeSepuluh

Thursday, January 21, 2016

Sepatu Mahal


Seorang teman menghampiri kubikelku sebelum beranjak pulang.

"Cieeh sepatu baru.."

Saya hanya nyengir menanggapinya. 

"Ayo coba tebak apa merknya..!?" Tanyaku.

Dia lalu menyebutkan suatu merk yang saya iya kan dengan anggukan.

"Tumben beli sepatu ber merk!" Serunya.

Saya nyengir lagi. Seorang saya memang tidak akan pernah tergoda dengan barang-barang yang kata orang branded. Dan teman saya itu cukup tahu tentang saya. Katanya saya sederhana. Untuk itulah dia suka berteman denganku.

"Berapa harganya?"

"800 ribu." Jawabku

" nggak apa-apa sekali-sekali. Sepatu yang bagus akan membawa kita ke tempat yang bagus juga"

Ah..saya terhipnotis dengan kalimatnya itu lalu dalam hati mengamini.

Dia nggak tahu aja saya beli sepatu ini hanya karena jengkel sama suami yang semena-mena beli jam tangan 700 ribu. Itu menurut saya mahal! Maka saya membalasnya dengan membeli sepatu seharga 800 ribu. Biasanya sepatu saya paling mahal 300ribu yang jarang pula saya pakai karena saya lebih nyaman pakai sepatu flat saya yang seharga 109ribu.

Kemudian saya berjanji bahwa ini adalah sepatu termahal pertama dan terakhir yang saya beli. Biarlah sepatu murah saya yang akan mengantarkan saya ke tempat yang bagus dengan nyaman.

#OneDayOnePost
#HariKeSembilan

Wednesday, January 20, 2016

Moccacino Maut

Suami.

Apa yang dia tahu soal kopi? Mau sok jadi penikmat kopi tapi selalu saja pesan moccacino. Penikmat kopi itu harus tahan menyesap getirnya expresso. Dan supaya dia rahu bahwa expresso itu tidak lebih pahit daripada kata-kata yang sering dia lontarkan padaku. Sebelas bulan pernikahan. Harusnya dia mulai belajar bagaimana menghormati suami.

"Sayang,jadi kamu ngopi sama temanmu?" Tanyaku pada wanita cantik yang sebelas bulan lalu resmi menjadi istriku itu.

"Jadi. Ini sudah mau berangkat" katanya sambil menyapukan bedak sekenanya di wajah.

"Di tempat biasa?"

Dia hanya mengangguk lalu mengambil tas dan melenggang pergi. Lihat betapa angkuhnya dia.


Pelayan Cafe Elit.

Perempuan itu lagi. Rasanya mau mati kalau setiap hari harus lihat dia. Pelanggan paling menyebalkan yang pernah aku temui. Tapi dia punya kartu kenggotaan di cafe ini.  Kartu yang hanya dimiliki segilintir orang. Kartu yang membuat kami, pelayan, harus melayani mereka dengan service yang lebih daripada pelanggan biasa. Dan itu berarti harus berlapang dada juga dicaci maki karena sebab-sebab sepele. Tatakan gelas yang kurang bersih, moccacino yang kurang manis, meja yang tidak licin. Ada-ada saja. 


Mitra bisnis.

"Bagaimana pun juga saya tidak akan menerima rencana akuisisi ini" Ujarku pasti. Sepasti gravitasi. Sepasti matahari terbit di sebelah Timur esok hari.

"Nggak usah naif. Saudara-saudaramu Yang lain sudah setuju dengan rencana akuisisi ini. Lagipula pilihannya cuma akuisisi atau kerjasama ini berakhir" Wanita itu berkata angkuh. Aku hanya terdiam memendam kejengkelan yang sudah di ubin-ubun.

Menghentikan kerjasama artinya memangkas 70% omzet perusahaan keluarga kami. Tidak bisa dipungkiri perusahaannya adalah pembeli dominan yang sudah bertahun-tahun menyumbangkan profit bagi kelangsungan usaha keluargaku. Usaha yang setengah mati aku pertahankan.


Sahabat Karib

Lihat dia. Cantik. Kaya. Pemilik perusahaan penjual perhiasan paling terkenal di kalangan sosialita di kota metropolitan ini. Untuk apa dia membicarakan bisnis di tengah- tengah  reuni kami? Mau menunjukkan bahwa dia masih superior dibandingkan aku? Belum cukupkah dia merasa puas telah merebut laki-laki yang seharusnya menikahiku setahun yang lalu? 

* * *

"Bagaimana? Kamu mau menerimanya tawaran akuisisi itu?" Aku tersenyum. Yakin dengan keputusanku Kali ini. Aku menunggu jawaban mitra bisnisku itu sambil menyeruput dari cangkir moccacino ku. Oh ya, Siapa yang memesankan moccacino ini ya?

***
Wanita itu kejang-kejang sebelum akhirnya rubuh ke lantai. Cangkir berisi cappucino tumpah dan pecah tidak jauh dari tubuhnya yang kini terbujur kaku. Busa membanjir di bibirnya yang mebiru. Matanya melotot. Pupilnya mengecil. Tanda-tanda kehidupan baru saja pergi dari wajahnya yang cantik.
Mati diracun.

***
Kisah ini hanya fiktif belaka.

#OneDayOnePost
#HariKeDelapan

Monday, January 18, 2016

Dilema


Rasanya tidak pantas mengeluhkan soal ini. Seolah-olah tidak bersyukur atas apa yang telah diberikan Tuhan.  Tapi, rasanya ada yang mengganjal kalau tidak mengutarakan, minimal menuliskan, soal sesuatu yang bikin dilema banget ini. (Padahal sudah niat setiap postingan ODOP itu Temanya "fiksi dan puisi" ini malah curhat).

Ya sudah..nggak apa-apa lah ya.

Jadi.. Sesuatu yang bikin saya dilema itu adalah memilih antara menjadi ibu rumah tangga saja atau menjadi wanita karir.

Ketika masih lajang dulu maupun ketika sudah menikah dan belum punya anak, pilihan sebagai ibu rumah tangga sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiran. Sedetik pun!

Dan semua itu berubah ketika negeri api menyerang, eh maksud saya ketika saya melahirkan seorang bayi laki-laki bernama Ahmad Zayd P. pada bulan April 2015 lalu. Kelahiran Yang sangat lancar Dan jauh dari merasakan rasa sakit Yang berlebihan. Lalu kemudian saya dilanda baby blues Yang lumayan parah. Ada-ada saja Yang menyebabkan baby blues ini. Mulai dari baby Ahmad(akhirnya nama panggilannya Ahmad, setelah nama Zayd begitu sulit diucapkan oleh ibu saya) Yang seperti bayi pada umumnya bangun tiap 2 jam sekali di malam hari, baby zayd bingung puting, baby zayd kena flu untuk pertama kalinya, baby zayd kena diare untuk pertama kalinya. Semua hal itu membuat saya merasa tidak layak menjadi seorang ibu dan mengakibatkan baby blues. Waktu cuti melahirkan selama 90 hari pun terasa lama sekali. Sampai kapan saya harus lelah dan stres mengurusi anak? Ah..rasanya mau gila!

Dan....hari ketika cuti terakhirpun tiba. Saya kembali masuk kantor dengan riang gembira. Bekerja di salah satu bank BUMN membuat saya harus berada di kantor selama minimal 12 jam. Pekerjakan rasanya tidak habis-habis sementara baby Ahmad kian hari kian lucu. Mulai bisa tengkurap, ketawa cekikian sampai mengucapkan kata-kata sederhana seperti "a...ta", "a..yah" ahhh..rasanya ingin cepat-cepat pulang kalau lagi di kantor. Kalau sudah hari senin rasanya nggak  ingin masuk kantor lagi.

Belakangan ini, entah kenapa, mungkin karena baby Ahmad sudah mulai besar Dan bisa diajak bercanda, saya semakin tidak tega meninggalkan dia untuk kerja di kantor. Saya jadi memikirkan opsi B jika dilema ini tidak menemukan jalan keluar yang membahagiakan. Mungkin saya akan benar-benar resign lalu menjadi full time mom dengan pekerjaan utama mengurusi anak dan pekerjaan sampingan menulis. Untuk mencapai misi tersebut saya memaksakan diri untuk terus menulis meskipun pulang kantor sudah malam dan sangat lelah. Saya berkomitmen untuk dapat hidup dari tulisan-tulisan saya. Mulai awal Januari 2016 saya mulai ikut berbagai lomba menulis. (Belum ada yang deadline jadi belum tau menang atau tidak) Kenapa menulis? Sebab itu passion saya. Dan selelah apapun, saya selalu suka menulis.

Saya sedang memacu dan membangun konsistensi menulis ini. Untuk itulah juga alasan saya bergabung dengan ODOP.

Kalau ada yang bertanya kenapa harus susah-susah bekerja. Kenapa tidak mengandalkan suami saja. Ya, tidak kenapa-kenapa. Sebabnya adalah sesederhana saya bukan tipe orang yang terbiasa menggantungkan hidup sama orang lain (kecuali orang tua ketika belum berpenghasilan dulu) 

Saya menulis ini ketika masih duduk di kubikel saya, dimana badan saya di kantor namun pikiran saya ke baby Ahmad. Ah, rindu sekali sama bayi saya di rumah. Rasa bersalah yang teramat sangat tidak bisa membersamai dia tumbuh. Maafkan ibu Nak. Ibu sedang berjuang untuk kebersamaan kita. Doakan saja.

#OneDayOnePost
#HariKeenam

Saturday, January 16, 2016

Dosa

Di suatu ketika, dimana mengingatmu adalah dosa.
Aku meyakini itu sebagai rayuan setan.

Pikiranku menjangkau di suatu ketika,
Kala kita hanya termangu menatap ruas-ruas jalan raya berdebu.
Aku lupa bagaimana kau membentuk senyummu saat itu.

Sekarang mengingatmu adalah dosa.
Sekaligus pengkhianatan terhadap benda mungil yang melingkari jari manis.
Karena bukan kau yang melingkarkannya di sana.



Terakadang setan marah padaku.
Padahal mengingatmu bukan idenya.
Tapi aku harus menyalahkan siapa atas memori yang tak berujung dan kerap membentuk siluetmu.

Mengingatmu adalah dosa.
Tapi memilkimu juga adalah keindahan yang tidak sanggup aku tanggung.

#OneDayOnePost
#HariKelima

Thursday, January 14, 2016

Ayah

Taksi yang membawaku dari bandara Sam Ratulangi merapat di salah satu rumah di depan Mall Mega Mas. Aku memastikan kembali alamat yang tertera di kertas yang kupegang sebelum membayar dan turun dari taksi tersebut. Memang benar ini alamatnya.

Aku memandang jejeran rumah yang serupa satu sama lain. Rumput jepang tumbuh seperti permadani menghiasi pekarangan. Beberapa pohon yang tumbuh di halaman depan rumah meredam panasnya Kota Manado siang ini. Aku mendorong pagar salah satu rumah,lalu menantapkan langkah mendekati pintu. Sedetik aku berharap tidak ada orang di rumah itu, detik berikutnya aku mengutuki diriku yang entah kenapa sekarang berada di sini. Jariku memencet bel rumah di luar kendali. Satu kali. Dua kali.

Aku mendengar bunyi langkah dari dalam rumah mendekati pintu. Sebelum aku memutuskan untuk lebih baik berbalik saja dan pergi dari sini, pintu itu terlanjur terbuka. 

Aku mematung. Wanita usia akhir empat puluhan berdiri menatapku. Wajah cantiknya tidak bisa menyembunyikan ekspresi kekagetan. Sedetik kemudian matanya berkaca-kaca, mataku juga.

Aku menghambur ke dalam pelukannya. Menangis sejadinya. Aku berharap air mata ini dapat menwar rindu Yang kupendam selama 25 tahun. Aku berharap pelukan ini dapat meredam segala marah dan kecewa yang menjadi momok bagiku. Awalnya ia terkejut, namun kemudian kurasakan hangat tangannya perlahan membelai rambutku. Memelukku.

Aku merasakan hangat tubuhnya. Aku merasakan silikon yang menempel di dadanya, aku merasakan setiap senti tubuhnya yang telah tersayat pisau bedah yang- entah bagaimana- membuatnya kini tampak seperti sekarang. Cantik.

"Ayah..." Aku membisikkan itu di sela-sela tangisku. "Aku rindu"

#OneDayOnePost
#HariKeempat

Wednesday, January 13, 2016

Pupus


Kata yang pekat di ujung lidah.
Tak terbahasakan seperti sudah sudah.
Kita di bawah hujan menengadah.
Sama-sama tau tentang asa yang terdedah.

Tentang kita yang tak juga berkesudahan.
Atau tentang segala beda yang nyata di permukaan.
Beda yang tidak menyisakan alasan untuk disatukan.

Manado, 13 Januari 2016

#onedayonepost
#HariKetiga

Tuesday, January 12, 2016

Degradasi

--Karena satu Dan lain hal, postingan ini saya hapus untuk sementara waktu Dan akan diposting kembali ketika satu Dan lain hal nya usai--

#OneDayOnePost
#HariKedua

Monday, January 11, 2016

Parakkang



--karena satu Dan lain hal tulisan ini saya halus untuk sementara waktu, dan akan diposting kembali begitu satu dan lain hal nya selesai.-- hehhehe

#OneDayOnePost#HariPertama