Saturday, June 27, 2020

Memakan Zaitun Menjelang Kiamat


Memakan Zaitun Menjelang Kiamat

Cerpen Etgar Keret


Sebentar lagi dunia akan kiamat dan aku malah asyik memakan buah zaitun. Sebenarnya rencana awalku adalah makan pizza, tetapi saat aku pergi ke swalayan dan melihat deretan rak yang kosong, aku menyadari bahwa aku bahkan lupa membeli adonan pizza dan saus tomat. Aku berjalan ke arah kasir yang bertugas di jalur express untuk menanyakan apakah ada yang tersisa, ia adalah seorang wanita tua yang sedang berbicara melalui Skype dengan seseorang dalam bahasa Spanyol, ia menjawab tanpa menatap ke arahku. Dirinya tampak begitu terpuruk.

gambar dari sini


“Mereka telah memborong semuanya,” gumamnya, “yang tersisa hanya pembalut dan asinan.”

Satu-satunya yang tersisa di rak asinan adalah setoples asinan zaitun pedas yang kebetulan adalah kesukaanku.

Saat aku kembali ke meja kasir, wanita tua itu sedang menangis. “Dia tampak seperti sepotong roti yang hangat,” katanya, “cucu kecilku yang manis. Aku tidak akan pernah bisa melihatnya lagi, aku tidak akan bisa menciumnya, aku tidak akan bisa memeluk bayi kesayanganku lagi.”

Alih-alih menanggapi aku justru meletakkan toples asinan itu di meja kasir dan mengeluarkan uang lima puluh ribu dari kantung celana. “Oke,” kataku ketika menyadari wanita itu tidak menyerahkan struk belanjaanku, “Ambil saja kembaliannya.”

“Kembalian?” katanya sambil terisak, “sebentar lagi dunia kiamat dan kau malah memberikan uang kembalian kepadaku? Apa yang akan kulakukan dengan uang kembalian ini?”

Aku mengedikkan bahu. “Aku sangat menginginkan asinan ini. Jika lima puluh ribu tidak cukup aku akan membayar lebih banyak, berapapun harganya…”

“Sebuah pelukan,” dengan penuh deraian air mata wanita itu menyanggahku sambil merentangkan kedua lengannya, “bayar saja dengan sebuah pelukan.”

Aku sedang duduk di balkon rumahku saat ini, menonton televisi sambil memakan keju dan asinan zaitun. Susah sekali mengeluarkan televisi ini ke balkon, tapi di sinilah benda itu sekarang, lagipula tidak ada cara yang lebih baik untuk mengakhiri semua ini selain dengan langit berbintang dan telenovela Argentina yang jelek. Sudah episode 436 dan aku sama sekali tidak mengenali satu pun karakternya. Mereka sangat cantik, mereka sangat emosional, mereka saling meneriaki dalam bahasa Spanyol. Tidak ada teks terjemahan, sehingga sebenarnya sangat sulit memahami apa yang sedang mereka perdebatkan. Aku menutup mata dan kembali memikirkan kasir di swalayan itu. Saat kami berpelukan aku mencoba membuat tubuhku menjadi sekecil dan sehangat mungkin. Aku mencoba membuat tubuhku beraroma seperti bayi yang baru lahir. []

Diterjemahkan dari bahasa Ibrani oleh Jessica Cohen
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Sabrina Lasama


Keret lahir di Ramat Gan, Israel pada tahun 1967. Ia adalah anak ketiga dari orang tua yang selamat dari Holocaust. Kedua orang tuanya berasal dari Polandia. Saat ini ia berdomisili di Tel Aviv bersama istrinya dan putra mereka. Ia adalah dosen di Ben-Gurion University of The Negev di Beer Sheva dan di Universitas Tel Aviv. Dia berkewarganegaraan ganda yaitu Israel dan Polandia.



Thursday, June 25, 2020

SI PEMAKAN BATU


Cerpen Ben Loory/ Diterjemahkan oleh Sabrina Lasama

Pada suatu ketika tersebutlah seorang laki-laki yang memakan sebuah batu. Batu itu sendiri ukurannya kecil, tidak besar. Laki-laki itu menemukan batu tersebut di lapangan dan itu adalah batu yang indah – sangat indah – dan itulah bagaimana dia mengambil batu tersebut dan memakannya. Memakan batu juga sebenarnya bukan kebiasaaannya – laki-laki itu sendiri terkejut dengan apa yang sudah dia lakukan – tapi itulah kenyataannya, di suatu hari, ketika dia berbaring di tengah lapangan, terdapat sebuah batu – batu yang indah – dan dia kemudian memakannya.

Laki-laki itu merasa sangat bahagia setelah menelan batu tersebut. Dia merasa bahagia memiliki batu itu di dalam dirinya. Itu bukan sekadar sensasi fisik dari sebuah batu di dalam tubuh, melainkan ada sesuatu yang lain. Entah bagaimana laki-laki itu merasa batu tersebut membuatnya lebih baik dari sebelumnya. Entah bagaimana laki-laki itu merasa batu itu membuatnya lebih bergairah. Batu itu membuatnya lebih bersemangat, batu itu membuatnya lebih percaya diri, batu itu mengubahnya ke arah yang lebih baik.

gambar dari sini

Dan laki-laki itu sangat sangat bahagia dengan semua yang dia rasakan.

Kemudian laki-laki itu memberitahukan kepada istrinya

Apa yang kau lakukan? kata sang istri. Kau menelan sebuah batu.

Laki-laki itu menjelaskan kepada istrinya tentang apa yang dialami.

Itu gila, ucap istrinya. Kau beruntung tidak mati.

Itu hanya batu, balas lelaki itu. Hal itu tidak akan membunuhku.

Namun setelah itu, laki-laki tersebut menjadi cemas. Dia pusing tujuh keliling memikirkan batu itu. Apakah seharusnya aku tidak menelannya? Apakah hal itu berbahaya baginya? Dan, lebih dari itu, apakah batu itu benar-benar akan melukainya?

Laki-laki itu merasa harus menceritakan hal tersebut kepada orang orang lain, tapi dia takut teman-temannya justru akan menertawainya.
Oleh karenanya dia pergi ke kota dan berkeliling untuk kemudian mengetuk pintu seorang dokter. Seberapa besar batu itu? tanya sang dokter.
Lelaki itu mengangkat tangannya untuk menaksir ukuran batu.Segini, katanya. Sangat kecil.
Hmm, gumam sang dokter sambil mengerutkan kening
Maksud Anda, ‘hmm’? tanya lelaki tersebut. Apakah itu berbahaya?
Sebenarnya aku tidak bisa bilang bahwa itu berbahaya, jawab sang dokter. Tapi, Anda tahu, batu bisa bertumbuh.
Bertumbuh? tanya lelaki itu.

Dia tidak pernah mendengar hal itu sebelumnya.

Bertumbuh, tegas sang dokter. Saat Anda memakannya, itulah yang akan terjadi. Itulah mengapa aku pernah melihat seorang wanita dengan delapan puluh pon batu di dalam ususnya.

Lelaki itu sangat terkejut.

Itu sepertinya buruk sekali, kata lelaki itu.

Jadi, apa yang harus aku lakukan? tanyanya kemudian

Batu itu bisa saja dikeluarkan, ucap sang dokter.

Dikeluarkan? tanya lelaki tersebut. Maksud Anda operasi?

Apakah menurut Anda hal itu harus dilakukan? tanyanya lagi.

Tentu saja keputusan ada di tangan Anda, jawab sang dokter. Tapi secara pribadi, saya sangat menganjurkannya.

Laki-laki itu pulang ke rumah dan memikirkan hal tersebut. Dia menceritakan kepada isrinya tentang apa yang telah disampaikan sang dokter kepadanya.

Sejak awal seharusnya kau tidak memakan batu itu. Apa sebenarnya yang ada di pikiranmu? ucap sang istri.

Pada malam harinya, lelaki tersebut berbaring sambil terus memikirkan batu itu. Dia masih dapat merasakan batu itu di sana, di dalam dirinya. Dia masih bisa merasakan pancarakan kebaikan dari sana.

Aku tidak ingin kehilangan batu ini, gumamnya.

Waktu pun terus berlalu dan sang dokter menghubunginya.

Aku pikir aku akan membiarkan batu itu, kata lelaki tersebut.

Apakah Anda yakin? tanya sang dokter.

Sangat yakin, balas lelaki itu.

Baiklah, kata sang dokter, itu adalah keputusan yang sudah Anda ambil. Jika Anda berubah pikiran, hubungi aku kembali.

Baiklah, ucap lelaki itu.

Dan itulah yang terjadi.

Waktu terus berlalu. Lelaki tersebut merasa bahagia. Batu itu terasa baik-baik saja di dalam dirinya.
Namun, ada satu hal yang mengganggu lelaki itu : batu itu ternyata benar-benar bertumbuh. Perut lelaki itu menjadi semakin besar dan besar. Batu itu mulai tampak menonjol di permukaan perutnya.

Dan batu itu juga semakin berat, hingga lelaki itu kesulitan untuk berdiri.

Dan akhirnya, suatu hari, lelaki itu bahkan tidak bisa beranjak dari ranjangnya.

Jadi bagaimana? tanya sang istri. Kau hanya akan berbaring di tempat tidur?

Aku tidak bisa bergerak, kata lelaki itu. Apa yang kau harap aku lakukan?

Ini semua karena batu bodoh itu, kata sang istri. Kau harusnya mengeluarkan batu itu.

Aku tidak mau mengeluarkan batu ini, ucap lelaki tersebut. Ini adalah batuku, aku menelannya, batu ini membuatku bahagia.

Lalu kemudian rasa sakit mulai terasa. Batu itu terus bertumbuh semakin besar dan mendesak bagian dalam tubuh lelaki itu.

Kau harus melakukannya sekarang, ucap sang istri. Kau mengerti? Kau akan mati jika mempertahankan batu itu.

Lelaki itu tahu istrinya berkata benar. Dia bisa merasakan batu itu mengisi keseluruhan tubuhnya. Dia masih bisa merasakan kebaikan yang dipancarkan oleh batu itu di sana tapi kebaikan itu juga rasanya telah terkubur oleh rasa sakit dan ketakutannya.

Baiklah, kata lelaki itu. Pergi dan panggillah dokter itu.

Akhirnya, ucap sang istri lega.

Sang istri pun memanggil dokter tersebut.

Operasi itu berlangsung dengan susah payah. Dokter membutuhkan empat orang hanya untuk mengangkat batu itu. Mereka meletakkan batu itu di atas timbangan, tapi timbangan itu rusak sehingga berat batu tersebut tidak pernah diketahui.

Namun demikian, semua berjalan sesuai rencana. Mereka menjahit perut laki-laki itu. Dokter memberitahukan bahwa prosedur operasinya sukses, dan kemudian dia pergi merokok di beranda.

Waktu berlalu dan kondisi lelaki itu semakin membaik. Suatu hari dia terbangun dan merasa sehat. Dia menepuk perutnya dan beranjak dari tempat tidur, mengambil napas dan kemudian berjalan ke arah pintu.

Kau mau kemana? tanya sang istri.

Berjalan-jalan, jawab lelaki itu. Aku merasa sangat baik.

Lelaki itu berjalan ke luar rumah. Hari itu adalah hari yang cerah dan dia bisa merasakan kesejukan udara dan melihat gumpalan awan-awan dan mendengar kicauan burung-burung dan segalanya tampak sangat indah.

Namun sesaat kemudian, laki-laki itu mulai merasakan ada yang berbeda. Dia mulai merasakan ada yang salah dengan dirinya. Dia mengernyit dan mengernyit, mencoba menemukan apa yang terjadi, dan sesuatu seperti menghantam perasaannya – batu itu  – batu itu telah pergi! Itulah mengapa dia merasa sangat hampa. Ada lubang besar di dalam dirinya.

Lelaki itu menyapu keningnya, memicingkan mata, menggeliat.

Dan perasaan hampa itu semakin menjadi-jadi.

Dalam kepanikan lelaki itu berlari ke arah lapangan tempat dia menemukan batu tersebut beberapa waktu yang lalu. Dia melihat ke sekitar, melemparkan pandangannya, ke penjuru lapangan, ke manapun, menekuri tiap jengkal tanah, berputar-putar.

Batu yang lain akan membuatku merasa baik kembali, pikirnya. Batu lain akan menjadi apa yang aku butuhkan.

Tapi dia tampaknya tidak bisa menemukan batu yang serupa dengan miliknya tempo hari. Tidak ada satu pun yang menarik minatnya.

Oh, di sana ada banyak batu, tentu saja, tapi batu-batu itu tampak kusam dan dekil dan dipenuhi kotoran. Tidak ada satu pun yang tampak indah baginya.

Lelaki itu akhirnya menelan beberapa batu tapi tidak menimbulkan reaksi apa-apa.

Apa yang harus aku lakukan? tanya lelaki itu. Bagaimana aku bisa hidup seperti ini?

Dan dia pun tersentak, dan dia berhenti mencari dan berlari kencang.

Batuku! Di mana batuku? tanyanya.

Lelaki itu berlari dengan kalut menuju ke rumahnya.

Di mana batu itu? dia berteriak.

Batu apa? tanya sang istri.

Batu itu! teriaknya lagi. Batu itu! batu itu! batuku!

Oh, ucap sang istri. Itu di belakang. Batu itu sangat berat untuk dibawa sejauh ini.

Lelaki itu bergegas ke belakang. Di sanalah benda itu berada – batu itu! di salah satu sudut di halaman belakang rumahnya.

Lelaki itu berlari ke arah batu tersebut. Dia berlutut di sampingnya.

Dia memeluk batu itu dengan kedua lengannya.

Dia mengusap seluruh permukaan batu itu. Dia menggosokkan wajahnya di permukaan batu itu. Batu itu sangat besar untuk ditelan, tentu saja, tapi dia tetap memeluknya dengan erat, menekannya ke dada.

Oh batuku! katanya. Bagaimana bisa aku menjadi begitu bodoh? Dan bagaimana bisa saat ini aku merasa begitu hampa?

Dan kemudian lelaki itu mendengar sebuah suara, dan batu itu pun retak dan menganga.

Lelaki itu hanya bisa terperangah di depan mulut batu yang gelap dan lapar. []
Sumber :
Ben Loory (lahir tanggal 11 Juli 1971) adalah penulis cerpen berkebangsaan Amerika. Beberapa buku yang ditulis antara lain, Stories for Nighttime and Some for the Day (Penguin, 2011) dan Tales of Falling and Flying (Penguin, 2017). Dia juga menulis buku anak, The Baseball Player and the Walrus (Dial Books for Young Readers, 2015). Cerpen Loory sudah tersiar di beberapa media antara lain The New Yorker, Tin House, Electric Literature, and Fairy Tale Review, dan telah diperdengarkan pada This American Life and Selected Shorts. Loory berdomisili di Los Angeles dan mengajar kelas penulisan cerpen di UCLA Extension Writers’ Program.



Sunday, January 26, 2020

Yang Terberat Ketika Kamu Memutuskan Resign (Part 1)


Kok pakai part-part an segala?  Iya,  soalnya akan ada banyak hal yang menggalaukan langkahmu, Mak. 

Gambar dari google


Apapun alasanmu resign dari tempat kerja yang sekarang,  pasti kamu akan melalui fase-fase galau dan bertanya pada diri sendiri tentang apakah keputusan yang kamu buat ini benar atau tidak.  Jika kamu sudah mengajukan surat resign,  maka sudah pasti kamu telah mempertimbangkan hal ini dengan baik dan mantap.  Saya pun demikian. 

Baca :

Tapi ya... Masih ada aja yang membuat hati ini galau tidak karuan.  Dalam kasus saya,  masalah finansial,  alhamdulillah, tak menjadi kendala. Tapi, hal ini akan tetap saya bahas di part berikutnya. 

Lalu, apa yang bikin galau on the top?  Saya bilang ke sahabat-sahabat dan orang terdekat saya bahwa hal yang paling berat saat saya memutuskan untuk resign adalah dealing sama orang-orang di sekitar yang judgemental pada keputusan ini.  Entah teman kantor,  entah tetangga,  entah tante-tante yang tiba-tiba telpon,  "Nina,  kamu tidak nyesal resign?  Nanti tidak punya uang sendiri loh."

Kamu akan sangat sering mendengar kalimat-kalimat penuh jugdment seperti ini :

"Banyak yang ingin di posisimu,  kenapa kamu malah keluar?" 

"Bisnis kan bisa tetap jalan.  Tinggal bayar orang yang bisa kalau misalkan kamu bilang mau benahi pembukuan bisnis."

"Sayang loh,  sekarang cari kerja susah."

"Gaji sebulan besar,  di kampung halaman sendiri,  jarak kantor-rumah gak sampai sepuluh menit.  Gak bersyukur banget."

Herannya,  kalimat-kalimat di atas itu akan kamu dengar dari orang-orang yang tidak masuk kategori sahabat akrab ataupun karib kerabat dalam daftar pertemanan kamu.  Sebaliknya,  orang-orang yang benar-benar mengenalmu,  justru akan mensupport apapun alasanmu. 

Mendengar kalimat-kalimat menghakimi dari lingkungan adalah hal yang terberat buat saya bahkan di hari pertama saya mengajukan surat resign. Tapi saya kembali lagi meyakini bahwa ini adalah jalan yang saya pilih,  suami,  kedua ortu,  sahabat-sahabat terdekat tidak keberatan serta saya memang tidak dilahirkan untuk menyengangkan semua orang bukan? 

Pun ketika membuat keputusan penting dalam hidup,  saya tidak harus membuat keputusan yang memuaskan hati orang lain.  Toh, ini adalah hidup saya dan  yang menjalani hidup adalah saya sendiri. 

Pelajaran berharga lain yang bisa saya ambil dari peristiwa ini adalah menahan diri. Menahan diri dari bertanya 'Mengapa kamu begini begitu'  ketika dihadapkan pada pilihan orang lain yang tidak masuk di logika kita saat ini.  

'Kenapa belum menikah?'

'Kenapa belum punya anak?'

'Kenapa anaknya belum sekolah?'

'Kenapa masih kerja di sana?'

'Kenapa tidak menyusui sampai 6 bulan?'

Dan kenapa-kenapa lainnya yang sebenarnya bukan urusan kita,  sebaiknya pikirkan baik-baik sebelum kita pertanyakan. 

Kalau kamu?  Apa keputusan yang pernah kamu buat yang menjadikanmu sasaran penghakiman orang lain? 

Wednesday, January 15, 2020

Bagaimana Jika


Bagaimana jika saya memaksa masuk ke  SMA di luar kota meskipun Ibu melarang?

Bagaimana jika saya menerima tawaran perpanjangan kontrak dari perusahaan tambang dan bukannya memilih melanjutkan skripsi?




Bagaimana jika saya tidak menikah dengan pasangan saya sekarang,  atau bahkan saya memutuskan melajang hingga setidaknya sampai saya telah mengunjungi negara ke 20?

Bagaimana jika saya tidak memenuhi ajakan teman untuk menemani dia tes di bank yang akhirnya menjadi tempat saya bekerja sekarang?

Bagaimana jika saya tidak pernah melahirkan seorang anak pun?

Bagiamana jika saya bilang 'Jawa'  ketika kerususuhan Timor-timur berlangsung dan Ibu bertanya 'Kita mau mengungsi di Jawa atau Manado?'?

Bagaimana jika saya tidak menulis Manado waktu disuruh memilih kota di mana kita ingin ditempatkan setelah mengikuti pelatihan officer di salah satu bank tempat saya bekerja saat ini?

Bagaimana jika saya memutuskan untuk menerima hadiah langsung di Jakarta saat memenangkan kompetisi menulis cerpen Islami dan bukannya meminta adik saya yang mewakili?

Bagaimana jika saya tidak menukar kesempatan untuk pelatihan selling skill dengan teman saya karena belakangan saya agak takut naik pesawat?

Bagaimana jika saya memilih rentetan bagaimana jika di atas tapi tetap tidak merasa bahagia?

Bagaimana jika saya ternyata memutuskan menjalani rentetan bagaimana jika di atas tapi justru berharap dapat menjalani pilihan yang saya buat saat ini?


(gambar dari https://www.aangnovi.com/2018/12/bagaimana-jika-dan-jawabannya.html?m=1) 

Tuesday, January 14, 2020

Saya Menulis Maka Saya Waras



Dilansir dari Tempo.co  2 Februari tahun 2013, Bapak Habibie mengalami depresi yang sangat berat sepeninggalan Ibu Ainun. Psikosomatis malignant adalah diagnosa yang diberikan oleh seorang Profesor doktor yang juga adalah dokter keluarga setelah mendapati suatu subuh,  Bapak Habibie berjalan keliling rumah sambil menangis seperti anak kecil yang mencari ibunya dengan hanya mengenakan pakaian tidur.

Gambar dari sini



Pak Habibie mengalami kondisi di mana dia larut dalam kesedihan sehingga hanya ada 4 solusi yang ditawarkan oleh dokter untuk menjaga kondisi Pak Habibie tidak semakin parah dan menjadi linglung.

Pertama, Pak Habibie dirawat di rumah sakit jiwa. Kedua, tetap di rumah tapi ada tim dokter dari Indonesia dan Jerman yang ikut merawat. Ketiga, curhat kepada orang-orang yang dekat dengan Habibie dan Ainun. Keempat, dengan menulis. Bisa kita terka bersama solusi apa yang Pak Habibie pilih. Solusi itu yang kemudian mengantarkannya menulis sebuah buku yang akhirnya diangkat ke layar lebar dan meraup 3,3 juta penonton hanya dalam waktu 3 minggu.

Resign tidak pernah menjadi perkara yang mudah bagi saya dan saya yakin bagi orang-orang lain yang sedang berada dalam kondisi seperti saya.  Selain kesiapan finansial ada yang jauh lebih penting,  yaitu kesiapan mental.  Beralih dari rutinitas yang dijalani bertahun-tahun ke rutinitas baru yang butuh adaptasi adalah hal yang berat. Belum lagi ketika harus dealing dengan omongan orang-orang yang memandang aneh keputusan kita.  Risiko hidup di Indonesia, kita yang jalani hidup orang lain yang ngomen.  Masalahnya adalah komentar-komentar orang lain tak sedikit yang menjadi toxic bagi diri sendiri. 


Baca :


Saya sadar saya adalah orang yang lumayan memikirkan penilaian orang lain terhadap keputusan saya.  Bahkan saya memikirkan berhari-hari bagaimana cara saya bisa ngomong ke atasan. Saya takut mereka kecewa terhadap keputusan saya.  Tidak logis memang. Ngapain kita memusingi pendapat orang lain tentang cara kita menjalani hidup. Wong orangtua kita saja gak khawatir kok.  Tapi itulah yang terjadi.

Untuk itu saya memutuskan membuat satu kategori dalam blog ini. 'Jurnal Resign'.  Saya akan menulis apa yang saya rasakan dan pikirkan selama menjalani proses resign ini dan saya harap bisa membuat orang lain yang membaca dan sedang berada dalam posisi saya mengetahui bahwa mereka memiliki teman seperjuangan.

Selain itu,  saya percaya menulis masih menjadi obat bagi segala jenis penyakit 'mental'  saya.  Menulis adalah media healing yang paling ampuh buat saya.  Untuk itu saya tetap menulis dan saya harap saya tetap bisa mempertahankan kewarasan saya. 😁

Thursday, January 9, 2020

Doa yang Spesifik



Pra Resign

Jalan hijrah itu berat,  kalau terasa ringan mungkin kita salah jalan.

Gambar dari google 


Baca :


Di tahun 2020 saya tidak membuat resolusi apapun.  Saya hanya membatin ingin berdoa lebih spesifik tentang pekerjaan yang sedang saya jalani saat ini. Saya bekerja di sebuah bank plat merah di bagian pemasaran kredit menengah. 

Saya masuk ke bank melalui jalur ODP sehingga langsung mendapatkan posisi manajerial.  Saat itu karir awal saya sebagai asisten manajer di bagian marketing kredit kecil.  Saya tahu perkara riba bahkan ketika masih dalam tahap tes.  

Kegelisahan ini saya sampaikan ke kakak mentor saya zaman kuliah dulu dan jawabannya kurang lebih,  berdoalah kepada Allah untuk meminta petunjuk.  Niatkan pekerjaan ini nanti untuk mencari nafkah halal.  Saat itu,  sebagai mahasiswa baru yang ketakutan tidak mendapat pekerjaan,  saya melanjutkan proses rekrutmen itu hingga akhirnya diterima.

Saya menjalani ikatan dinas dengan tahan ijazah selama 4 tahun dari 2012 hingga 2016. 4 tahun yang terasa menyiksa karena pekerjaannya di bawah tekanan. Baik tekanan atasan maupun tekanan target. Namun kisah tak menyenangkan selalu diikuti dengan hal-hal baik.  Saya mendapatkan banyak teman,  beberapa seperti saudara. Saya mendapat banyak pengalaman dari pengusaha-pengusaha yang berinteraksi dengan saya. Yang tak kalah mewah saya mendapatkan banyak ilmu. Hal-hal baik itu membuat saya mampu melalui hari-hari demi hari bekerja di bank.  Namun demikian saya tetap menyimpan keinginan untuk resign. Resign saat ikatan dinas mewajibkan kita membayar sejumlah uang sebagai penality.  Jadi saya menunggu hingga ikatan dinas berakhir.

Ketika masa ikatan dinas berakhir dan saya mendapatkan kembali ijazah saya,  ada lebih banyak alasan yang akhirnya membuat saya bertahan dibanding resign. Restu orang tua juga menjadi tembok paling tinggi yang menghalangi niat saya itu.  Orangtua tetap menginginkan saya bekerja meski tahun 2013 saya menikah dan tahun 2018 kondisi bisnis suami sudah settle dan rasa-rasanya kami bisa hidup dari pendapatan usaha itu saja. 

Pertengahan tahun 2019 adalah tahun terberat dalam sejarah karir saya.  Saya sangat tertekan hingga saya merasa mungkin saya kena depresi.  Saya sebenarnya orang yang sanggup bekerja di bawah tekanan.  Hal-hal baru dan menantang membuat saya bergairah.  Namun,  saya juga pernah mengalami baby blues syndrom pasca melahirkan anak pertama yang membuat saya yakin ada lubang kecil pada sistem pertahanan mental saya yang di waktu-waktu tertentu lubang itu berpotensi menganga dan bisa membuat saya sakit mental. Hal itu diamini ketika saya didiagnosa Burn Out Syndrom saat berkonsultasi dengan psikolog yang disediakan oleh kantor untuk mendampingi karyawan-karyawan yang merasa membutuhkan.

Baca :
Baby Blues

Apa itu burn out syndrom?  Untuk menjelaskan sindrom ini saja saya merasa sangat draining. Sahabat-sahabat dalam cyrcle kecil saya yang selalu menjadi tong sampah sangat memahami kondisi saya ini. Saya telah menuliskan panjang lebar tentang burn out syndrom yang sebenarnya akan saya posting di blog ini,  tapi malah berakhir dengan saya kirim ke majalah kantor. Pikir saya lebih bermanfaat kalau dimuat di majalah kantor karena saya yakin pasti banyak karyawan yang mengalami ini entah mereka sadari atau tidak.  Selain itu dapat honor juga (Lol) Mungkin nanti kalau sudah tayang,  saya akan posting di blog juga.

Kembali pada doa yang spesifik tadi.  Kekuatan doa telah meluluh lantakkan pertahanan orangtua terutama ibu saya.  Berbagai cara telah saya utarakan demi mendapat restunya untuk keluar dari bank.  Mulai dari alasan tertekan,  tidak cocok dengan atasan,  riba. Semuanya mental. Dengan berdoa secara spesifik hanya dalam 2 hari,  ibu saya yang nenyuruh saya resign.

Sampai sekarang ketika mengingat peristiwa ini saya selalu merasa terharu sekaligus merinding.  Baru 2 hari saya berdoa secara spesifik,  hari ke 3 di kala subuh,  ibu saya masuk ke kamar dan bilang,  "Nin,  kamu resign saja.  Mama lihat vidio siksa kubur orang pemakan riba di youtube.  Mama takut ditanyai sama malaikat di alam kubur. Kenapa mama membiarkan anak mama bekerja di jalan yang Allah haramkan."

Ketika itu saya ingin nangis tapi saya tahan,  soalnya saya gengsi kan ya kalau nangis depan ibu. 😁

Di awal tahun saya merasa Tuhan dekat dan sayang sekali sama saya. Selain itu saya kok ingin berterimakasih sama youtube. πŸ˜†πŸ˜†


(to be continue di postingan selanjutnya)

Wednesday, January 1, 2020

I am Not Perfect but I am Enough

Gambar dari google


(Bukan kontemplasi apalagi rangkuman prestasi) 

Sebagai ibu yang mengajarkan toilet training yang lumayan terlambat,  membiarkan anak menonton youtube supaya saya bisa leyeh-leyeh,  memberi makan nugget hanya karena cooking is not my thing. Heheh. I am not perfect as a mother but i am enough. 

Terimakasih untuk diri saya sendiri yang masih bisa jadi teman ngobrol dan ketawa suami meski urusan masak lebih jago dia dan sebagai gantinya saya ambil alih tugas membersihkan toilet. Terimakasih karena berhasil melewati tahun-tahun ganjil pernikahan yang penuh drama menguras energi dengan baik.  Terimaksih pak suami untuk tidak melarikan diri dari sayaπŸ˜‚. I relize i am not perfect as a wife but i am enough. 

Tetap menulis di sela-sela ke-mager-an dan burn out syndrom kemarin,  tetap gembira ke kantor meski penuh tantangan,  meski hasil dari 2 kegiatan tadi (nulis dan ngantor) tidak maksimal,  terimakasih karena sudah bertahan.  I am not perfect but i think i am enough. 

Terimakasih untuk papa mama handai taulan yang turut mewarnai hari-hari. Selamat tinggal 2019. I survived.πŸ˜‚πŸ˜‚  Semoga 2020 lebih banyak bahagia untuk kita semua.