Monday, December 4, 2023

Di Kota Ini Mimpi dan Jasad Berlomba-lomba Menjadi Debu

 

Di Kota Ini Mimpi dan Jasad Berlomba-lomba Menjadi Debu

Cerpen Sabrina Lasama

 

    Sayangnya, tidak ada begitu banyak warna yang bisa terlihat. Wajah gadis itu semakin pucat. Lingkaran matanya lebih gelap dibanding beberapa hari lalu dan ia mungkin saja telah kehilangan beberapa kilogram berat badan. Pipinya tampak cekung. Terakhir kali terlihat, ia memegang roti yang tinggal separuh. Katanya, itu adalah makanan yang bisa didapatkannya hari ini. Antrean di tempat-tempat pembagian makanan bertambah panjang dan ia tidak punya cukup waktu untuk ikut mengantre. Namanya Bisan. Ia punya tugas yang jauh lebih penting. Tugas yang tak pernah ia kira akan ia emban di usia semuda ini. Ia punya mimpi lain yang ingin ia wujudkan. Tapi, apakah mimpi masih menjadi hal yang penting saat ini?


    Di hari lain, jika kita cukup beruntung, Bisan akan menunjukkan bagaimana anak-anak kecil di sekitarnya bermain, dilatari langit biru dan ia akan tertawa bersama mereka. Itu cukup menghibur hatinya di tengah bangunan hancur dan aspal jalanan yang terbelah. Di hari lain lagi, kala langit hanya kelabu karena tertutup asap tebal sisa-sisa ledakan, ia pernah menangis sambil mempertanyakan kenapa hanya ada sedikit makanan yang bisa diakses. Orang-orang akan mati kelaparan karena ini sudah hari ketiga belas. Berapa lama biasanya manusia bisa bertahan tanpa makanan?

    “Kalian becanda, kan? hanya 20 truk bahan makanan? Dalam kondisi normal kami butuh 500 truk bahan makanan. Kalian menari dan bergembira hanya karena 20 truk bahan makanan ini?” Bisan menangis. Tidak ada yang menghibur. Siapa yang bisa menghibur jika setiap hati yang ada di sana sedang patah dan tak bisa menanggung bahkan hanya untuk satu kesedihan lagi.

    Bisan fasih bebahasa Inggris meski aksen yang ia miliki dari bahasa ibunya masih sangat kental. Ia mungkin masih berumur di awal dua puluh. Ia sepertinya tipikal gadis periang yang mudah bergaul dengan rambut keritng bergelombang yang akan ikut terayun kemana pun kepalanya menoleh. Jika ia tertawa akan terlihat kawat gigi di sana, tetapi mungkin kita tidak akan sering melihatnya tertawa entah untuk berapa lama.

    “Saya bersyukur masih hidup. Tuhan Maha Baik karena saya masih hidup.” Bisan memutuskan untuk menghibur dirinya sendiri. Ia mengalungkan rompi bertuliskan ‘Press’ ke dadanya, memakai helm dan berlari kecil menghampiri seorang teman yang melambai.

    Bisan mencintai semua yang bisa ditangkap oleh kameranya. Ia adalah seorang pembuat film muda. Ia bercita-cita membuat film tentang keindahan kampung halamannya untuk disiarkan ke seluruh dunia. Ia bermimpi bisa menyuarakan apa yang orang-orang di sekitarnya rasakan kepada seluruh dunia. Bisan mencintai semua yang bisa ditangkap oleh kameranya, kecuali keadaan beberapa hari belakangan ini. Dan andaikan mimpinya lindap, bukankah itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan anak kecil yang kehilangan ibunya, ibu yang kehilangan bayinya, atau calon pengantin yang kehilangan pasangannya?




     “Hai, apa kabarmu hari ini?” seorang pemuda menyapa Bisan.

    “Saya bersyukur kepada Tuhan saya masih hidup.”

    “Kau sudah siap?” Pemuda itu kembali bertanya. “Kau sempat beristirahat tadi malam?”

    “Ya. Saya tidur dua jam di parkiran rumah sakit.”

    “Kau mau ke mana sekarang?” Pemuda itu kembali bertanya.

     “Mungkin saya akan meliput pengungsi di sekolah perempuan PBB.”

    “Semoga Tuhan menyertaimu.” Pemuda itu menimpali. “Saya mau membambil gambar dari puncak gedung di sana.”

    “Semoga beruntung.” Bisan membalas.

    Pemuda itu pergi dengan langkah-langkah panjang, menenteng kamera Sony yang sebelum ini tak pernah digunakannya untuk merekam gambar-gambar kesedihan. Namanya Motaz, ia seorang fotografer muda yang hanya memotret sudut-sudut terindah kota tempat tinggalnya. Objek foto yang ia sukai adalah senja di langit kota, kaki-kaki kecil yang menendang bola di tepi pantai, anak kecil yang tertawa pada semangka besar di tangannya, sepasang kekasih yang duduk minum teh di pasar tradisional, wanita tua dengan senyuman bersahaja.

    Motaz suka pada anak-anak. Suatu kali ia menghampiri seorang anak perempuan yang bersedih di atas reruntuhan bangunan rumah, menanyakan apa yang ditangisi oleh anak itu.

    “Semua mainanku rusak,” jawab si gadis kecil.

    “Setidaknya, kau sudah menyelamatkan benda-benda itu.” Motaz menunjuk pada sesuatu yang tengah di genggam sang gadis kecil. “Apa itu?”

    “Ini bedak dan pemerah pipi milik ibuku.”

    “Di mana ibumu?”

    “Ibu di rumah sakit. Kepalanya tertimpa dinding rumah kami.”

    “Puji syukur, Tuhan masih melindunginya.” Motaz membalas, “Maukah kau menunjukkan padaku bagaimana caranya menggunakan bedak dan pemerah pipi itu?”

    Mata si gadis cilik berbinar. “Aku bisa memakaikannya padamu.”

    “Baiklah. Aku tidak akan menolak.” Berbeda dengan Bisan, kita cukup sering melihat senyum Motaz.

    Si gadis kecil menepukkan bantalan bedak di pipi Motaz dengan senyuman lebar. Senyum yang sama lebarnya dengan yang juga bisa kita lihat di wajah Motaz.

    “Kau bahagia sekarang?” tanya Motaz.

    Gadis kecil itu mengangguk. “Aku tidak akan sedih lagi walau rumahku hancur. Aku beruntung karenanya aku bisa merias wajahmu. Aku ingin jadi perias pengantin saat dewasa nanti.”

    “Ya. Percayalah kau akan mewujudkan mimpimu.”

      Motaz pasti sedang berbohong. Siapa yang masih memikirkan mimpi di kota di mana kematian adalah hal yang lumrah? Motaz pasti sedang berbohong karena anak-anak kecil tidak memiliki kesempatan untuk bertumbuh besar di kota ini.

    Namun, langkah Motaz tidak surut ketika berlari menuju ke sebuah bangunan gedung yang ajaibnya masih berdiri. Ia mempersiapkan kameranya sebelum mencapai puncak gedung. Rupanya, di atap gedung sudah ada seorang reporter yang tengah menyiarkan berita bersama seorang kameramen. Ia mengenalnya sebagai Paman Wael. Seorang jurnalis stasiun televisi yang cukup disegani di kota mereka. Ia pernah bertemu dengannya beberapa kali ketika PBB mengadakan kegiatan. Motaz cukup aktif dalam kegiatan PBB yang melibatkan anak kecil.

    “Kenapa Paman Wael terlihat bersedih?” tanya Motaz pada si kameramen.




     “Keluarganya baru saja terbunuh. Anak dan istrinya mati di tempat.” Kameramennya menjawab singkat. Ada getaran tebal yang bisa Motaz rasakan pada suara si kameramen. “Tapi kami sedang siaran langsung. Setelah selesai kami langsung ke rumah sakit.”

     Motaz terkejut. Saat ini, bahkan seorang reporter sekali pun tidak bisa menyiarkan kondisi kotanya dengan tenang. Apakah nyawa keluarganya juga akan terancam jika ia terus menyiarkan foto-foto yang ia bidik? Tidak ada lagi tempat yang aman di kota ini. Luasnya bahkan hanya 300 km. Tetapi, kenapa dokter harus melakukan operasi tanpa anastesi? Kenapa guru-guru harus terbunuh oleh atap sekolah yang runtuh? Kenapa imam harus berakhir tragis di dalam bangunan masjid. Di kota ini, jangankan mimpi, jasad-jasad manusia mudah saja tertimbun di bawah reruntuhan. Motaz tidak pernah merasa takut dan ragu pada mimpinya, kecuali hari ini.

    “Sebaiknya kau juga ke rumah sakit. Saya dengar seorang aktivis baru saja mengadakan kegiatan menggambar untuk anak-anak. Mungkin kau bisa meliputnya atau mengambil beberapa foto.”

    Motaz tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam kesedihan yang lama. Bayi yang dilahirkan di tanah ini bukan saja meminum air susu ibunya, tetapi juga sikap pantang menyerah dan rasa syukur yang tinggi, warisan dari leluhur mereka. Untuk itu ia segera melangkahkan tungkai-tungkainya yang panjang menuju ke salah satu rumah sakit yang juga telah berubah fungsi menjadi tempat pengungsian.




 

***

            

      Anak-anak tertawa dengan warna-warni cat di tangan mereka. Menggambar bendera, burung, langit. Setidaknya mereka bukan tengah menulisi tangan atau kaki dengan nama mereka sendiri karena harus berjaga-jaga jika mereka terbunuh dan kesulitan diidentifikasi. Motaz bersyukur karena di masa yang sulit ini, anak-anak tidak kehilangan tawanya.

    “Plestia!” Ia menyapa salah satu gadis yang dikenalinya. Gadis itu mengenakan rompi press yang sama, ponsel tak pernah lepas dari tangan si gadis. Seperti dirinya, Plestia mengabadikan apa saja yang kira-kira bisa ia kabarkan pada dunia.

    Plestia adalah seorang mahasiswi jurnalistik. Ia bermimpi menjadi penulis seperti Rupi Kaur, tetapi tampaknya tidak ada yang bisa ia tulis belakangan ini selain catatan harian seperti yang pernah ditulis oleh Anne Frank pada masa Holocaust. Lagi pula, apakah mimpi masih menjadi hal yang begitu penting saat ini?

    Plestia melambai sejenak ke arah Motaz lalu kembali sibuk merekam tawa anak-anak yang tengah menggambar. Seorang aktivis perlindungan anak berinisiatif mengeluarkan semua kertas dan cat warna yang bisa mereka temukan di bawah reruntuhan toko buku dan menghamparkannya di salah satu sisi pekarangan rumah sakit untuk membuat anak-anak tetap ceria.

    Tak seperti Bisan, Plestia terlihat lebih ringkih karena postur tubuhnya yang kurus. Ditambah ia telah kehilangan selera makan sejak peperangan berkobar. Siapa yang masih bisa makan ketika mendengar rumah tetanggamu di sebelah sudah hancur berkeping-keping?

    Di hari kesepuluh peperangan ini, Plestia pernah merasa begitu putus asa. Ia membuang rompi press serta helm yang sebelumnya dengan bangga ia kenakan. Merasa percuma saja melakukan semua karena dunia tidak akan mendengar mereka dan yang mendengar tidak memiliki keberanian untuk melakukan sesuatu. Ia merasa keadaan saat ini begitu buruk hingga di titik ia akan bersyukur kepada Tuhan ketika mendengar ada anggota keluarga yang meninggal dalam keadaan utuh, tanpa sepotong daging pun terlepas dari tubuh.




    Setelah merasa sudah mengambil gambar yang cukup untuk diunggah pada media sosialnya, Plestia melangkah dengan lunglai kembali ke dalam mobil. Benda itu bukan saja sekadar kendaraan dinas sekarang, tetapi juga rumah kedua untuknya. Ia mengeluarkan buku hariannya, menulis beberapa kalimat, mencoret lebih banyak, menangis dengan keras dan tertidur. Sejam yang lalu ia baru saja mendengar kabar bahwa roket telah menghancurkan menara telekomunikasi di kota mereka. Setelah sebelumnya mereka telah kehilangan jalur distribusi pangan dan obat-obatab, sekarang tidak ada jaringan komunikasi, tidak ada internet, tidak ada lagi yang bisa ia beritahukan kepada dunia.

 

***

    Entah bagaimana aku merasakan kecemasan yang sama. Sudah 24 jam berlalu sejak foto terbaru yang diunggah Plestia, atau Bisan, atau Motaz pada media sosial mereka masing-masing. Aku tidak lagi bisa menikmati tidur yang nyenyak di malam hari. Aku akan terjaga setiap dua jam hanya untuk mengecek apakah Bisan dan kawan-kawannya telah menggunggah foto terbaru yang mengindikasikan bahwa mereka masih hidup.

    Tidak ada unggahan apa pun dan gelombang kecemasanku semakin bertambah. Kesedihanku sulit diungkapkan. Kenapa aku bersedih untuk orang yang tidak kukenal yang bahkan tinggal 8000 km jauhnya dari kotaku? Aku tidak mengenal mereka dan mereka tidak mengenalku tetapi kenapa rasanya seperti ada ikatan yang kuat dengan mereka? seolah mereka adalah sahabat baik yang sudah lama tidak berkabar. Seolah tubuhku tengah berada di kota dengan kondisi yang lebih parah dari seluruh film katrastrofenya Christopher Nolan digabung menjadi satu.

    Dalam dua minggu belakangan, aku mengamati dengan saksama setiap foto dan video yang mereka unggah, lalu mereka-reka sebagian adegan yang mungkin saja mereka alami lalu kembali terempas dalam rasa tak berdaya. Perasaan itu bercokol di tenggorokanku sehingga membuatku ingin memuntahkan apa pun yang baru saja kumakan. Wajah-wajah mereka menghantuiku siang dan malam. Anak-anak muda yang rela mengubur mimpi-mimpi mereka demi menjadi jurnalis dadakan, dengan rompi dan helm seadanya, merekam kejadian demi kejadian mengerikan langsung dari kota mereka, agar timbul belas kasihan dunia meski sedikit saja.

    Apakah Bisan, Motaz dan Plestia tahu bahwa sekarang dunia mulai mendengarkan dan membicarakan mereka?[]

 

Terinspirasi dari jurnalis-jurnalis muda Gaza : Motaz, Plestia, Bisan dan Wael. Menulis ini untuk merilis duka, rasa tak berdaya dan emosi-emosi negatif lainnya terkait peristiwa 7 Oktober 2023 yang terjadi di Gaza. Semoga penderitaan rakyat Palestina segera berakhir. Free Free Palestine!

Tuesday, October 24, 2023

Terisolasi

 

TERISOLASI

Cerpen Adania Shibli


Untuk menjauh dari keramaian ibu kota, dengan atmosfernya yang tidak sehat dan tidak aman, serta untuk mencari sedikit ketenangan serta kedamaian, ia pindah ke tempat jauh, ke sebuah rumah yang terisolasi di ujung paling utara kota, dekat dengan sungai. Sebuah pekarangan terbengkalai mengantarai pinggiran sungai dan teras rumah itu. Pekarangannya kosong dan terlihat begitu luas. Terasnya sendiri, yang hanya satu meter di atas tanah, juga sangat luas, seluas langit, dan begitu pula jendelanya, tampak seperti lukisan pemandangan di mana anak-anak bisa melongok keluar.


Sumber gambar dari sini



Yang ia lakukan agar hamparan luas itu dapat menenggelamkan dirinya dalam ketenangan adalah melangkah menuju pintu teras, itu juga menjadi hal pertama yang dilakukannnya setiap pagi. Ia akan menyiapkan segelas kopi, membawanya ke teras dan duduk membelakangi bangunan rumah, menatap pekarangan dan barisan pohon yang memisahkan rumah itu dari sungai yang mengalir di belakangnya.

Ia akan memandangi cahaya pertama yang menyentuh pucuk pohon dalam barisan dan menyebar ke bagian pohonnya lainnya, lalu ke pohon sebelahnya, lalu ke seluruh barisan pohon, lalu ke pekarangan. Seperti halnya cahaya itu, ia merasa mudah saja untuk bergerak bebas tanpa ada yang menahan. Kadang-kadang ia bahkan melompat turun dari teras untuk berkeliling di tempat-tempat yang dijatuhi cahaya matahari sebelum kembali berteduh. Ini adalah kedamaian yang sudah lama ia nantikan dan yang saat ini berganti menantikannya setiap kali ia melangkah ke teras atau mendekati jendela untuk melihat ke luar.

Suatu malam, ia terbangun dengan suara ratapan yang yang aneh. Awalnya, ia tidak bisa memprediksi darimana suara itu berasal atau bagaimana suara itu bisa sampai terdengar. Ratapan itu tajam dan berulang-ulang. Seperti suara burung yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Suara itu seolah berasal dari luar jendela. Burung jenis apa yang berkicau selarut ini? suara aneh itu terus terdengar hingga akhirnya ia kembali terlelap.

Di pagi harinya saat ia menyibak gorden, teras, pekarangan dan barisan pohon seketika menjadi pemandangan yang ia lihat, segalanya terlihat luas, tenang, damai seperti sebelumnya, kecuali untuk angin kecil yang seolah tengah mencoba menghalangi matahari untuk mencapai puncak pohon pertama tempat di mana dahan-dahannya berantakan.

Ingatan akan suara misterius menyerupai kicauan burung di malam hari mungkin sudah hilang sepenuhnya jika saja ia tidak terbangun beberapa malam kemudian dengan suara lain, yang lebih aneh dan lebih keras daripada sebelumnya. Kali ini, bagaimanapun juga, ia merasa sangat ketakutan.

Terdengar bunyi benturan logam beradu, terasa sangat dekat, seperti berasal dari dalam kamarnya sendiri. Tetapi ketika ia membuka matanya, suara itu mereda, menjauh ke arah teras. Ia segera beranjak dari tempat tidur dan menyalakan lampu, agar siapa pun yang menimbulkan kegaduhan itu tahu bahwa mereka baru saja membangunkan seseorang di dalam rumah dan mereka sebaiknya segera pergi. Tak lama setelah ia menyalakan lampu, suara itu pun lenyap. Ia menuju ke pintu teras dan berdiri di sana tanpa membukanya, ragu-ragu apakah orang yang membuat kegaduhan tadi masih ada di sana atau sudah berlari melintasi pekarangan dan bersembunyi di belakang pepohonan. Hanya setelah ia merasa yakin dengan keheningan di sekelilingnya, dan tidak ada lagi suara-suara yang timbul, ia kembali ke kamarnya untuk tidur meskipun kegelishan dan ketakuan yang ia rasakan belum juga hilang.

Keesokan paginya, sinar matahari belum mencapai puncak pohon pertama ketika ia membuka pintu dan keluar untuk memeriksa teras. Tidak ada hal yang mencurigakan, tidak ada goresan atau kerusakan pada saluran pipa pembuangan, yang merupakan satu-satunya benda logam di sana. Semuanya terlihat baik-baik saja. Ia kembali ke dalam untuk membuat kopi. Berencana untuk meminumnya sambil duduk-duduk seperti biasanya, memandangi matahari terbit yang muncul di antara cahaya-cahaya di puncak pohon, berharap hal itu dapat menyingkirkan kegelisahan yang ia rasakan tadi malam. Ketika ia kembali, sinar matahari sudah membanjiri barisan pohon, tetapi pemandangan tenang di sekitarnya tetap saja mampu menghadirkan kedamaian dan mengusir kegelisahan dari malam sebelumnya sehingga yang tersisa hanya sedikit kebingungan saja tentang apa yang sebenarnya terjadi tadi malam.

Hingga pada suatu pagi, di mana terlihat seperti pagi biasa, ia tiba-tiba saja diserang kegelisahan dan kecemasan yang tak dapat ia jelaskan. Ia tidak mengerti dari mana perasaan itu berasal hingga ia melihat keluar jendela.  Pada mulanya ia tidak begitu yakin apa yang sedang ia saksikan, atau ia tidak yakin apakah yang tengah ia lihat itu benar-benar berada di sana. Di tengah pemandangan yang luas dan lengang itu, di ujung pekarangan, di sebelah barisan pepohonan, berdiri sebuah bayangan gelap. Ketika dilihat dengan saksama, bayangan itu mewujud menjadi sesosok makhluk besar yang tengah balas menatapnya. Ketika ia sudah yakin dengan apa tengah dilihatnya, ia segera pergi dari jendela dan bersembunyi untuk menghindari tatapan si makhluk besar. Pagi itu, alih-alih pergi ke teras seperti yang selalu ia lakukan sejak pindah ke rumah tersebut, ia justru membawa kopinya ke dalam kamar.

Setelah mengumpulkan keberanaian, ia kembali ke jendela untuk melihat sosok gelap di luar sana tetapi, keadaan tampaknya telah kembali normal. Tak ada tanda-tanada keberadaan makhluk raksasa seperti yang sebelumnya ia saksikan. Namun, ketakutan yang terlanjur tercipta di dalam dirinya cukup besar sehingga meninggalkan kesan buruk pada pemandangan di luar sana.

Beberapa hari setelah peristiwa tersebut, dari arah belakang rumah kembali terdengar bunyi gaduh yang memekakkan telinga, sehingga untuk berdiri di samping jendela demi melihat apa yang tengah terjadi serasa mustahil. Tukang besi dan asistennya sudah tiba di pagi hari dan telah selesai dengan pekerjaan mereka membuat pagar mengelilingi teras pada siang hari. Ketika mereka pergi, mereka tidak hanya meninggalkan puing-puing besi di mana-mana, tetapi juga pemandangan yang benar-benar baru.

Pekarangan itu tidak lagi bisa terlihat seluruhnya; sekarang yang bisa ia lihat hanyalah pemandangan di kejauhan, di mana barisan puncak pohon bersentuhan dengan langit. Kemudian, ketika ia menarik kursi dan duduk di teras, bahkan pemandangan lama tak tersisa sedikit pun. Yang tersisa hanyalah lapisan tipis langit di sela-sela ujung pagar dan atap. Awalnya, ia mencoba melihat melalui celah-celah sempit antara batang-batang pagar, tetapi melakukan hal itu segera membuat matanya lelah. Akhirnya, ia terbiasa hanya menatap langit, berhati-hati untuk tidak menoleh ke atas atau ke bawah sedikit pun, jika tidak, garis pandangnya akan bertabrakan dengan atap teras, yang bahkan tidak pernah ia perhatikan sebelum hari ini, atau pagar logam yang gelap. Namun, paling tidak, ia merasa aman lagi.Top of Form

Tapi kedamaian itu tidak berlangsung lama; setelah beberapa malam, ia kembali terbangun oleh ratapan makhluk aneh tersebut, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Kemudian, beberapa malam setelahnya, saat ia sedang tidur, dentuman yang membahana menusuk kepalanya, lebih keras dari sebelumnya, datang dari sepanjang pagar.

Sejak malam itu, begitu selesai membuat kopi di pagi hari, ia akan segera kembali ke kamar tidurnya dan berdiri di dekat jendela besar yang menghadap keluar, karena pemandangan dari sana lebih luas daripada teras yang dikelilingi pagar, dan akan mudah baginya untuk melihat siluet gelap raksasa itu kalau makhluk tersebut datang lagi. Ia sudah bersiap untuk itu.

Diterjemahkan dari Bahasa Arab oleh Katharine Halls

Dipublikasikan pada  3 November 2020

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Sabrina Lasama


 Sumber : https://www.ndbooks.com/article/isolated/


Adania Shibli, lahir pada tahun 1974 di Palestina, telah menulis novel, naskah drama, cerita pendek, dan esai naratif, yang diterbitkan dalam berbagai antologi, buku seni, dan majalah sastra dan budaya dalam berbagai bahasa. Novel terbarunya, "Minor Detail," diterbitkan di Amerika Serikat oleh New Directions pada tahun 2020, dalam terjemahan oleh Elisabeth Jacquette, dan telah diterjemahkan ke banyak bahasa, termasuk terjemahan ke bahasa Jerman (diterbitkan oleh Berenberg Verlag). "Minor Detail" menjadi finalist dalam National Book Award dan masuk dalam daftar panjang untuk International Booker Prize tahun 2021.

 


Monday, March 29, 2021

OUTSIDE

OUTSIDE

Cerpen Etgar Keret



Tiga hari berlalu setelah pemberlakuan PSBB dicabut, terlihat dengan jelas bahwa tidak ada satu orang pun penduduk yang berencana meninggalkan rumah mereka. Untuk alasan yang tidak dimengerti, orang-orang justru lebih memilih untuk tetap berdiam di rumah, sendirian atau bersama dengan keluarga mereka, mungkin karena lebih suka untuk tetap berjauhan dari orang asing. Setelah menghabiskan banyak waktu berdiam di dalam rumah, setiap orang menjadi terbiasa untuk tidak pergi ke tempat kerja, tidak pergi ke mall, tidak ngopi dengan teman, tidak mendapatkan pelukan yang tak terduga dan tak diinginkan dari kenalan di kelas yoga ketika berpapasan di jalan.

Pemerintah mengizinkan beberapa hari lagi bagi warganya untuk beradaptasi, tapi ketika itu kemudian menjadi suatu kebiasaan yang tidak berubah, maka mereka tidak punya pilihan. Polisi dan satuan tantara dikerahkan untuk mengetuk pintu-pintu dan meminta orang-orang untuk keluar.


Dokumentasi Pribadi

Setelah terisolasi selama 120 hari, bukanlah sesuatu yang mudah untuk kau kembali mengingat apa sebenarnya yang biasa kau lakukan sehari-sehari untuk mencari nafkah. Dan ini bukan berarti kau sedang tidak berusaha. Itu pastinya sesuatu yang melibatkan otoritas. Mungkin sekolah? Penjara? Kau memiliki ingatan samar-samar tentang seorang anak kurus dengan kumis yang baru saja tumbuh melemparkan batu ke arahmu. Apakah kau sebelum ini adalah seorang pekerja sosial?

Kau berdiri di pinggir jalan di luar gedung dan tantara-tentara yang menggiringmu tadi memerintahkanmu untuk segera bergerak. Jadi, kau mulai bergerak. Tapi, kau tidak yakin sama sekali tentang kemana sebenarnya tujuanmu. Kau mencoba menelusuri layar ponselmu untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa menjadi petunjuk. Janji temu sebelumnya, panggilan tak terjawab, alamat-alamat di memo. Orang-orang menjadi riuh saat tumpah ke jalan dan beberapa di antara mereka terlihat sangat panik. Mereka sama sekali tak bisa mengingat kemana mereka seharusnya pergi, meskipun jika mereka bisa mengingat tujuannya, mereka tak lagi mengetahui bagaimana caranya ke sana dan untuk apa sebenarnya mereka harus ke sana.

Kau mulai membutuhkan rokok, tapi kau meninggalkan bungkus rokokmu di rumah. Saat tentara-tentara itu menerobos masuk dan berteriak kepadamu untuk meninggalkan rumah, kau hampir saja tak sempat untuk sekadar mengambil kunci dan dompet, bahkan kau melupakan kaca matamu. Kau sudah mencoba untuk kembali ke dalam rumah tapi tentara-tentara itu masih ada di sana, sedang menggedor pintu rumah tetanggamu dengan tak sabaran. Jadi, kau berjalan ke toko di sudut gang dan menyadari kau tak punya uang kecuali koin lima shekel di dalam dompetmu. Pemuda jangkung di bagian kasir yang berbau keringat, mengambil rokok dari tanganmu sambil berkata, “Aku akan menyimpannya untukmu di sini.” Saat kau bertanya apakah kau boleh membayar dengan kartu kredit, dia menyeringai seolah kau baru saja menceritakan lelucon padanya. Tangannya menyentuhmu saat dia mengambil kembali rokok itu dan tangan itu terasa sangat berbulu, seperti tikus. Seratus dua puluh hari sudah berlalu sejak kau bersentuhan dengan orang lain.

Jantungmu berdebar, udara terasa bergemuruh melewati paru-parumu dan kau tidak yakin apakah kau masih bisa bertahan dengan kondisi ini. di dekat mesin ATM duduk seorang pria mengenakan pakaian yang kotor, dan ada sebuah kaleng di sampingnya. Kau mengingat dengan jelas apa yang kau lakukan di situasi seperti ini. Secepat kilat kau berusha menjauhinya dan saat dia berkata kepadamu dengan suara yang serak bahwa dia belum makan sejak dua hari yang lalu, kau memalingkan wajahmu, menghindari kontak mata dengan begitu lihai. Tidak ada satu pun yang menakutkan. Ini hanya seperti ketika naik sepeda : tubuh mengingat segalanya dan hati yang melunak akan kembali mengeras dalam waktu singkat saat kau sendirian.[]

 

Sumber : https://www.nytimes.com/interactive/2020/07/07/magazine/etgar-keret-short-story.html

 

Diterjemahkan dari bahasa Ibrani oleh Jessica Cohen

Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Sabrina Lasama

 

Keret lahir di Ramat Gan, Israel pada tahun 1967. Ia adalah anak ketiga dari orang tua yang selamat dari Holocaust. Kedua orang tuanya berasal dari Polandia. Saat ini ia berdomisili di Tel Aviv bersama istrinya dan putra mereka. Ia adalah dosen di Ben-Gurion University of The Negev di Beer Sheva dan di Universitas Tel Aviv. Dia berkewarganegaraan ganda yaitu Israel dan Polandia


Saturday, June 27, 2020

Memakan Zaitun Menjelang Kiamat


Memakan Zaitun Menjelang Kiamat

Cerpen Etgar Keret


Sebentar lagi dunia akan kiamat dan aku malah asyik memakan buah zaitun. Sebenarnya rencana awalku adalah makan pizza, tetapi saat aku pergi ke swalayan dan melihat deretan rak yang kosong, aku menyadari bahwa aku bahkan lupa membeli adonan pizza dan saus tomat. Aku berjalan ke arah kasir yang bertugas di jalur express untuk menanyakan apakah ada yang tersisa, ia adalah seorang wanita tua yang sedang berbicara melalui Skype dengan seseorang dalam bahasa Spanyol, ia menjawab tanpa menatap ke arahku. Dirinya tampak begitu terpuruk.

gambar dari sini


“Mereka telah memborong semuanya,” gumamnya, “yang tersisa hanya pembalut dan asinan.”

Satu-satunya yang tersisa di rak asinan adalah setoples asinan zaitun pedas yang kebetulan adalah kesukaanku.

Saat aku kembali ke meja kasir, wanita tua itu sedang menangis. “Dia tampak seperti sepotong roti yang hangat,” katanya, “cucu kecilku yang manis. Aku tidak akan pernah bisa melihatnya lagi, aku tidak akan bisa menciumnya, aku tidak akan bisa memeluk bayi kesayanganku lagi.”

Alih-alih menanggapi aku justru meletakkan toples asinan itu di meja kasir dan mengeluarkan uang lima puluh ribu dari kantung celana. “Oke,” kataku ketika menyadari wanita itu tidak menyerahkan struk belanjaanku, “Ambil saja kembaliannya.”

“Kembalian?” katanya sambil terisak, “sebentar lagi dunia kiamat dan kau malah memberikan uang kembalian kepadaku? Apa yang akan kulakukan dengan uang kembalian ini?”

Aku mengedikkan bahu. “Aku sangat menginginkan asinan ini. Jika lima puluh ribu tidak cukup aku akan membayar lebih banyak, berapapun harganya…”

“Sebuah pelukan,” dengan penuh deraian air mata wanita itu menyanggahku sambil merentangkan kedua lengannya, “bayar saja dengan sebuah pelukan.”

Aku sedang duduk di balkon rumahku saat ini, menonton televisi sambil memakan keju dan asinan zaitun. Susah sekali mengeluarkan televisi ini ke balkon, tapi di sinilah benda itu sekarang, lagipula tidak ada cara yang lebih baik untuk mengakhiri semua ini selain dengan langit berbintang dan telenovela Argentina yang jelek. Sudah episode 436 dan aku sama sekali tidak mengenali satu pun karakternya. Mereka sangat cantik, mereka sangat emosional, mereka saling meneriaki dalam bahasa Spanyol. Tidak ada teks terjemahan, sehingga sebenarnya sangat sulit memahami apa yang sedang mereka perdebatkan. Aku menutup mata dan kembali memikirkan kasir di swalayan itu. Saat kami berpelukan aku mencoba membuat tubuhku menjadi sekecil dan sehangat mungkin. Aku mencoba membuat tubuhku beraroma seperti bayi yang baru lahir. []

Diterjemahkan dari bahasa Ibrani oleh Jessica Cohen
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Sabrina Lasama


Keret lahir di Ramat Gan, Israel pada tahun 1967. Ia adalah anak ketiga dari orang tua yang selamat dari Holocaust. Kedua orang tuanya berasal dari Polandia. Saat ini ia berdomisili di Tel Aviv bersama istrinya dan putra mereka. Ia adalah dosen di Ben-Gurion University of The Negev di Beer Sheva dan di Universitas Tel Aviv. Dia berkewarganegaraan ganda yaitu Israel dan Polandia.



Thursday, June 25, 2020

SI PEMAKAN BATU


Cerpen Ben Loory/ Diterjemahkan oleh Sabrina Lasama

Pada suatu ketika tersebutlah seorang laki-laki yang memakan sebuah batu. Batu itu sendiri ukurannya kecil, tidak besar. Laki-laki itu menemukan batu tersebut di lapangan dan itu adalah batu yang indah – sangat indah – dan itulah bagaimana dia mengambil batu tersebut dan memakannya. Memakan batu juga sebenarnya bukan kebiasaaannya – laki-laki itu sendiri terkejut dengan apa yang sudah dia lakukan – tapi itulah kenyataannya, di suatu hari, ketika dia berbaring di tengah lapangan, terdapat sebuah batu – batu yang indah – dan dia kemudian memakannya.

Laki-laki itu merasa sangat bahagia setelah menelan batu tersebut. Dia merasa bahagia memiliki batu itu di dalam dirinya. Itu bukan sekadar sensasi fisik dari sebuah batu di dalam tubuh, melainkan ada sesuatu yang lain. Entah bagaimana laki-laki itu merasa batu tersebut membuatnya lebih baik dari sebelumnya. Entah bagaimana laki-laki itu merasa batu itu membuatnya lebih bergairah. Batu itu membuatnya lebih bersemangat, batu itu membuatnya lebih percaya diri, batu itu mengubahnya ke arah yang lebih baik.

gambar dari sini

Dan laki-laki itu sangat sangat bahagia dengan semua yang dia rasakan.

Kemudian laki-laki itu memberitahukan kepada istrinya

Apa yang kau lakukan? kata sang istri. Kau menelan sebuah batu.

Laki-laki itu menjelaskan kepada istrinya tentang apa yang dialami.

Itu gila, ucap istrinya. Kau beruntung tidak mati.

Itu hanya batu, balas lelaki itu. Hal itu tidak akan membunuhku.

Namun setelah itu, laki-laki tersebut menjadi cemas. Dia pusing tujuh keliling memikirkan batu itu. Apakah seharusnya aku tidak menelannya? Apakah hal itu berbahaya baginya? Dan, lebih dari itu, apakah batu itu benar-benar akan melukainya?

Laki-laki itu merasa harus menceritakan hal tersebut kepada orang orang lain, tapi dia takut teman-temannya justru akan menertawainya.
Oleh karenanya dia pergi ke kota dan berkeliling untuk kemudian mengetuk pintu seorang dokter. Seberapa besar batu itu? tanya sang dokter.
Lelaki itu mengangkat tangannya untuk menaksir ukuran batu.Segini, katanya. Sangat kecil.
Hmm, gumam sang dokter sambil mengerutkan kening
Maksud Anda, ‘hmm’? tanya lelaki tersebut. Apakah itu berbahaya?
Sebenarnya aku tidak bisa bilang bahwa itu berbahaya, jawab sang dokter. Tapi, Anda tahu, batu bisa bertumbuh.
Bertumbuh? tanya lelaki itu.

Dia tidak pernah mendengar hal itu sebelumnya.

Bertumbuh, tegas sang dokter. Saat Anda memakannya, itulah yang akan terjadi. Itulah mengapa aku pernah melihat seorang wanita dengan delapan puluh pon batu di dalam ususnya.

Lelaki itu sangat terkejut.

Itu sepertinya buruk sekali, kata lelaki itu.

Jadi, apa yang harus aku lakukan? tanyanya kemudian

Batu itu bisa saja dikeluarkan, ucap sang dokter.

Dikeluarkan? tanya lelaki tersebut. Maksud Anda operasi?

Apakah menurut Anda hal itu harus dilakukan? tanyanya lagi.

Tentu saja keputusan ada di tangan Anda, jawab sang dokter. Tapi secara pribadi, saya sangat menganjurkannya.

Laki-laki itu pulang ke rumah dan memikirkan hal tersebut. Dia menceritakan kepada isrinya tentang apa yang telah disampaikan sang dokter kepadanya.

Sejak awal seharusnya kau tidak memakan batu itu. Apa sebenarnya yang ada di pikiranmu? ucap sang istri.

Pada malam harinya, lelaki tersebut berbaring sambil terus memikirkan batu itu. Dia masih dapat merasakan batu itu di sana, di dalam dirinya. Dia masih bisa merasakan pancarakan kebaikan dari sana.

Aku tidak ingin kehilangan batu ini, gumamnya.

Waktu pun terus berlalu dan sang dokter menghubunginya.

Aku pikir aku akan membiarkan batu itu, kata lelaki tersebut.

Apakah Anda yakin? tanya sang dokter.

Sangat yakin, balas lelaki itu.

Baiklah, kata sang dokter, itu adalah keputusan yang sudah Anda ambil. Jika Anda berubah pikiran, hubungi aku kembali.

Baiklah, ucap lelaki itu.

Dan itulah yang terjadi.

Waktu terus berlalu. Lelaki tersebut merasa bahagia. Batu itu terasa baik-baik saja di dalam dirinya.
Namun, ada satu hal yang mengganggu lelaki itu : batu itu ternyata benar-benar bertumbuh. Perut lelaki itu menjadi semakin besar dan besar. Batu itu mulai tampak menonjol di permukaan perutnya.

Dan batu itu juga semakin berat, hingga lelaki itu kesulitan untuk berdiri.

Dan akhirnya, suatu hari, lelaki itu bahkan tidak bisa beranjak dari ranjangnya.

Jadi bagaimana? tanya sang istri. Kau hanya akan berbaring di tempat tidur?

Aku tidak bisa bergerak, kata lelaki itu. Apa yang kau harap aku lakukan?

Ini semua karena batu bodoh itu, kata sang istri. Kau harusnya mengeluarkan batu itu.

Aku tidak mau mengeluarkan batu ini, ucap lelaki tersebut. Ini adalah batuku, aku menelannya, batu ini membuatku bahagia.

Lalu kemudian rasa sakit mulai terasa. Batu itu terus bertumbuh semakin besar dan mendesak bagian dalam tubuh lelaki itu.

Kau harus melakukannya sekarang, ucap sang istri. Kau mengerti? Kau akan mati jika mempertahankan batu itu.

Lelaki itu tahu istrinya berkata benar. Dia bisa merasakan batu itu mengisi keseluruhan tubuhnya. Dia masih bisa merasakan kebaikan yang dipancarkan oleh batu itu di sana tapi kebaikan itu juga rasanya telah terkubur oleh rasa sakit dan ketakutannya.

Baiklah, kata lelaki itu. Pergi dan panggillah dokter itu.

Akhirnya, ucap sang istri lega.

Sang istri pun memanggil dokter tersebut.

Operasi itu berlangsung dengan susah payah. Dokter membutuhkan empat orang hanya untuk mengangkat batu itu. Mereka meletakkan batu itu di atas timbangan, tapi timbangan itu rusak sehingga berat batu tersebut tidak pernah diketahui.

Namun demikian, semua berjalan sesuai rencana. Mereka menjahit perut laki-laki itu. Dokter memberitahukan bahwa prosedur operasinya sukses, dan kemudian dia pergi merokok di beranda.

Waktu berlalu dan kondisi lelaki itu semakin membaik. Suatu hari dia terbangun dan merasa sehat. Dia menepuk perutnya dan beranjak dari tempat tidur, mengambil napas dan kemudian berjalan ke arah pintu.

Kau mau kemana? tanya sang istri.

Berjalan-jalan, jawab lelaki itu. Aku merasa sangat baik.

Lelaki itu berjalan ke luar rumah. Hari itu adalah hari yang cerah dan dia bisa merasakan kesejukan udara dan melihat gumpalan awan-awan dan mendengar kicauan burung-burung dan segalanya tampak sangat indah.

Namun sesaat kemudian, laki-laki itu mulai merasakan ada yang berbeda. Dia mulai merasakan ada yang salah dengan dirinya. Dia mengernyit dan mengernyit, mencoba menemukan apa yang terjadi, dan sesuatu seperti menghantam perasaannya – batu itu  – batu itu telah pergi! Itulah mengapa dia merasa sangat hampa. Ada lubang besar di dalam dirinya.

Lelaki itu menyapu keningnya, memicingkan mata, menggeliat.

Dan perasaan hampa itu semakin menjadi-jadi.

Dalam kepanikan lelaki itu berlari ke arah lapangan tempat dia menemukan batu tersebut beberapa waktu yang lalu. Dia melihat ke sekitar, melemparkan pandangannya, ke penjuru lapangan, ke manapun, menekuri tiap jengkal tanah, berputar-putar.

Batu yang lain akan membuatku merasa baik kembali, pikirnya. Batu lain akan menjadi apa yang aku butuhkan.

Tapi dia tampaknya tidak bisa menemukan batu yang serupa dengan miliknya tempo hari. Tidak ada satu pun yang menarik minatnya.

Oh, di sana ada banyak batu, tentu saja, tapi batu-batu itu tampak kusam dan dekil dan dipenuhi kotoran. Tidak ada satu pun yang tampak indah baginya.

Lelaki itu akhirnya menelan beberapa batu tapi tidak menimbulkan reaksi apa-apa.

Apa yang harus aku lakukan? tanya lelaki itu. Bagaimana aku bisa hidup seperti ini?

Dan dia pun tersentak, dan dia berhenti mencari dan berlari kencang.

Batuku! Di mana batuku? tanyanya.

Lelaki itu berlari dengan kalut menuju ke rumahnya.

Di mana batu itu? dia berteriak.

Batu apa? tanya sang istri.

Batu itu! teriaknya lagi. Batu itu! batu itu! batuku!

Oh, ucap sang istri. Itu di belakang. Batu itu sangat berat untuk dibawa sejauh ini.

Lelaki itu bergegas ke belakang. Di sanalah benda itu berada – batu itu! di salah satu sudut di halaman belakang rumahnya.

Lelaki itu berlari ke arah batu tersebut. Dia berlutut di sampingnya.

Dia memeluk batu itu dengan kedua lengannya.

Dia mengusap seluruh permukaan batu itu. Dia menggosokkan wajahnya di permukaan batu itu. Batu itu sangat besar untuk ditelan, tentu saja, tapi dia tetap memeluknya dengan erat, menekannya ke dada.

Oh batuku! katanya. Bagaimana bisa aku menjadi begitu bodoh? Dan bagaimana bisa saat ini aku merasa begitu hampa?

Dan kemudian lelaki itu mendengar sebuah suara, dan batu itu pun retak dan menganga.

Lelaki itu hanya bisa terperangah di depan mulut batu yang gelap dan lapar. []
Sumber :
Ben Loory (lahir tanggal 11 Juli 1971) adalah penulis cerpen berkebangsaan Amerika. Beberapa buku yang ditulis antara lain, Stories for Nighttime and Some for the Day (Penguin, 2011) dan Tales of Falling and Flying (Penguin, 2017). Dia juga menulis buku anak, The Baseball Player and the Walrus (Dial Books for Young Readers, 2015). Cerpen Loory sudah tersiar di beberapa media antara lain The New Yorker, Tin House, Electric Literature, and Fairy Tale Review, dan telah diperdengarkan pada This American Life and Selected Shorts. Loory berdomisili di Los Angeles dan mengajar kelas penulisan cerpen di UCLA Extension Writers’ Program.