Tuesday, November 14, 2017

Acceptance


Apakah akan ada relevansi antara judul dengan isi tulisan saya nanti?  Entahlah,  tapi ingin sekali menuliskan acceptance itu sebagai judul πŸ˜€πŸ˜€




Saya sudah ingin menulis ini beberapa hari yang lalu.  Tapi,  yah begitulah....

Jadi ini adalah sebuah perubahan yang terjadi dalam diri saya. Saya tidak berubah jadi sailor moon atau spiderwomen dalam hal ini. Perubahan saya sederhana sekali dan cenderung tidak tampak. Saya hanya berubah menjadi lebih tenang dalam menghandle emosi saya.

Saya percaya energi, apapun bentuknya,  positif maupun negatif akan menular. Saya juga percaya seorang anak dapat merasakan energi yang memancar dari tubuh ibunya. Itulah mengapa kalau makemak lagi galau biasanya anaknnya rewel.  Anak rewel mak tambah galau.  Mak makin galau anak makin rewel.  Jadi efek bola pingpong yang tidak akan ada selesainya.  Yang ada Mak sama Anak capek sendiri dimangsa oleh energi negatif.

Sebelum ini saya menghadapi Ahmad,  anak lelaki saya yang berumur 2.5 tahun dengan energi negatif yang meluap-luap. Ketika jam pulang kantor tiba saya sudah lelah duluan memikirkan harus menghadapi Ahmad dengan keaktifan khas anak kecil yang serasa tak pernah ada capeknya. Kalau pulang kantor dia sudah tidur rasanya saya lega banget.

Begitupun saat bangun di pagi hari.  Berkejaran dengan waktu untuk tiba di kantor on time sementara keperluan Ahmad lumayan banyak yang harus diurusin. Akibat kurang bisa menghandle emosi,  saya kerap mencubit Ahmad kalau dia mulai bertingkah kelewatan.

Baca :


Saya selalu merasa lelah.  Ibu macam apa saya ini sebenarnya.  Banyak mengeluh dibanding bersyukurnya?

Lalu kemudian suatu hari,  saya mulai merasa ada jarak yang begitu renggang antara saya dan Ahmad.  Tiap kali bilang "Sayang Ibu dulu"  Ahmad terang-terangan menolak.  Kalau saya yang nyosor cium,  dia akan mengelap pipinya.  Duh,  sakit banget hati hayati.  Terlebih kalau Ayahnya yang minta cium Ahmad mau-mau aja.  Hiks.. Hiks..

Lalu saya berpikir tentang konsep energi menular ini.  Saya coba menata hati saya beberapa jenak sebelum pulang kantor. Saya tanamkan dalam pikiran saya bahwa saya rindu dan ingin bermain-main dengan Ahmad sepulang kantor.

Saya pulangkan memori saya yang merekam ekspresi serta tingkah polah lucunya.  Kemudian saya berjanji untuk tidak akan memarahi,  membentak apalagi mencubit jika dia melakukan kesalahan-kesalahan.  Sebisa mungkin saya harus menahan diri.

Alhamdulillah,  ketika sudah mulai menata hati,  saya bisa menghadapi Ahmad dengan lebih tenang.  Kalau dia main air sampai tumpah membasahi lantai saya akan mengepel lantai itu sambil ngomong dalam hati 'lumayan keringatan malam-malam ngepel.  Hitung-hitung olahraga'.  Kalau dia minta ditemani main lempar tangkap saya juga akan berpikir "lumayan nih olahraga." Saya mencoba untuk tetap bersikap positif.
Saya selalu meladeni Ahmad dengan segala gerak gerik gesitnya hingga tak jarang saya yang ketiduran duluan lalu dia akan menyusul tidur di samping saya atau akan ke kamar Omanya. 

Di pagi haripun demikian. Jika biasanya saya ngomel-ngomel sambil memohon agar Oma saja yang mandikan Ahmad,  sekarang saya berusaha memandikan dia. Sambil sekalian saya juga mandi. Saya menanamkan dalam pikiran saya bahwa mandi bersama ini bisa jadi salah satu sarana bonding.

Belum terhitung sebulan saya melakukan perubahan kecil ini namun dampaknya begitu nyata terlihat.  Ahmad sudah biasa menyium saya ketika saya minta.  Ahmad akan menyodorkan pipi tembemnya dengan sukarela tanpa perlu saya sosor. Kadang-kadang dia lebih memilih saya dibanding Ayah atau Omanya. 

Saya ingin terus berada dalam atmosfer yang seperti ini. Ujung-ujungnya acceptance - penerimaan ini memang harus benar-benar dijalani. Ketika belum menikah dulu saya bisa saja main kesana kemari.  Balik kos untuk tidur saja.  Bermalas-malasan dan bangun pagi kalau ada kelas saja.  Dulu waktu belum punya anak saya mungkin bisa kencan sama suami kemanapun jam berapapun tanpa kepikiran ada yang ditinggalkan di rumah,  ataupun kalau Ahmad dibawa, kepikiran kalau kemalaman bisa masuk angin.

Penerimaan demi penerimaan akan membuat kita lebih ikhlas menjalani peran sebagai istri atau pun ibu,  atau apapun peran yang sedang kita lakoni saat ini.  Ketika sudah ikhlas maka energi positif akan memancar dari diri kita dan percayalah bahwa hal itu bisa sangat mempengaruhi lingkungan kita.

Cmiwwww πŸ˜€πŸ˜€πŸ˜€

Saturday, November 4, 2017

Ketika Si Pengeluh Insaf

Saya adalah orang yang pandai mengeluh. Ada-ada saja hal yang bisa jadi bahan keluhan. Keharusan bangun sepagi itu,  jalanan yang begini macet,  jam absen di setel menjadi lebih maju dan saya kerap terlambat beberapa detik,  tangga lantai satu ke lantai dua yang sepertinya didesain tidak ergonomis sehingga bikin sakit pinggang,  tata letak komputer di atas meja yang tidak pas.  Dan so on.  Tapi sepertinya daritadi keluhan saya seputar kantor πŸ˜‚


credit



Lalu ketika jam istirahat siang dan kebetulan saya makan di luar,  saya melihat ibu-ibu menggandeng anaknya yang berseragam sekolah berjalan santai di trotoar.  Barangkali dia habis menjemput anaknya lalu mereka berjalan-jalan dulu sebelum pulang ke rumah. Di mana letaknya keadilan saat ibu-ibu itu jalan santai sementara saya harus buru-buru membayar makan karena sebentar lagi jam satu? 

Saya adalah manusia yang pandai mengeluh lalu entah bagaimana awalnya hal itu terjadi hingga sekarang kalau mau mengeluh saya merasa sedikit malu.  Malu pada diri sendiri. Malu pada orang lain. Keisengan saya dan sikap sok akrab saya ternyata kadang-kadang membawa hal positif.  

Jadi, suatu ketika ada satpam baru di kantor yang kebetulan ditugaskan menjaga di lantai tempat saya bertugas. Masih muda, sepertinya seumuran. Saya dengan sikap sok akrab mulai tanya-tanya asalnya,  kerja di sini sejak kapan,  berapa gajinya.  Kurang ajar kan tanya-tanya gaji orang.  πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Entah karena Abang Satpamnya ini polos atau karena memang dasarnya baik hati dan jujur dia bilang bahwa dia satpam magang.  Baru kali itu kerja di kantor saya, kebetulan karena satpam seniornya pindah tugas.  Dan karena belum jadi karyawan tetap dia dibayar harian. Kalau tidak salah ingat dia menyebut angka Rp. 75.000,-/ hari. Saya cepat mengkalkulasi di kepala.  Rp. 75.000,- kali 20 hari kerja Rp. 1.500.000,- Itu dengan catatan kalau dia belum terganti dengan satpam tetap. 

Dia menceritakan itu dengan mata berbinar. Berulangkali mengucapkan sukur. Hal itulah yang sepertinya menjadi momentum dari kesadaran saya πŸ˜… (yang terlambat ini). 

Kita kerap berjalan sambil sibuk mendongak ke atas. Membanding-mebandingkan keadaan dengan orang lain yang lebih dari kita memang takkan ada habisnya.  Mengeluh itu pekerjaan yang sama mudahnya dengan melamun.  Gampang sekali dikerjakan. Tapi sedikit manfaatnya. Tapi,  hei,  sudahkah kamu menengok tukang sapu jalan yang harus bekerja sedemikian pagi untuk memungut sampah yang kau buang sembarangan? Sudahkah kamu menengok cleaning service yang mengepel lantai untuk kemudian kau injak lagi? Pernahkah kamu membayangkan sehari saja menjadi bapak-bapak tua yang menjajakan makan  siang di kantor?  Mereka semua itu melakukan pekerjaannya dengan ikhlas dan penuh kerelaan namun mengapa kamu tidak? 

Di atas sesungguhnya rentetan pertanyaan bagi diri saya yang pandai mengeluh. Bahkan Tuhan pun sudah berfirman, "Mintalah, maka akan kuberi." Kalau merasa lelah dan kesusahan sebaiknya kita kurangi keluhan dan perbanyak berdoa.  

Duh,  bijak banget tulisan saya. Sudah ah... 

Wednesday, October 4, 2017

Tentang Cinta Saya yang Dalam pada Tere Liye dan Eka Kurniawan.


Suatu ketika di akhir tahun 2015 saya melihat pengumuman sayembara menulis cerita anak islami yang diadakan oleh Pro U Media. Penerbit yang secara masif mengeluarkan buku-buku bacaan bernuansa religius. Dengan tidak ada maksud apapun selain ingin agar suatu saat nanti anak saya bisa saya dongengi dengan buku bacaan yang di dalamnya ada nama saya, sebut saja ini desakan naluri keibuan, maka saya disela-sela waktu antara pulang kantor yang larut dan jam tidur yang terasa tak pernah cukup,  mencoba untuk mengikuti sayembara itu. 


credit


Suami saya pesimis. Ia tahu saya hobi menulis dan sangat tergila-gila dengan buku bacaan,  tapi ini kompetisi tingkat nasional dan saya belum pernah menulis cerita anak sebelumnya,  yang Islami pula. Waktu itu dia menyuruh saya untuk tidur alih-alih menyelesaikan naskah saya. Dan saya memang tertidur dengan ponsel pintar dalam genggaman.  Aplikasi note terbuka. Naskah yang belum rampung. 

Awal tahun 2016 saya dinyatakan menjadi salah satu pemenang.  Hadiahnya bisa buat traktiran di Pizza Hut enam kali,  voucher belanja buku yang bukunya belum pula habis saya baca hingga saat ini,  belum lagi diundang untuk menerima penghargaan di acara Islamic Book Fair di Jakarta.  Tebak siapa yang menangis ketika membaca nama saya di pengumuman hasil lomba,  Juara 2 dari 2000 naskah yang masuk,  tak lain tak bukan suami saya.  Hahahah. 

Mengenai undangan menerima penghargaan itu saya tidak bisa pergi karena urusan pekerjaan yang cutinya ribet, jadi saya minta adik saya yang kebetulan saat itu kuliah di Bandung untuk mewakili.  

Tahun 2017 saat lebaran haji, adik saya satu-satunya itu mudik. Lalu kami bercengkrama dengan topik yang begitu random kemudian dia bercetus,  "Kemarin waktu terima penghargaannya Kak Na yang juara diundang sampai belakang panggung. Di sana ada Tere Liye dan Ustadz Salim A.  Fillah.  Mereka kasih Yono semangat untuk terus menulis. Mereka kira Yono yang menang lomba."  Lalu adik saya itu dengan entengnya tertawa terbahak-bahak. 

Apa?!  Ada Salim A.  Fillah dan Tere Liye? Saya bertanya apakah dia sempat foto bersama mereka? Adik saya menyahut ringan,  "Nggaklah.  Ngapain?"  Lalu saat itu ingin sekali saya jitak kepalanya. 

Saya jadi menyesal tidak berusaha datang ke acara tersebut.  Kalau datang saya akan minta foto bersama Tere Liye dan Ust. Salim.  Lalu itu pasti akan menjadi sesuatu yang dikemudian hari memicu semangat saya untuk terus menulis.  Karena saya mencintai tulisan-tulisan mereka. Pernah mencintai. 

Pernah suatu ketika saat SMA saya membeli buku berjudul "Nikmatnya Pacaran Setah Pernikahan"  yang ditulis oleh Ust.  Salim dan diterbitjan oleh Pro U Media.  Saya ingat sekali saking sukanya dengan buku itu saya sampai baca 2 kali.  Saya tidak tahu siapa itu Ust.  Salim dan saya tidak familiar dengan perusahaan penerbitan manapun. Bertahun-tahun kemudian saya memenangkan sayembara dari Pro U Media dan berkesempatan bertemu Ust.  Salim. Lihatlah bagaimana semesta telah memberi tanda. 

Saya pernah begitu mencintai buku-buku Tere Liye.  Suatu ketika saat pulang ke Manado di tengah libur semesteran dan adik saya kebetulan juga pulang, dia membawa koleksi Tere Liye dan saya ingat bagaimana saya jatuh cinta pada Sunset Bersama Rossie

Jauh sebelum itu saya dan adik saya adalah penggila komik Doraemon,  Conan,  One Piece,  Cerita Rakyat,  Cerita Nabi dan Rasul maupun dongeng-dongeng 1001 malam. 

Waktu SMP saya pembaca Mira W yang setia, takjub dengan Buya Hamka, terperangah dengan Sutan Takdir, mengoleksi Goosebumpsnya R.L Stine,  Trio Detektif,  Lima sekawan, serta menyicil membaca Harry Potter. 

SMA saya diwarnai dengan teenlit dan chicklit. Nama yang paling saya ingat adalah Ken Terate. 

Saat kuliah saya menghabiskan waktu dengan Andrea Hirata sama lamanya dengan rapat himpunan Teknik Mesin yang saya ikuti.  Tetralogi Twilight, Asma Nadia, Kang Abik juga bergantian nangkring di bawah bantal saya.  Saya terbiasa membaca sampai tertidur.  Kala itu sesekali membaca Ninit Yunita serta 5 CM. 

Saat mulai bekerja adik saya meracuni saya dengan biografi Muhammad-nya Tasaro GK.  Petani satu itu berhasil meramu buku biografi yang semestinya membosankan menjadi bacaan seasik Harry Potter.  Saya tidak bercanda dan saya terpukau. 

Saat kerja saya juga mulai membaca Ika Natassa dan jatuh cinta berulang kali karena merasa senasib. Ika Analis Kredit dan hobi menulis seperti saya.  Tapi dia bisa membagi waktunya dengan baik antara mencari prospekan dan menulis buku sementara saya mencari prospekan saja keteteran 😭😭.   Saya telah membaca seluruh buku Ika kecuali Underground yang diterbitkan indie.

Baca :

Balada Analis Kredit

Kemudian suatu ketika teman saya yang baik hati bernama Kunca memperkenalkan saya dengan Eka Kurniawan dan saya tergila-gila seketika.  Saya telah membaca seluruh buku Eka kecuali O dan Corat-coret di Toilet karena belum saya temukan keberadaannya di Gramedia Manado. Sesekali saya juga membaca kumpulan prosanya Dee Lestari. 

Tahapan kehidupan yang paling saya syukuri adalah masa kuliah karena di sanalah saya bertemu dengan suami saya yang tidak suka membaca dan lebih suka nonton Moto GP. Tahapan kehidupan yang paling saya sesali juga adalah masa kuliah karena tidak bergabung di UKM Sastra Unhas atau FLP ranting Unhas. Kenapa saya tidak gabung ya?  Itu masih menjadi misteri bagi saya hingga saat ini, karena kalau gabung barangkali saya akan mengenal Faisal Oddang secara personal dan bukannya lewat maha karya nya saja πŸ˜‚. 

Mengenai Faisal Oddang yang kurang ajar banget prestasinya di dunia sastra ini juga adalah hasil ngobrol dengan Kunca yang sambil lalu bilang soal pertunjukan boneka apalah itu yang mementaskan salah satu cerpen yang ditulis mahasiswa Unhas. Judul cerpennya 'Di Tubuh Tara dalam Rahim Pohon' . Dari situlah kekepoan saya pada Oddang meningkat.  Saya membaca Puya ke Puya lalu merasakan cinta yang sama yang muncul ketika saya bersama Eka. Ihik. 

Untuk menebus rasa bersalah saya,  maka saya sekarang aktif bergabung dalam komunitas-komunitas menulis online. Sebut saja KBM,  LRF,  CK,  Poncer, ODOP. Dari yang genrenya POP,  realis, surealis,  sastra koran,  reliji,  fiksi mini. Semuanya saya babat saja.  Saya haus akan ilmu kepenulisan ini. 

Saking  banyaknya komunitas menulis yang saya ikuti,  saya mulai merasa terkadang perbedaan genre ini membuat para penulis saling terkotak-kotak.  Ada yang menganggap Tere Liye bukan sastrawan karena konon katanya yang dia tulis bukan sastra dan memandang sebelah mata kepada Andrea Hirata.  IKa Natassa kalau tidak salah pernah tersinggung karena genrenya yang metropop itu tak diakui dalam dunia kepenulisan oleh beberapa orang tapi toh dia adalah bintang tamu di MIWF.  Ada apa?  

Ketika berada dalam suatu komunitas menulis lalu orang-orang mulai berbicara buruk tentang Tere Liye,  maka saya sakit hati karena saya pernah mencintai Tere Liye sedalam cinta saya kepada Eka Kurniawan. Kalau sekarang saya tidak membaca Tere,  bukan berarti saya telah membencinya tapi lebih kepada kondisi yang sudah berubah saja.  Saya adalah Ibu satu anak.  Saya tidak suka lagi membaca hal-hal yang berbau cinta-cintaan antar lawan jenis seperti jaman kuliah dulu. Eka Kurniawan menghadirkan cerita yang lebih kompleks daripada sekedar cinta yang tak sampai;  seperti manusia yang bangkit dari kubur ataukah kemaluan yang tidak bisa tegak karena trauma πŸ˜‚πŸ˜‚

Saya mencintai Buya Hamka sedalam cinta saya kepada Kang Abik.  Saya mencintai Ken Terate sedalam cinta saya pada Ika Natassa.  Saya gemar mengoleksi Eka Kurniawan seperti mengoleksi Raditya Dika. Saya pengagum Ust. Salim dengan kadar yang tak kurang daripada kekaguman saya pada Merry Riana. 

Waktu SMP dulu saya membaca Buya Hamka dan sekarang saya membaca Pidi Baiq apakah saya lantas mengalami kemunduran dalam hal selera?  Bagi saya tidak! Dan ketika anak saya besar nanti saya akan membebaskannya dalam memilih buku apa yang akan dibacanya seperti saya akan membebaskan dia dalam menentukan cita-citanya. 

Bagi saya menulis adalah perihal keberanian.  Berani menuangkan apa yang ada dalam isi kepala.  Dan saya menaruh rasa hormat yang sama pada semua penulis yang namanya tercetak pada sampul buku yang berjejer rapi di toko buku,  toko online, Wattpad atau pun toko loak. Yang namanya ada di koran,  tabloid atau pun majalah. Mereka semua adalah penulis baik dan buruknya,  kurang dan lebihnya. Mereka semua adalah manusia-manusia yang hati dan isi kepalanya bergejolak lalu tinta dan keyboardnya konsisten menari- nari. 

Maka kalau anak saya besar nanti lalu menanyakan rekomendasi buku yang sebaiknya dia baca, saya tinggal menunjukkan rak buku saya.  Di sana ada buku-buku koleksi Ibu dan Pamannya.  Dia bisa membaca yang mana saja sambil nonton Moto GP bersama Ayahnya, tanpa doktrin dan dogma sebaiknya membaca ini dan jangan baca anu. Semoga Valentino Rosi diberi umur panjang. Amin. 

Kantor,  jam istirahat. 

Saturday, September 16, 2017

Seni Meringkas

Semua orang menginginkan kesederhanaan dalam hidupnya. Sederhana dalam arti tidak ribet, riweh, belibet, kusut, crowded dan sinonim kata lain yang menggambarkan kesemerawutan. Marie Kondo dengan metode KonMarinya berungkali menekankan pentingnya untuk membuang barang-barang yang menyesakkan rumahmu dan hanya mengijinkan barang-barang yang menimbulkan persaan bahagia saja yang berada di sekitarmu. Dia menyebutnya 'sparks joy'. Kurang lebih dapat saya artikan sebagai barang-barang yang dengan hanya melihatnya saja dapat memancarkan kebahagiaan. 😍😍

Silahkan baca postingan sebelumnya :


Saya adalah tipikal orang yang tidak rapih, tapi ingat kata Marie, tidak ada orang yang tidak bisa rapih di bumi ini. Jadi saya optimis. Heheh. 

Di hari-hari kerja rutinitas saya setelah bangun tidur adalah mandi dan berdiri di depan meja rias. Sebenarnya saya pun bukan orang yang berangkat kerja dengan make up komplit. Ritual di depan meja rias itu adalah membersihkan wajah, memakai lotion wajah, memakai bedak, terakhir memakai lipstick. Tapi karena meja saya berantakan banget, saya kesulitan mencari barang-barang yang saya butuhkan. Ujung-ujungnya waktu saya lebih lama habis untuk mencari make up yang saya butuhkan dibanding mengaplikasikan make up itu di wajah. Kalau kebetulan bangun agak kesiangan, maka saya akan tergesa-gesa lalu stres sendiri.

Sebenarnya bangun tidur dan meihat meja rias berantakan itu sudah memicu stres. 

Begini penampakan meja rias saya





Nah, dengan menerapkan istilah 'sparks joy' maka saya mencoba untuk menyingkirkan benda-benda yang tidak saya butuhkan setiap hari. Sparks joy dalam kasus meja rias  saya bukanlah benda yang menimbulkan kebahagiaan, karena saya tidak pernah suka alat-alat make up, melainkan benda-benda yang saya butuhkan di keseharian saya. Jadi saya mulailah pilah pilih lagi. Blush on, mascara, eye liner, eye shadow yang tidak pernah saya pakai kecuali ketika saya ke pesta saja saya singkirkan. Obat-obatan, handsanitizer, krim-krim tidak jelas yang entah kenapa ada di meja rias saya singkirkan juga. Tidak dibuang, melainkan dipindah tempatnya dan akan digunakan ketika dibutuhkan saja.

Penampakan meja rias saya setelah KonMari.




Kelihatan tidak sih bedanya? πŸ˜…
Barang-barang yang awalnya menyesaki meja rias saya pindahkan ke lemari lain.

Jika kamu tengah membaca membaca Marie Kondo dan berniat total menerapkannya dalam hidupmu, maka kamu harus benar-bebar punya ilmu tega. Barang-barang dari masa lalu yang masih kamu simpan atas nama kenangan tidak memiliki tempat lagi dalam metode berbenah ini.


Ngapain ya saya masih simpan disket yang entah apa isinya dan rekaman kegiatan sewaktu SMA yang entah bagaimana cara putarnya ini ? Singkirkan!




Bayangkan! Saya masih menyimpan manual book dari token yang sekarang sudah tidak bisa berfungsi karena bank nya sudah beralih ke mobile banking. Halah...




Diktat-diktat ataupun materi seminar yang masih disimpan dibuang saja. Marie Kondo bilang buku-buku materi seminar itu pasti tidak akan pernah lagi dibuka di rumah jadi untuk apa dibiarkan menyesaki lemari atau meja. Musnahkan!

Jadi, hiduplah hanya bersama barang-barang yang menimbulkan kebahagiaan lagi kau butuhkan πŸ˜„

Sunday, September 10, 2017

Mereka Berkisah Tentang Lelaki Tua yang Berbaring di Atas Salju

Tatyana selalu menyukai salju, bahkan ketika suhu menurun drastis menyentuh minus 20 derajat. Tatyana akan merangsek di ketiakku dan membiarkan rambutnya menari-nari di wajahku, beberapa helai akan menggelitik lubang hidungku. Rambut Tatyana beraroma lily sejak pertama kali aku mengenalnya.



"Aku akan membuat api di tungku dan menaruhnya di samovar." Tatyana selalu bersemangat ketika salju mulai turun. Di awal pernikahan kami ia merayakannya dengan menyalakan tungku dan memastikan samovar kami tidak pernah kehabisan teh panas beraroma melati. Ia juga akan membuat kue jahe tula dengan resep yang diwariskan oleh neneknya. Rumah kami hangat bahkan saat di luar sana salju sudah menumpuk 16 inchi.

Ketika Moskow mengalami urbanisasi dan anak-anak tumbuh remaja, tungku kami berubah menjadi pengahangat ruangan yang praktis, tetapi Tatyana masih saja suka menelusup di ketiakku. 

"Aku tidak bisa menemukan kehangatan yang seperti ini, Sergey," ujarnya ketika aku mulai protes karena saat dia meringkuk di ketiakku maka praktis tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain membelai rambutnya.

Pernikahanku berumur 43 tahun saat Tatyana menyerah pada kanker. Sudah 3 kali musim dingin kulalui tanpanya. Tidak ada teh melati, tidak ada kue jahe tula, tidak ada aroma lily lagi. 

Aku sempat melihat ke arah termometer yang menunjukkan minus 10 derajat tadi pagi. Anak-anak kami sudah dewasa dan meninggalkan rumah. Mereka hanya akan datang beberapa kali dalam setahun. Di saat-saat seperti inilah kerinduanku pada Tatyana membucah. Di saat-saat salju turun seperti ini. 

Aku melihat kepingan salju meluruh satu-satu dari langit pekat. Kenangan tentang Tatyana yang berlarian mengejar Ivan untuk disuapi makanan berkelebat, kenangan saat Tatyana memeriksa kue jahe di oven dan Igor menggelayut di kakinya melintas, kenangan tentang air mata yang menderas dan membuat hidungnya merah, kenangan tentang perlengkapan minum teh kesayangannya yang kubanting hingga lantak di lantai. Ia memergoki perselingkuhanku dan aku marah.

Aku marah pada gadis berambut merah berpipi montok yang membuatku jatuh cinta sedemikian gila tapi tidak bisa membuat teh senikmat Tatyana, aku marah pada waktu-waktu di mana Tatyana mendiamkanku dan memunggungiku di tempat tidur, aku marah atas kesabarannya menghadapiku. Aku marah karena anak-anakku tetap melihatku sebagai ayah paling baik di muka bumi. Tatyana menggerogoti amarahnya seorang diri dan aku sibuk marah pada diriku sendiri.

Tentang tahun-tahun yang berlalu tanpa tubuh Tatyana yang menelusup ke ketiakku, tentang kebesaran hati yang memaafkan perselingkuhan, tentang kesempatan kedua yang ia berikan, tentang pilihannya untuk tetap bertahan dan menyelamatkan masa depan anak-anak kami dari perceraian orang tua mereka. 

Tahun-tahun yang tak pernah sama lagi dalam pernikahan kami. Aku dengannya seperti dua orang asing ketika berpapasan di ruang makan. Tatyana dengan jelas menunjukkan betapa ia bergidik saat tanganku tak sengaja menyenggol lengannya di dapur. Tapi sedetik saja ia bisa berubah. Seperti matahari yang melelehkan salju. Ia akan menghangat dan memeluk mesra tubuhku saat Igor dan Ivan telah bersiap di meja makan. 

Kalau ada yang bisa membuat Tatyana kembali seperti dulu, itu adalah kanker. Kanker yang menggerogoti tubuh rupanya juga telah melunakkan hatinya. Ia kembali menelusup di ketiakku saat musim dingin tiba setelah dokter memberinya vonis stadium 4.

"Aku tahu kanker ini cepat atau lambat akan membunuhku. Aku benci padamu, tapi aku tidak ingin mati tanpa mengingat bagaimana hangatnya tubuh suamiku." Aku diam dan membelai rambut Tatyana yang tetap menguarkan aroma lily meski telah berwarna seperti salju. Ia meninggal dalam dekapanku. Menyisakan lubang menganga di hatiku.

Tatyana dan salju adalah kehangatan yang pernah pergi. Aku merasakan musim dingin menahun saat Tatyana menghukumku. Aku memejamkan mata lalu lamat-lamat mendengar suara Ivan berteriak, "Ayah, apa yang kau lakukan dengan berbaring di atas salju seperti itu?"

Mereka sudah datang untuk merayakan tahun baru. Anak dan cucu kami.

Thursday, August 31, 2017

Aye Lwin dan Wajah Ibu

Aku mengusap air mata yang jatuh di pipi Ibu. Kulit coklatnya memantulkan cahaya jingga dari sang surya yang berpendar malas. Aku ingin bilang jangan menangis, tapi aku tidak tahu bagaimana cara membahasakannya. Anak umur tiga tahun belum bisa mengatakan itu.
"Sayangku, sayangku. Ibu menyayangimu, Nak." Ibu menyiumi ubun-ubunku. Rasanya geli tapi menyenangkan.

"Ayo pulang, Bu.  Aye haus. Mau minum."

Ibu tidak menjawab dan malah lebih kencang menangis. Ia menahanku agar tidak berdiri dari tempat persembunyian kami, di semak belukar, jauh di dalam hutan.

"Kita di sini dulu, Aye." Ibu berbisik.

"Di mana perempuan dan anaknya itu?!" Sayup-sayup aku mendengar suara orang berteriak. "Cepat cari dan bunuh!"

"Aye, dengarkan Ibu. Aye harus berdoa. Ibu sudah ajarkan doa untuk orang tua kan? Aye ingat kan? Ibu juga sudah ajarkan doa sapu jagad. Aye bisa baca?"

Aku mengangguk lalu merapal doa-doa yang diajarkan Ibu selepas solat hingga seseorang laki-laki menghampiri kami, "Ini dia! Mereka di sini!"

Laki-laki itu menyeret Ibu keluar. Aku mengekor sambil menangis, "Ibu!Ibu!"

Mereka menjambak rambut Ibu, menyulut api di tubuh Ibu seperti ketika mereka membuat rumah-rumah di kampung kami terbakar.

"Ibu!!!" Aku melengking seperti anjing. Bau daging hangus masuk ke dalam lubang hidungku.

Jangan sakiti Ibuku! Ia selalu menyuruhku membaca doa sapu jagad, mendoakan orang-orang di dunia masuk surga. Jangan bakar ibuku! Aku ingin beteriak, tapi anak 3 tahun tidak berbicara seperti itu.

"Siapa anak ini? Dari Bengali?" Salah satu dari mereka bertanya.



Aku ingin bilang namaku Aye Lwin dari Rakhine, tapi batang kayu orang itu lebih dulu menghantam kepalaku. Lalu yang kulihat hanya gelap dan wajah Ibu.

Wednesday, August 23, 2017

Metode KonMari untuk Membenahi Hidupmu yang Berantakan

Percaya tidak kalau semalam saya tidur jam 2 pagi? Kenapa tidur selarut itu? Tolong jangan ditanyakan karena itu bisa memancing emosi saya. Hahahah. Kidding. 

Jadi, saya sudah lama ingin membuat tulisan ini. Tulisan tentang Metode KonMari. Apa itu metode KonMari? Metode KonMari adalah metode merapikan rumah, kantor, kamar, apartement, whatever you may call yang berantakan (sayangnya belum ampuh untuk merapikan masa depan πŸ˜…πŸ˜…) yang dicetuskan oleh seorang wanita berkebangsaan Jepang bernama Marie Kondo. KonMari itu singkatan dari nama dia. Kemudian dia menyebut profesinya ini sebagai Konsultan Berbenah.

Hah? Beberes saja butuh metode macam bikin skripsi? Iya lah! Ngana pikir? Berbenah itu adalah seni. kalau habis berbenah lalu berantakan lagi berarti tabiatmu yang perlu dibenahi! Hahha πŸ˜…πŸ˜…. Aduh, makin ngelantur.

Jadi, singkat kata saya menemukan sebuah postingan yang menyinggung-nyinggung soal KonMari ini dan sangat antusias untuk membeli bukunya. Saya lupa linknya mana. Tapi jauh sebelum itu ternyata sohib saya yang seorang crafter mantan banker yang bernama Kunca itu juga pernah menulis tentang ini di blognya. 

Baca : 


Dewi Lestari pun pernah mengulas tentang KonMari.

Baca :


Konon, metode KonMari ini sudah mendunia sehingga dijadikan istilah dalam Bahasa Inggris.

"Girl, you have to kondonize your room."

"Rrr...maybe I should kondonize my office."

See, seperti istilah googling yang merujuk ke kegiatan mencari-cari lanjaran dari suatu ulasan (berat banget bahasanya...πŸ˜…), maka Kondonize ini merujuk ke kegiatan merapikan dengan menggunakan metode KonMari.

Kalau googling kata KonMari maka banyak sekali artikel dan video yang mengulas tentang ini. Nah, berhubung saya lebih suka baca buku daripada lihat videonya maka saya berusaha untuk memperoleh buku itu. Di Gramedia Manado tidak ada jadi saya suruh adik saya carikan di Bandung. Alhamdulillah di Toga Mas ada seharga Rp. 40 rb-an lupa persisnya berapa.



Saya baru baca buku ini 21 halaman dan sudah buru-buru ingin menerapkan metodenya karena hidup kamar saya berantakan sekali. Saya memang tipikal orang yang tidak rapi, tapi Marie Kondo bilang tidak ada orang yang tidak rapi. Kerpihan sudah seperti fitrah manusia. Jadi pada dasarnya setiap orang memiliki bibit-bibit kerapian dalam dirinya.

Sejauh 21 halaman buku yang saya baca itu, beberapa poin penting yang saya peroleh adalah :

1. Rapikan rumahmu secera keseluruhan, jangan perbagian-bagian. Misalnya, hari ini rapikan kamar, besok rapikan dapur. Jangan! Lakukan secara sekaligus.

2. Cara untuk berbenah secara sekaligus adalah dengan cara mengkategorikan barang berdasarkan jenisnya bukan berdasarkan tempatnya. Misalnya, kategori baju, kategori buku, kategori dokumen, dsb. Bukan berdasarkan tempat seperti kategori barang-barang di lemari baju, kategori barang-barang di rak buku. Jangan!

3. Mulai pisahkan barang-barang yang sudah dikategorikan. Mana yang masih menimbukkan kebahagiaan ketika dipandang, simpan! Mana yang membuatmu merasa jengah, singkirkan! Harus tega!

4. Rapikan barang yang sudah kamu pilah pilih, susun secara vertikal, dimulai dari gradasi warna gelap ke terang atau sebaliknya.

5. Jangan menimbun barang! Kenang-kenangan, oleh-oleh, hadiah yang tidak pernah digunakan bahkan masih rapih terbungkus di kemasannya, singkirkan! Harus tega.

6. Jangan menyimpan barang-barang sampahmu, yang tidak berguna tapi sayang di buang di rumah orang tua.


Baru 21 halaman banyak banget ya materinya? Hehe. Tidak kok! Sebenarnya di 21 halaman itu masih menbahas awal mula Marie Kondo menemukan metode berbenah yang ampuh, tapi sebelum membaca buku ini saya sudah terlanjur googling-googling. 

Btw, saya langsung mempraktekkan metode KonMari namun tidak persis sama mengikuti langkah-langkahnya.

Untuk kasus saya, saya hanya merapikan kamar saya dikarenakan  masih tinggal bersana orang tua dan tidak ingin beliau kaget kalau saya ke dapurnya lalu membuang segala kontainer plastik, tuperwer, rantang-rantang, gelas dan piring kaca yang jarang dipakai, cenderung dikoleksi, karena saya anggap itu tidak berguna. Nanti Mama saya shock. Jadi, saya hanya menerapkan metode itu di kamar saya.

Langkah pertama adalah pilah pilih barang kategori baju. Saya lupa membuat foto before afternya tapi seperti inilah hasilnya.


Satu kantong baju yang tidak menimbulkan kebahagiaan berhasil disingkirkan. Ahmad pun ikut bahagia emaknya beres-beres.

"Tumben, Mak. Lagi kesurupan ya?" Tanya Ahamd. ,πŸ˜…



Saya berhasil menata kumpulan jilbab secara vertikal dan berdasarkan gradasi warna.





Baju yang digantung juga dijejer berdasarkan gradasi warna.
Kurang lebih tampilan lemari sata setelah dibenahi seperti ini.
Apa? Masih berantakan? Kamu bisa bayangkan bagaimana kacaunya lemari saya sebelumnya...πŸ˜†πŸ˜†





Target operasi selanjutnya adalah meja rias yang berantakannya naudzubillah.




Kendala yang dihadapi selama merapikan barang kategori baju adalah kantongan yang berisi baju-baju yang bikin jengah itu saya serahkan ke Mama saya, "Ma, ini kasih orang ya."

Lalu oleh Mama saya dibongkar lagi dan sebagian besar diambilin lagi dan dimasukin lemarinya, "sayang kan dikasih orang. Ini bisa mama pake."

Dalam hati, 'mau dipake ke mana? Lagian ukurannya kekecilan semua."

Mitigasi risiko (gile bahasa gueeeh!) yang dilakukan agar barang-barang itu bebar-benar berhasil disingkirkan dan bukannya hanya berpindah ke lemari nyokap adalah, berikutnya harus langsung di kasih ke orang lain yang lebih membutuhkan seperti disumbang ke panti asuhan.

Di bagian belakang buku ini tertulis bahwa dengan memiliki buku tersebut kita seperti sedang mengikuti kursus berbenah jarak jauh bersama Marie Kondo. Di Jepang seseorang harus menunggu 3 bulan untuk dapat mengikuti kursusnya, bahkan sekarang Marie harus membuat daftar tunggu untuk daftar tunggu.

Saya akan membuat label khusus di blog saya yaitu #MetodeKonMari (just in case kalian ingin melanjutkan membaca pengalaman saya menerapkan metode KonMari dalam berbenah) yang berisi ulasan poin-poin penting yang saya temukan sepanjang membaca buku tersebut supaya kita sama-sama paham dan syukur-syukur bisa menerapkan metode ini untuk membenahi apapun milik kita yang sedang berantakan.

Akhir kata.... Ciayoooo!!! 😊😊😊


Sunday, August 13, 2017

Seorang Pria yang diletakkan Tuhan di Teras Rumah

Pinterest



Tidak ada yang lebih mencengangkan daripada bangun di pagi hari dan mendapati pria misterius tergeletak di depan teras rumahmu. Bahkan, Ocha, kucing blasteran persia yang sensitif terhadap bunyi-bunyian pun sepertinya tidak menyadari hal yang aneh karena pagi tadi ketika aku bangun ia masih bergelung di telapak kakiku dengan pulas.

Lelaki dengan tuxedo hitam itu kini menyeruput dari cangkir yang masih mengepul. Aku berbaik hati membuatkannya kopi karena ia tampak linglung dan letih. 

"Jadi, kau benar-benar diturunkan oleh Tuhan begitu saja di depan rumahku untuk menjadi suamiku?" Aku bertanya dengan hati-hati untuk yang ke sembilan belas kalinya. Ia mengangguk.

Aku beranjak dari beanbag dengan jengah dan memandang ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 07.00. Satu jam lagi aku harus tiba di kantor. Tapi tidak dengan laki-laki yang entah siapa ini masih berada dalam rumahku.

"Aku tidak percaya dongeng seperti itu lagi," gumamku. Aku dulu percaya kalau seorang bayi bisa saja tidak dilahirkan oleh Ibu, melainkan dibawa oleh seekor angsa berparuh besar. Angsa yang sama menjatuhkanku di pekarangan sebuah panti asuhan dua puluh lima tahun silam.

"Aku tidak butuh kau untuk percaya bagaimana caraku bisa ada di depan pintu rumahmu. Aku hanya butuh kau percaya bahwa aku adalah yang terbaik yang dikirimkan Tuhan untukmu," ia meyahut. Senyum tersungging di bibirnya yang merah.

Aku memasang ekspresi-siapa-kau-berani-berkata-seperti-itu-seakan-kau-tahu-segalanya-tentangku?

"Kau harus pergi ke kantor sekarang kan?" tanyanya lagi. "Pergilah dengan tenang. Aku akan di sini ketika kau pulang nanti."

Aku menghambur ke kamar mandi setelah menimbang bahwa ia tidak mungkin bisa diusir dari rumahku begitu saja. Aku akan bersiap ke kantor dan dalam perjalanan akan singgah di kantor polisi untuk mengadukan tentang orang asing yang menerobos masuk rumahku. Menerobos? Kan aku yang mempersilahkan dia masuk. Ah, pokoknya aku harus ke kantor polisi secepatnya.

Setelah itu, aku akan memberitahu Kenzou. Ia harus cepat melamarku karena bisa saja pria asing tadi nekad dan memaksaku menikahinya.


#tantangankelasfiksimateri10

Wednesday, August 9, 2017

Review Dwilogi ; Papua Pergi, Jakarta Menghilang

Tulisan ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas ke 7 kelas fiksi One Day One Post. Pada tugas kali ini, setiap 'murid' diwajibkan mereview tulisan (dalam hal ini tulisan fiksi) 'murid' lain yang telah ditentukan oleh wali kelas. Nah, saya kebagian mereview tulisan Mbak Aara. Eh, mbak apa adek ya si Aara itu...πŸ˜…

Sebelum lanjut, boleh baca-baca pemikiran Aara di sini.


credit



Nah, Aara mengajukan sebuah cerita dwilogi (ceileh....πŸ˜†)dengan judul yang sangat menggugah rasa ingin tahu saya.





Membaca judulnya ekspektasi saya adalah sebuah cerpen dengan genre science fiction macam cerita Atlantis atau film 2012.

Membaca beberapa paragraf awal langsung sadar ternya ekspektasi saya meleset. Oh oke, ini semacam fabel. Aara menghidupkan benda-benda dan menjadikannya tokoh dalam dwiloginya. Tidak tanggung-tanggung  jadi tokoh utama adalah pulau-pulau di Nusantara.

Saya tidak tahu apa pertimbangan Aara sehingga yang menjadi tokoh utama adalah pulau Jawa dan Papua. Entah apakah keduanya terpisah begitu jauh secara geografis, perbedaan budaya yang begitu besar, pembangunan yang begitu jomplang.

Saat membaca Jakarta Menghilang, saya bisa menangkap jalan pikiran Aara. Ia menggambarkan penderitaan pulau Jawa yang selalu dilubangi tiang-tiang besi (analogi tiang pancang bangunan pencakar langit), terlebih di Jakarta. Penderitaan Jakarta yang begitu akut membuatnya memutuskan untuk memisahkan diri dari pulau Jawa dan menjadi pulau sendiri.

Namun ketika membaca Papua Menghilang, saya tidak bisa mengikuti jalan pikiran Aara. Kenapa Papua ingin pergi dari Ibu Pertiwi? Apakah ada kaitannya dengan iming-iming orang asing yang beberapa kali disebutkan dalam cerita?  Ketika membaca saya menduga-duga apakah Aara bermaksud menceritakan tentang gerakan papua merdeka yang ingin berpisah dari Nusantara? Ataukah ingin membahas tentang beberapa waktu setelah kemerdekaan di mana Papua Barat masih diduduki oleh penjajah yang konon kabarnya dikarenakan memiliki cadangan emas yang paling banyak di muka bumi? Ataukah Aara ingin menciptakan jalan ceritanya sendiri? Entahlah.

Dwilogi Aara cukup menghibur. Namun cara Aara bertutur sangat 'telling' not 'showing' . Saya seperti sedang mendengarkan dongeng pengantar tidur yang dibacakan oleh Ibu kepada anaknya.

Terdapat beberapa kata depan dan kata awalan 'di' yang tidak tepat. Antara lain 'diambil' yang Aara tulis 'di ambil'.

Hal lain yang mengganggu adalah, Aara menyebutkan bahwa Papua anak sulung dan mengulangnya dalam kaimat lain 'Papua, adik sulung...' mungkin Aara keliru menuliskan bungsu dengan sulung dalam beberapa kalimatnya.

Kesimpulan :

+ Judul menggugah
+ Ide  cerita sangat brilliant

- kurang showing, cenderung telling.
-EYD agak berantakan.
-eksekusi kurang mantap.

Tuesday, August 1, 2017

Sahabat Drakula


credit


"Ma, aku nggak mau masuk ke sekolah itu!" bantahku untuk yang kesekian kalinya, saat Mama menyinggung tentang sekolah baru yang akan menjadi sekolahku mulai besok.

"Bobby, itu sekolah yang baik untukmu. Sekolah itu terkenal dengan pendidikan budi pekertinya. Kau dan standar sopan santunmu cocok sekali untuk dididik di sana," argumen Mama.

"Aku baik-baik saja dengan sekolahku yang lama, Ma. Bisa-bisa aku jadi gila kalau Mama masukin aku ke sekolah macam itu." Nada suaraku mulai meninggi.

"Kamu itu harus...."

"Mama jangan pura-pura nggak tau deh!" Potongku tanpa memberikan Mama kesempatan untuk melanjutkan kalimatnya, "Kemarin kan kita sudah ke sana dan sekolah itu tidak seperti sekolah pada umumnya."

"Mama sudah putuskan. Suka atau tidak kamu tetap harus mengikuti keinginan Mama!"

Begitulah, aku tidak bisa menentang keinginan Mama. Mama tidak butuh pendapat dan masukan orang lain. Apa yang telah diputuskan dianggapanya paling tepat. Begitu juga dalam hal ini.

Setelah lulus SD, aku terpaksa ikut Mama pindah ke ke kota ini. Aku juga tetap harus mengikuti keinginan Mama untuk sekolah di SMP pilihannya.

"Sekolah ini nggak ada bagus-bagusnya," gerutuku keesokan harinya saat sedang melihat sekokah pilihan Mama untuk kedua kalinya, "Berkali-kali dilihatpun sekokah ini tetap aneh."

"Bobby, lihat sisi baiknya saja," bantah Mama sambil menutup pintu mobil, "Sekolah ini besar. Fasilitasnya pasti lengkap."

Aku mengembuskan napas dengan keras menandakan sikap protesku.

"Cobalah bersikap baik, Bobby. Kita harus menemui kepala sekolah."

Aku mencibir sambil mengikuti Mama memasuki gerbang sekolah baruku itu. Kenapa Mama tidak bisa merasakan keanehan di sekolah ini? Mama benar-benar tidak tahu, atau hanya pura-pura tidak tahu?

Sekokah baruku ini memang besar dan megah. Namun ada suatu kejanggalan. Sejak memasuki gerbang sekolah aku tidak melihat seorangpun di koridor ataupun di lapangan. Tak kudengar satupun suara murid-murid yang ribut, bercanda, atau tertawa. Seolah-olah di tengah sekolah yang besar ini hanya ada aku dan Mama.

"Oh, maaf. Di mana ruang kepala sekolah?" tanya Mama pada seorang guru yang kebetulan lewat di depan kami.

Guru itu menatap ke arah Mama agak lama, lalu berganti menatapku. Guru itu kemudian menunjuk sebuah ruangan di seberang lapangan tanpa bersuara sedikitpun.

"Terimakasih," sahut Mama sambil memandang ke arah ruangan yang ditunjuk.

Aku juga ikut memandang ke arah ruangan bercat merah darah itu. Pintu ruangannya tertutup rapat, begitu juga dengan tirai jendelanya. Dari dalam ruangan tampak seberkas cahaya. Mungkin cahaya lampu. Kenapa di pagi secerah ini harus menyalakan lampu?

Aku menoleh ke arah guru yang memberitahu letak ruangan kepala sekolah tadi, tapi aku begitu terkejut mendapati guru itu sudah tidak ada lagi di dekatku.

"Ma, guru yang tadi ke mana?" tanyaku cemas.

***Bersambung***


Hahah. Sorry morry dorry bagi yang sedang serius membaca ini dan tiba-tiba menemukan kata 'bersambung'. Saya bukannya ingin membuat penasaran, hanya saja saya capek ngetik. Hahaha πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas kelas fiksi One Day One Post. Tugasnya adalah meniru gaya menulis penulis yang kita sukai, yang kita jadikan panutan, yang karenanya kita ingin menjadi penulis. Sekarang-sekarang ini begitu banyak nama penulis yang menginspirasi saya. Bisa dikatakan, saya adalah pelahap semua genre fiksi.

Namun, di awal-awal saya menyadari bahwa saya mencitai dunia kepenulisan ini adalah ketika saya berada di usia akhir-akhir SD menjelang SMP. Ketika itu, buku yang paling banyak saya koleksi adalah buku-buku Goosebumps-nya R.L Stine. Yang suka baca R.L Stine ayo ngacung! Berarti kita seumuran dan berarti masa kecil kita bahagia πŸ˜„πŸ˜„πŸ˜„.

Untuk mengenang jasa-jasa R.L Stine yang telah mewarnai masa abege saya, maka saya memilih untuk menuliskan kembali cerpen misteri yang pernah saya buat ketika SMP. Ya! Tulisan saya di atas adalah tulisan yang saya buat ketika saya menggilai R.L Stine. Tulisnya pakai pulpen di buku tulis, kadang nyempil di buku pelajaran. 

Maafkan tulisan saya yang cakar ayam ini


Saya senyum-senyum sendiri menyadari saya begitu produtif menulis (di buku tulis) ketika SMP dulu. Saya jadi malu karena sekarang banyakan ogah-ogahannya.

Btw, sudah mirip R.L Stine belum gaya saya bercerita? 😁


#onedayonepost
#tantangankelasfiksi6



Sunday, July 30, 2017

Diserang Writer's Block? Lakukan 5 Hal Ini


Setiap penulis atau yang sedang meniti karir di dunia tulis menulis pasti tidak asing dengan istilah writer's block. Itu adalah kondisi di mana kamu tidak ada keinginan untuk menulis ataupun memiliki keinginan namun tidak tau mau menulis apa. Writer's block ini sebagaian besar muncul  sebagai manifestasi dari mood yang jelek ataupun susahnya membagi waktu dengan kegiatan lain.

credit


Gejala writer's block dapat berwujud kehabisan ide, sudah punya ide bingung eksekusinya bagaimana, sudah niat mantap mau eksekusi bingung kalimat pertamanya gimana, sudah punya kalimat pertama nendang konfliknya melempem, sudah punya konflik keren bingung endingnya mau diapain. πŸ˜„πŸ˜…

Nah, berikut akan saya jembrengkan uraikan hal-hal yang (menurut pengalaman saya) dapat mengatasi writer's block.

1. Nonton Serial TV atau Drama

Drama India dan drama Turki berhasil menaikkan mood dan memberikan ide menulis untuk saya. Bayangkan! Ratusan episode dan penontonnya setia mengikuti. Itu kan wooww! Saya belajar bagaimana menciptakan konflik dari hal-hal yang sederhana, menciptakan karakter yang kuat and so on. Bagi yang kena Korean Wave, nonton drakor juga ampuh membangkitkan mood dan memunculkan ide menulis. Buat cowok yang tidak suka nonton drama boleh nonton film hollywood di youtube atau sekalian ke bioskop. 


2. Membaca Novel atau Kumpulan Cerpen

Kata suatu quote yang beredar di media sosial, kalau kamu sedang tidak ingin membaca, menulislah, kalau sedang tidak ingin menulis, membacalah. Seperti halnya menonton drama, membaca juga bisa memperbaiki mood dan memunculkan ide-ide untuk memulai kembali menulis. Tapi biasanya habis membaca saya seringkali terpengaruh gaya bahasa penulis yang saya baca tulisannya πŸ˜–.

dari WA saya sulit menemukan sumbernya



3. Makan Junk Food

Junk food bagi saya adalah obat pereda stres. Kalau stres hilang otomatis mood meningkat. Sesimpel itu sih. Haahha


4. Window Shopping

Sebagai perempuan yang kodratnya senang melihat yang indah-indah, saya punya hobby window shopping, ini hobby yang hemat karena hasrat melihat barang yang indah-indah tersalurkan dan uang tetap aman pada tempatnya karena saya tidak pernah tergoda untuk membeli. Saya hanya ingin lihat tanpa ada maksud memiliki. Aihhh....πŸ˜… Dan ini selalu ampuh membangkitkan mood saya. Kalau buat cowok mungkin dengan futsal atau main game kali ya...😁



5. Bergabung dengan Komunitas Menulis.

Saya pernah membahas tentang komunitas menulis itu di sini :

Buat yang Hobi Menulis

Kenapa bagi saya penting untuk bergabung dengan komunitas menulis? Karena kita jadi memiliki teman yang saling menyemangati ketika sedang dalam kondisi writer's block, teman sharing dan berbagi info-info perihal kepenulisan. Biasanya setelah sharing apalagi melihat teman lain akan menerbitkan buku saya langsung bersemangat kembali menulis. Kan nggak mau kalah!!!

Nah, saat ini saya tidak bergantung pada kegiatan tulis menulis untuk menghidupi diri saya, karena saya bergantung kepada Allah SWT melalui dompet suami πŸ˜†. Hahaha. Kidding, maksudnya saya tidak mendapatkan penghasilan utama melalui kegiatan menulis, biasanya saya menulis kalau sedang mood dan kalau ada deadline lomba ataupun deadline dari kelas menulis yang saya ikuti. Berhubung tidak bergantung pasa penghasilan menulis, biasanya kalau diserang writer's block saya selow saja. 

Tapi mungkin suatu saat nanti, jika saya harus menggantungkan diri pada penghasilan menulis, saya akan berjuang semampunya untuk lolos dari jeratan iblis bernama writer's block. 😁


#onedayonepost
#tantangankelasfiksi5

Wednesday, July 26, 2017

Just Quit and Be Happy

Kalau kamu sudah lulus diterima di jurusan IPA, kamu sudah belajar sekeras temanmu belajar, tapi nilai fisika dan matematikamu tetap standar, mungkin kamu tidak cocok di kelas IPA, mungkin kelas IPA tidak cocok bagimu. Mungkin kamu akan sesuai di kelas Bahasa atau seni. Keluarlah, kamu tidak perlu menjalani kehidupan yang orang lain jalani.

1

Jika kamu sudah berpindah jurusan, lebih sedikit hitungan, tapi entah kenapa masih saja ogah-ogahan, keluarlah! Mungkin sistem pendidikan formal tidak cocok bagimu. Kamu tidak perlu menjalani kehidupan seperti yang orang lain jalani. Anak-anak Gen Halilintar tidak mengenyam pendidikan formal. Mereka home schooling dan si sulung mencapai omset 1 Milyar di umur 13 tahun. Kalau kamu? Umur 13 tahun ngapain?

Jika kamu sudah belajar sekuat tenaga sehingga mengorbankan waktu bersantaimu untuk bisa diterima di fakultas kedokteran ternama, lalu kamu gagal ujian dan teman sebangku di SMA yang kamu tahu kapasitas otaknya juga mirip-mirip kamu bisa lolos, beregembiralah, mungkin Teknik Pertambangan lebih cocok bagimu, atau acoounting, atau manajemen Bisnis. Kamu tidak perlu menjadi Dokter untuk berbahagia.

Kalau kamu sudah berada di jurusan yang kamu nyaman di dalamnya. Mata kuliahnya menyenangkan tapi passion mu tidak tersalurkan, emosimu seringkali tertahan, teori-teori dari pakarnya hanya masuk telinga kiri dan lolos di telinga kanan, keluarlah! Mungkin kuliah bukan jalan menuju kesuksesanmu. Mark Zuckerberg, Bill Gates, Hoeda Manis, adalah orang-orang yang memilih drop out dari kuliah dan sukses di bidangnya.


2


Jika kamu sudah lulus kuliah dan penuh percaya diri, melamar di perusahaan ternama dan diterima, lalu bekerja, lalu diberi target, lalu target itu tidak tercapai dan kamu jadi bulan-bulanan, padahal kamu sudah berusahan mati-matian plus lembur semalaman, keluarlah! Barangkali perusahaan itu tidak cocok bagimu, kamu tidak cocok bagi perusahaan itu, jangan menunda untuk berbahagia, kebahagiaanmu bukan bergantung pada perusahaan besar mana tempatmu bekerja sekarang. Mungkin kamu bisa menjadi pemimpin di perusahaan yang lebih kecil, atau kamu berpikir untuk membuka usaha sendiri. Kamu tidak perlu menjalani apa yang orang lain jalani!

Jika kamu sudah berpindah ke perusahaan yang lebih kecil, namun performamu tetap nihil, tidak perlu merasa kerdil, keluarlah! Barangkali bekerja di perusahaan yang mengejar profit bukan bidangmu, barangkali jiwa sosialmu begitu tinggi sehingga mengabdi lebih berarti, atau memulai usaha dan memberdayakan anak-anak jalanan dan warga miskin lebih kau sukai.

Jika kamu tidak betah berlama-lama basa-basi, enggan bersosialisasi macam sosilaita masa kini, namun sangat passionate terhadap tumbuh kembang anakmu, keluarlah! Keluarlah dari apapun yang sedang menghalangimu untuk berbahagia dan sambutlah uluran tangan-tangan kecil yang senantiasa menantimu pulang. Mungkin menjadi Ibu Rumah Tangga adalah yang terbaik bagimu. Tidak perlu ragu dan gentar mendengar celotehan kritikus dadakan yang hanya sibuk mengomentari hidupmu sementara hidupnya sendiri entahlan. Kamu tidak perlu menjalani yang tetanggamu ingin kamu jalani. Bangun pagi, berpakaian necis, ke kantor dengan kendaraan mewah, kembali ke rumah malam dan mengulangi rutinitas yang sama setiap hari.

3

Jika kamu saat ini masih lebih banyak merenung, tidak tahu akan melakukan apa, tidak tahu mau bagaimana menjalani hidup, kembalilah bersekolah! Atau piknik. Mungkin kamu kurang dididik atau kurang piknik. 

Tidak ada yang berhak mengomentari pilihan yang dibuat oleh seseorang. Meminjam istilah Mami Ubii, we are not in their shoes. Siapa kamu berhak mengomentari apa yang menjadi keputusan orang lain ketika kamu tidak berada dalam posisinya, tidak menghadapi apa yang tengah dia hadapi, tidak mengalami apa yang telah dia lalui. Kalau sekedar memberi saran atau pandanganmu terhadap pilihannya, boleh. Tapi ketika kamu mulai menghakimi, hentikanlah!

Deddy Corbuzier dalam reality shownya berkata kurang lebih seperti ini, "Untuk sukses kita tidak harus sekolah. Tapi sekolah adalah salah satu jalan menuju kesuksesan. Namun jika hanya bersekolah dan lantas mengharapkan kesuksesan, itu juga salah besar. Saya tidak memiliki kunci sukses, namun saya memiliki kunci kegagalan, yaitu ketika kita mulai menyerah."


Sumber Gambar :

1. www.pinterest.com
2. www.pinterest.com
3. www.justquitthing.com



Thursday, July 20, 2017

Mengasihi dalam Perbedaan

Sebenarnya sudah lama saya ingin menulis ini. Sejak tahun lalu ketika isu-isu berbau SARA santer di mana-mana dan bikin suasana tidak enak. 

Lalu keinginan untuk menulis itu terlupakan, lalu tiba-tiba di suatu siang saya membaca salah satu post di blognya Mami Ubii dan merasa terinspirasi. Aktivitas per-blog-an saya belakangan ini memang berkiblat ke ibu muda kece yang satu itu.

Oh ya, ini postingan yang menginspirasi tersebut.


Nah, keadaan sekarang tampaknya sudah mulai cooling down, tidak ada berita-berita bernada sumbang lagi di tv-tv. Apa saya yang nggak update ya? Jujur saya jarang sekali nonton tv pasca Lebaran kemarin. Terakhir nonton Pesbuker karena banyak artis Indianya πŸ˜…πŸ˜…πŸ˜….

Eh, kembali ke laptop. 😁😁😁. Jadi, saya dibesarkan di lingkungan yang sangat heterogen. Saya pernah tinggal di Dili, Timor Leste dan tetangga sekompleks saya itu multi culture, multi religion, multimart, multi talenta dan multi-multi yang lain sebutin sajalah. Tetangga sebelah rumah saya adalah Nasrani, tetangga depan rumah beragama Hindu, dan kami hidup rukun, aman dan damai. 

Jadi kepada siapa saja yang ngomong Bhineka-bhinekaan belakangan ini, saya mau bilang kalau dari kecil dulu saya sudah mengaplikasikan yang namanya bhineka tunggal ika. Jadi lucu saja kalau sekarang saya lihat spanduk bhineka tunggal ika di beberapa tempat. Udah pada lupa pelajaran PPKN kali ya kalau sampai tidak mengindahkan lagi yang namanya Bhineka Tunggal Ika.

Selepas dari Dili, saya pindah ke kampung halaman Papa saya di Manado. Di Manado ini juga sangat heterogen. Masyarakatnya beraneka ragam latar belakang. Waktu SMA, di kelas saya yang siswanya 20 lebih itu yang Muslim cuma 5, sehingga kalau belajar agama kelas 1,2,3 digabung biar jumlahnya banyakan. Natalan, Lebaran dan Imlek sama ramainya. Ramai sama anak-anak kecil yang minta angpao πŸ˜…. Dan kami baik-baik saja.


Haloo Gengs😁



Beranjak kuliah dan saya menjadi anak rantau di Makassar. Berkebalikan dengan di Manado, di sana Muslimnya mayoritas. Sahabat cewek-cewek seangkatan ada 20 yang bukan Muslim 6 orang. Dan sekali lagi, kami baik-baik saja. Saling mengasihi dan begitu solid. Maklum, seangkatan 130 orang, 20 doang ceweknya, 110 cowok. Gimana nggak makin solid tuh? Kami butuh bersatu padu untuk gosipin cowok-cowok. Hahaha. 

Hai Sayangs...


Di lingkungan kerja yang sekarang juga sangat beragam. 

Cinta Manissss πŸ˜†


Di dalam Islam dikenal dengan istilah Habluminallah dan Habluminannas. Beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama. Allah pun dalam kitab sucinya tidak membatasi berbuat baik ini harus kepada siapa. Berbuat baik lah kepada siapapun! Siapapun! Dengan catatan, ia tidak memerangimu, tidak pula memerangi agamamu.

Bergaullah dengan siapaun tanpa memandang perbedaan suku, ras, agama, jabatan atau embel-embel lainnya. Sebebas mungkin asal tidak menyerempet akidahmu. Contohnya begini, sesayang apapun saya sama teman Nasrani saya, saya tidak akan datang kalau diundang ibadah di gereja. Orang saya ibadahnya di mesjid. Kalau di undang kawinan atau ulang tahun saya mau 😁. Berlaku pula sebaliknya. Teman Hindu saya juga tentunya tidak akan mau kalau saya ajak pengajian di Mesjid, orang dia sembahyangnya di Pura.

Jadi pointnya adalah, bergaullah dengan siapa saja tapi tetap pada koridor masing-masing. Apalagi kalau sudah berbau-bau keyakinan, sebisa mungkin janganlah saling menyinggung. Ingat, keyakinan itu memihak. Masing-masing orang mengaggap keyakinan yang dia anut yang paling benar. Kalau tidak benar ngapain susah-susah masih menjalankan ritual ibadah agamanya? 

Itu baru soal Agama, belum lagi soal Ras, belum lagi soal Suku.

Intronya panjang banget padahal saya cuma ingin menceritakan tentang salah satu sahabat saya di antara sahabat lainnya, di mana kami begitu berbeda, tapi saya sangat menyayanginya. 

Halo Mama Ahong, jangan Geer ya kamu kalau baca ini πŸ˜†πŸ˜†.

Namanya Femmy. Orang Kendari. Teman kuliah saya di jurusan Teknik Mesin Unhas. Dia seorang Nasrani. Mungkin karena sama-sama cerewet, sama-sama hobi membaca dan menulis, jadinya kami nyambung. Saya sering nginap di kosannya. Ada hal-hal kecil yang bikin saya tersentuh ketika itu. Jadi, ceritanya di kosannya Femmy ini air hanya mengalir di jam-jam tertentu. Biasanya pagi-pagi banget.

Saya terharu ketika pertama kali menginap di kosannya dan saya bangun kira-kira jam 6-an untuk solat Subuh, yang mana ini kesiangan πŸ˜† dan Femmy bilang, "saya sudah tampungkan air untuk kamu wudhu. Kalau jam begini air sudah mati."

Saya terenyuh dan terharu. Tapi saya nggak pernah bilang sama dia. πŸ˜†. How kind you are, Fem...

Femmy bangun lebih pagi dari saya dan menampungkan air untuk saya pakai berwudhu. 😘😘

Pernah terjadi suatu kisah lagi. Jadi, Mukenah saya ketinggalan di kosannya Femmy, ketika beberapa hari kemudian saya datang Femmy bilang, "Eh, itu mukenahmu ketinggalan. Sudah saya cuci sekalian waktu saya cuci baju."

Dan lagi-lagi saya terharu. Tapi saya nggak bilang juga. πŸ˜„πŸ˜„


Sebalikanya, saya sering bertanya-tanya ketika kebetulan hari Minggu kami bersama dan dia tidak ke Gereja. "Tidak ibadah kamu?" Yang kadang-kadang hanya dijawab dengan cengiran karena ini anak emang rada-rada malas. Kalau lagi insyaf saja ke gerejanya. πŸ˜…

Singkat cerita, Femmy ini menikah dengan salah satu teman seangkatan kami. Chinese, Budha. Dan kemudian Femmy menetap di Makassar.  Nah, saya yang kebetulan ketika selesai kuliah masih jadi anak kos di Makassar sering banget numpang makan di rumah mereka. πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚. Suami istri ini baik banget. Waktu saya keselo dan tidak bisa jalan mereka datang ke kosan saya dan bawakan makanan. 😘 Halo kakak Iwank.  Makan yang banyak ya. Jangan ayam terus yang dikasih makan.πŸ˜†

Mengasihi orang yang berbeda dengan kita sebenarnya sudah dari jauh-jauh hari dicontohkan oleh Papa Mama saya. Ketika masih tinggal di Timor-Timur, entah bagaimana awal mula kisahnya, Mama memiliki seorang yang bisa dikatakan anak angkat. Pribumi Timor Leste. Nasrani. Bernama Petrus. Halo kak Pit 😊. 

Dia tinggal bersama keluarga saya cukup lama. Orang tua saya menyekolahkan dia hingga SMA dan sebagai gantinnya dia membantu pekerjaan rumah tangga sepulang sekolah. Adik saya bahkan tidak mau disuapi kecuali oleh Kak Pit sambil dikisahkan dongeng. 

Ketika keluarga saya pindah ke Manado kami lost contact. Hingga suatu hari sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu Mama saya heboh karena entah darimana Kak Pit dapat nomor telpon Mama dan menghubunginya. Sekarang komunikasi kami tersambung lagi. Kak Pit tinggal di Flores dan sudah jadi PNS.

Libur Lebaran kemarin saya mengupayakan sebisa mungkin untuk bertemu dengan Femmy. Senang sekali berjumpa lagi setelah 4 tahun tidak ketemu. Terakhir ketemu waktu saya nikah dan dia datang dengan segala kerempongannya membawa Ahong yang masih balita.


Dari kiri ke kanan : Ahong, Saya, Femmy, Chicing

Sekarang Ahong sudah besar dan sudah punya adik bernama ching-ching serta calon adik lagi di dalam perut.

Sehat-sehat terus ya kamu dan keluarga. 😘😘😘

Oh, ya. Sekarang sepertinya sejarah terulang. Saya dan Ical 'mengadopsi' seorang gadis yang dibawa Ical dari Pinrang. Kami sudah berniat akan membiayai sekolah SMA nya berhubung dia berasal dari keluarga kurang mampu. Syukur Alhamdulillah Ahmad jadi punya teman main dan ada yang bantu-bantu saya beres-beres rumah πŸ˜„. Namanya Tina.

Awalnya, Tina ini sedih banget mau dibawa ke Manado. Secara di belum pernah sekalipun jauh dari orang tua. Tapi, Ical berhasil membujuknya dengan kalimat pamungkas, "Tina, di Manado sana gerejanya besar-besar dan bagus-bagus." Lalu kemudian dia mau ikut. πŸ˜†πŸ˜† Rupanya Tina orang yang sangat religius dan selama di Manado hingga detik ini hanya pernah sekali absen ke Gereja karena sakit perut πŸ˜„.

Sebenarnya masih banyak pengalaman hidup berdampingan dalam perbedaan yang ingin saya tulis. Tapi kok rasanya ini sudah terlalu panjang ya...

Diakhiri saja kalau begitu. Bubye...😘