Tuesday, November 14, 2017

Acceptance


Apakah akan ada relevansi antara judul dengan isi tulisan saya nanti?  Entahlah,  tapi ingin sekali menuliskan acceptance itu sebagai judul πŸ˜€πŸ˜€




Saya sudah ingin menulis ini beberapa hari yang lalu.  Tapi,  yah begitulah....

Jadi ini adalah sebuah perubahan yang terjadi dalam diri saya. Saya tidak berubah jadi sailor moon atau spiderwomen dalam hal ini. Perubahan saya sederhana sekali dan cenderung tidak tampak. Saya hanya berubah menjadi lebih tenang dalam menghandle emosi saya.

Saya percaya energi, apapun bentuknya,  positif maupun negatif akan menular. Saya juga percaya seorang anak dapat merasakan energi yang memancar dari tubuh ibunya. Itulah mengapa kalau makemak lagi galau biasanya anaknnya rewel.  Anak rewel mak tambah galau.  Mak makin galau anak makin rewel.  Jadi efek bola pingpong yang tidak akan ada selesainya.  Yang ada Mak sama Anak capek sendiri dimangsa oleh energi negatif.

Sebelum ini saya menghadapi Ahmad,  anak lelaki saya yang berumur 2.5 tahun dengan energi negatif yang meluap-luap. Ketika jam pulang kantor tiba saya sudah lelah duluan memikirkan harus menghadapi Ahmad dengan keaktifan khas anak kecil yang serasa tak pernah ada capeknya. Kalau pulang kantor dia sudah tidur rasanya saya lega banget.

Begitupun saat bangun di pagi hari.  Berkejaran dengan waktu untuk tiba di kantor on time sementara keperluan Ahmad lumayan banyak yang harus diurusin. Akibat kurang bisa menghandle emosi,  saya kerap mencubit Ahmad kalau dia mulai bertingkah kelewatan.

Baca :


Saya selalu merasa lelah.  Ibu macam apa saya ini sebenarnya.  Banyak mengeluh dibanding bersyukurnya?

Lalu kemudian suatu hari,  saya mulai merasa ada jarak yang begitu renggang antara saya dan Ahmad.  Tiap kali bilang "Sayang Ibu dulu"  Ahmad terang-terangan menolak.  Kalau saya yang nyosor cium,  dia akan mengelap pipinya.  Duh,  sakit banget hati hayati.  Terlebih kalau Ayahnya yang minta cium Ahmad mau-mau aja.  Hiks.. Hiks..

Lalu saya berpikir tentang konsep energi menular ini.  Saya coba menata hati saya beberapa jenak sebelum pulang kantor. Saya tanamkan dalam pikiran saya bahwa saya rindu dan ingin bermain-main dengan Ahmad sepulang kantor.

Saya pulangkan memori saya yang merekam ekspresi serta tingkah polah lucunya.  Kemudian saya berjanji untuk tidak akan memarahi,  membentak apalagi mencubit jika dia melakukan kesalahan-kesalahan.  Sebisa mungkin saya harus menahan diri.

Alhamdulillah,  ketika sudah mulai menata hati,  saya bisa menghadapi Ahmad dengan lebih tenang.  Kalau dia main air sampai tumpah membasahi lantai saya akan mengepel lantai itu sambil ngomong dalam hati 'lumayan keringatan malam-malam ngepel.  Hitung-hitung olahraga'.  Kalau dia minta ditemani main lempar tangkap saya juga akan berpikir "lumayan nih olahraga." Saya mencoba untuk tetap bersikap positif.
Saya selalu meladeni Ahmad dengan segala gerak gerik gesitnya hingga tak jarang saya yang ketiduran duluan lalu dia akan menyusul tidur di samping saya atau akan ke kamar Omanya. 

Di pagi haripun demikian. Jika biasanya saya ngomel-ngomel sambil memohon agar Oma saja yang mandikan Ahmad,  sekarang saya berusaha memandikan dia. Sambil sekalian saya juga mandi. Saya menanamkan dalam pikiran saya bahwa mandi bersama ini bisa jadi salah satu sarana bonding.

Belum terhitung sebulan saya melakukan perubahan kecil ini namun dampaknya begitu nyata terlihat.  Ahmad sudah biasa menyium saya ketika saya minta.  Ahmad akan menyodorkan pipi tembemnya dengan sukarela tanpa perlu saya sosor. Kadang-kadang dia lebih memilih saya dibanding Ayah atau Omanya. 

Saya ingin terus berada dalam atmosfer yang seperti ini. Ujung-ujungnya acceptance - penerimaan ini memang harus benar-benar dijalani. Ketika belum menikah dulu saya bisa saja main kesana kemari.  Balik kos untuk tidur saja.  Bermalas-malasan dan bangun pagi kalau ada kelas saja.  Dulu waktu belum punya anak saya mungkin bisa kencan sama suami kemanapun jam berapapun tanpa kepikiran ada yang ditinggalkan di rumah,  ataupun kalau Ahmad dibawa, kepikiran kalau kemalaman bisa masuk angin.

Penerimaan demi penerimaan akan membuat kita lebih ikhlas menjalani peran sebagai istri atau pun ibu,  atau apapun peran yang sedang kita lakoni saat ini.  Ketika sudah ikhlas maka energi positif akan memancar dari diri kita dan percayalah bahwa hal itu bisa sangat mempengaruhi lingkungan kita.

Cmiwwww πŸ˜€πŸ˜€πŸ˜€

Saturday, November 4, 2017

Ketika Si Pengeluh Insaf

Saya adalah orang yang pandai mengeluh. Ada-ada saja hal yang bisa jadi bahan keluhan. Keharusan bangun sepagi itu,  jalanan yang begini macet,  jam absen di setel menjadi lebih maju dan saya kerap terlambat beberapa detik,  tangga lantai satu ke lantai dua yang sepertinya didesain tidak ergonomis sehingga bikin sakit pinggang,  tata letak komputer di atas meja yang tidak pas.  Dan so on.  Tapi sepertinya daritadi keluhan saya seputar kantor πŸ˜‚


credit



Lalu ketika jam istirahat siang dan kebetulan saya makan di luar,  saya melihat ibu-ibu menggandeng anaknya yang berseragam sekolah berjalan santai di trotoar.  Barangkali dia habis menjemput anaknya lalu mereka berjalan-jalan dulu sebelum pulang ke rumah. Di mana letaknya keadilan saat ibu-ibu itu jalan santai sementara saya harus buru-buru membayar makan karena sebentar lagi jam satu? 

Saya adalah manusia yang pandai mengeluh lalu entah bagaimana awalnya hal itu terjadi hingga sekarang kalau mau mengeluh saya merasa sedikit malu.  Malu pada diri sendiri. Malu pada orang lain. Keisengan saya dan sikap sok akrab saya ternyata kadang-kadang membawa hal positif.  

Jadi, suatu ketika ada satpam baru di kantor yang kebetulan ditugaskan menjaga di lantai tempat saya bertugas. Masih muda, sepertinya seumuran. Saya dengan sikap sok akrab mulai tanya-tanya asalnya,  kerja di sini sejak kapan,  berapa gajinya.  Kurang ajar kan tanya-tanya gaji orang.  πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Entah karena Abang Satpamnya ini polos atau karena memang dasarnya baik hati dan jujur dia bilang bahwa dia satpam magang.  Baru kali itu kerja di kantor saya, kebetulan karena satpam seniornya pindah tugas.  Dan karena belum jadi karyawan tetap dia dibayar harian. Kalau tidak salah ingat dia menyebut angka Rp. 75.000,-/ hari. Saya cepat mengkalkulasi di kepala.  Rp. 75.000,- kali 20 hari kerja Rp. 1.500.000,- Itu dengan catatan kalau dia belum terganti dengan satpam tetap. 

Dia menceritakan itu dengan mata berbinar. Berulangkali mengucapkan sukur. Hal itulah yang sepertinya menjadi momentum dari kesadaran saya πŸ˜… (yang terlambat ini). 

Kita kerap berjalan sambil sibuk mendongak ke atas. Membanding-mebandingkan keadaan dengan orang lain yang lebih dari kita memang takkan ada habisnya.  Mengeluh itu pekerjaan yang sama mudahnya dengan melamun.  Gampang sekali dikerjakan. Tapi sedikit manfaatnya. Tapi,  hei,  sudahkah kamu menengok tukang sapu jalan yang harus bekerja sedemikian pagi untuk memungut sampah yang kau buang sembarangan? Sudahkah kamu menengok cleaning service yang mengepel lantai untuk kemudian kau injak lagi? Pernahkah kamu membayangkan sehari saja menjadi bapak-bapak tua yang menjajakan makan  siang di kantor?  Mereka semua itu melakukan pekerjaannya dengan ikhlas dan penuh kerelaan namun mengapa kamu tidak? 

Di atas sesungguhnya rentetan pertanyaan bagi diri saya yang pandai mengeluh. Bahkan Tuhan pun sudah berfirman, "Mintalah, maka akan kuberi." Kalau merasa lelah dan kesusahan sebaiknya kita kurangi keluhan dan perbanyak berdoa.  

Duh,  bijak banget tulisan saya. Sudah ah...