credit |
"Ma, aku nggak mau masuk ke sekolah itu!" bantahku untuk yang kesekian kalinya, saat Mama menyinggung tentang sekolah baru yang akan menjadi sekolahku mulai besok.
"Bobby, itu sekolah yang baik untukmu. Sekolah itu terkenal dengan pendidikan budi pekertinya. Kau dan standar sopan santunmu cocok sekali untuk dididik di sana," argumen Mama.
"Aku baik-baik saja dengan sekolahku yang lama, Ma. Bisa-bisa aku jadi gila kalau Mama masukin aku ke sekolah macam itu." Nada suaraku mulai meninggi.
"Kamu itu harus...."
"Mama jangan pura-pura nggak tau deh!" Potongku tanpa memberikan Mama kesempatan untuk melanjutkan kalimatnya, "Kemarin kan kita sudah ke sana dan sekolah itu tidak seperti sekolah pada umumnya."
"Mama sudah putuskan. Suka atau tidak kamu tetap harus mengikuti keinginan Mama!"
Begitulah, aku tidak bisa menentang keinginan Mama. Mama tidak butuh pendapat dan masukan orang lain. Apa yang telah diputuskan dianggapanya paling tepat. Begitu juga dalam hal ini.
Setelah lulus SD, aku terpaksa ikut Mama pindah ke ke kota ini. Aku juga tetap harus mengikuti keinginan Mama untuk sekolah di SMP pilihannya.
"Sekolah ini nggak ada bagus-bagusnya," gerutuku keesokan harinya saat sedang melihat sekokah pilihan Mama untuk kedua kalinya, "Berkali-kali dilihatpun sekokah ini tetap aneh."
"Bobby, lihat sisi baiknya saja," bantah Mama sambil menutup pintu mobil, "Sekolah ini besar. Fasilitasnya pasti lengkap."
Aku mengembuskan napas dengan keras menandakan sikap protesku.
"Cobalah bersikap baik, Bobby. Kita harus menemui kepala sekolah."
Aku mencibir sambil mengikuti Mama memasuki gerbang sekolah baruku itu. Kenapa Mama tidak bisa merasakan keanehan di sekolah ini? Mama benar-benar tidak tahu, atau hanya pura-pura tidak tahu?
Sekokah baruku ini memang besar dan megah. Namun ada suatu kejanggalan. Sejak memasuki gerbang sekolah aku tidak melihat seorangpun di koridor ataupun di lapangan. Tak kudengar satupun suara murid-murid yang ribut, bercanda, atau tertawa. Seolah-olah di tengah sekolah yang besar ini hanya ada aku dan Mama.
"Oh, maaf. Di mana ruang kepala sekolah?" tanya Mama pada seorang guru yang kebetulan lewat di depan kami.
Guru itu menatap ke arah Mama agak lama, lalu berganti menatapku. Guru itu kemudian menunjuk sebuah ruangan di seberang lapangan tanpa bersuara sedikitpun.
"Terimakasih," sahut Mama sambil memandang ke arah ruangan yang ditunjuk.
Aku juga ikut memandang ke arah ruangan bercat merah darah itu. Pintu ruangannya tertutup rapat, begitu juga dengan tirai jendelanya. Dari dalam ruangan tampak seberkas cahaya. Mungkin cahaya lampu. Kenapa di pagi secerah ini harus menyalakan lampu?
Aku menoleh ke arah guru yang memberitahu letak ruangan kepala sekolah tadi, tapi aku begitu terkejut mendapati guru itu sudah tidak ada lagi di dekatku.
"Ma, guru yang tadi ke mana?" tanyaku cemas.
***Bersambung***
Hahah. Sorry morry dorry bagi yang sedang serius membaca ini dan tiba-tiba menemukan kata 'bersambung'. Saya bukannya ingin membuat penasaran, hanya saja saya capek ngetik. Hahaha πππ
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas kelas fiksi One Day One Post. Tugasnya adalah meniru gaya menulis penulis yang kita sukai, yang kita jadikan panutan, yang karenanya kita ingin menjadi penulis. Sekarang-sekarang ini begitu banyak nama penulis yang menginspirasi saya. Bisa dikatakan, saya adalah pelahap semua genre fiksi.
Namun, di awal-awal saya menyadari bahwa saya mencitai dunia kepenulisan ini adalah ketika saya berada di usia akhir-akhir SD menjelang SMP. Ketika itu, buku yang paling banyak saya koleksi adalah buku-buku Goosebumps-nya R.L Stine. Yang suka baca R.L Stine ayo ngacung! Berarti kita seumuran dan berarti masa kecil kita bahagia πππ.
Untuk mengenang jasa-jasa R.L Stine yang telah mewarnai masa abege saya, maka saya memilih untuk menuliskan kembali cerpen misteri yang pernah saya buat ketika SMP. Ya! Tulisan saya di atas adalah tulisan yang saya buat ketika saya menggilai R.L Stine. Tulisnya pakai pulpen di buku tulis, kadang nyempil di buku pelajaran.
Maafkan tulisan saya yang cakar ayam ini |
Saya senyum-senyum sendiri menyadari saya begitu produtif menulis (di buku tulis) ketika SMP dulu. Saya jadi malu karena sekarang banyakan ogah-ogahannya.
Btw, sudah mirip R.L Stine belum gaya saya bercerita? π
#onedayonepost
#tantangankelasfiksi6
Wow keren...rajin sekali mbak Sabrina, buku jaman SMP masih ada..
ReplyDeleteAlhamdulillah yang ada coret2an cerpennya masih ada semua....ππ
DeleteKalau yang isinya pelajara wallahualam....π
Woowww keren, mbak...
ReplyDeleteDitunggu lanjutannya yaa
Lahhh..ini malah nagih lanjutan....hahahaha
DeleteNanti saya ketik ya Insya Allah.