Kaki-kaki kecil tanpa alas berlari secepat yang dia bisa. Debu-debu berterbangan di sekitarnya. Di setiap tikungan tubuh mungil itu selalu nyaris jatuh. Napasnya terengah-engah. Sejenak ia berhenti, menoleh ke belakang. Sang ayah masih di sana menggendong adik lelaki kecilnya yang baru 8 bulan. Masih mengenakan diaper. Ibunya tak ada lagi. Mati tertembak di tikungan ke tiga yang mereka lintasi.
"Ayo lari Ali, ayah menyusul di belakangmu!"
Ia mengangguk paham. Kakinya dipaksa melaju. Baru 6 tahun usianya. Langit mendung di penghujung maghrib tak membuat langkahnya gentar.
"Di tikungan depan belok kanan!" Suara sang Ayah memberi instruksi. Kali ini tubuh mungilnya terjerembab, namun secepat kilat pula ia bangkit.
"Mau lari sampai kapan Ayah?" Jeritan lirih dari mulut mungilnya hampir saja lesap di telan suara ledakan dan desingan peluru yang entah darimana sumbernya.
"Ayo lari terus Ali, Ayah di belakangmu!" Suara sang Ayah. "Kita harus cari susu untuk Umar."
Langkah mungil itu terhenti. Ia berbalik. Wajah kecilnya dipenuhi debu dan jelaga. Sweater yang dikenakannya lusuh. Sudah 2 minggu tidak diganti. Rasanya sudah lelah ia berlari. Dari satu pengungsian ke pengungsian lain. Demi menghindari bom, menghindari peluru, atau sekedar menghindari orang-orang yang membawa benda tajam membantai membabi buta.
"Umar mau menyusu. Kenapa kita tinggalkan ibu di sana Ayah?"
Sang Ayah memperlambat langkah. Menghampiri putra kecilnya yang bertanya tentang ibu. Tak tega rasanya mengatakan bahwa ibunya telah mati tertembak.
"Ibu lelah dan tertidur. Setelah kita dapat susu untuk Umar, kita kembali dan membangunkan ibu." Ayah membelai kepala Ali. Menyingkirkan sedikit jelaga dari sana. Satu tangannya mendekap si bungsu yang lelap dalam tidur.
Ketika itu peluru mendesing. Entah darimana sumbernya tapi memilih bersarang di punggung sang Ayah. Tubuh besar itu rubuh seketika. Si kecil Umar kaget dan menjerit nyaring seolah ingin menyaingi desingan peluru.
Ali cekatan meraih tubuh mungil adiknya dari dekapan sang Ayah yang berlumuran darah.
"Umar, ayah sedang lelah dan tertidur. Mari kita pergi mencari susu untukmu."
Tubuh kecil itu kembali berlari. Kini dengan Umar yang masih menjerit dalam pelukannya.
Maghrib sudah berlalu. Begitupun mendung. Langit Aleppo kini bertaburan bintang.
ReplyDeleteš¢ sedih saya bacanya.
Saya juga sedih nulisnya...:'(
DeleteAstaghfirullah, ya Allah lindungilah saudara2 kami yang sedang terdzolimi, tolonglah mereka. Saya belum bisa berbuat apa pun.
ReplyDeleteDoa adalah senjata kaum mukmin. Jadi mari kita doakan mbak...
Delete