Sebuah cerpen yang saya ikutkan dalam lomba Green Pen Award 2016 yang diselenggarakan oleh Perum Perhutani namun belum beruntung sehingga belum terpilih.
Saya posting untuk dinikmati teman-teman sekalian dan syukur-syukur jika dapat kritikan super pedas. hehehehhe
Gambar dari sini |
Tidak pernahkah kau berpikir bahwa alam sangat
welas asih? Ibu bumi-dalam pikiranku planet bumi berjenis kelamin perempuan-
telah menyediakan segalanya sesuai dengan takaran yang sangat berimbang.
Oksigen yang kau hirup itu, tumbuhan yang kau makan itu, buaya yang kulitnya
kau jadikan sepatu itu. Alam sangat welas asih pada makhluk bernama manusia.
Sekaligus sangat kejam. Aku percaya itu.
Dear, Bro Erland.
Kau tidak akan percaya
apa yang saya temukan di sini. Objek penelitian yang sangat kau butuhkan untuk
tesis S2 mu itu! Segeralah tutup buku tebalmu yang bikin sakit kepala dan angkat
bokongmu dari kursi putar karena kau harus menempuh perjalanan jauh ke sini. 2
jam di udara dan 6 jam di darat.
Regards,
Fariz.
Aku sudah menutup laptop dan
mengangkat bokongku dari kursi putar yang terdapat di dalam ruang kerjaku sejak
48 jam yang lalu tanpa membalas email dari sahabat kuliahku itu. Awas saja dia
jika email itu hanya leluconnya karena sekarang aku sedang berusaha untuk tidak
memuntahkan isi makan siangku. Perjalanan enam jam dari bandara Sultan Aji
Mahmud Sulaiman, dengan medan jalanan rusak dan terjal, sukses mengocok perut
dan menaikkan asam lambungku. Perjalanan panjang menuju ke masa lalu.
“Kita sudah sampai” Erna, saudari
kembarku, yang kupaksa mengikuti perjalananku ke rimba Kalimantan berujar. “Itu
temanmu”.
Aku mengikuti arah telunjuk Erna
yang duduk di bangku depan di samping supir yang kami sewa beserta kendaraannya
dari Balikpapan menuju Sangatta. Untung kami tiba sebelum gelap.
“Hai, bro Erland! Selamat datang di
hutan Kalimantan. Tempat dimana seharusnya kau berada!” Fariz menyambut dengan
rangkulannya yang agak menyesakkan dadaku begitu aku turun dari kendaraan sewa
kami. “Bukankah di hutan seharusnya seorang Mine
Engineer berada?”
“Mari berdoa semoga disini tidak ada
nyamuk anopheles supaya kita bisa
pulang dengan selamat tanpa membawa bibit malaria” Erna keluar dari
mobil-beserta seluruh perlengkapan laboratoriumnya- dan membanting pintu mobil
sewaan itu dengan keras. “Sialan, supir itu minta bayar lebih!”
Fariz tampak terkejut mendapati
keberadaan Erna di sana. Namun tetap menyahut “Setahuku, nyamuk anopheles cuma ada di Papua bu dokter.
Atau bagaimana kah? Sudah migrasi ke sini juga kah?”
Erna hanya mengerling tajam ke arah
Fariz.
“Kenapa kau bawa dia ke sini, Bro?”
Fariz berbisik padaku.
“Aku membutuhkan dia untuk menguji
kebenaran kata-katamu di email”
“Ya, Tuhan Erland. Kau tidak percaya
kata-kataku. Bukankah kita soulmate
waktu kuliah?”
Aku tidak menyahuti kata-kata Erland
lagi. Tadi apa katanya? Selamat datang di hutan Kalimantan? Apakah dia lupa
waktu studi tour saat kuliah dulu ke
salah satu perusahaan pertambangan batu bara di Sangatta dia duduk di sebelahku
sepanjang perjalanan dengan bis? Lagipula muntahnya lebih banyak daripada
muntahku.
Aku mengedarkan pandangan ke
sekelilingku. Empat tahun tidak banyak merubah tempat ini. Arus sungai Sangatta
yang mengalir pelan, tumbuh-tumbuhan hutan
menyeruakkan bau yang sangat khas, ketinting di dermaga.
Hari
sudah tua ketika itu, nyaris empat tahun yang lalu, saat ketinting yang sudah
lelah kami-aku dan Fariz-tunggui akhirnya datang juga. Ide mengunjungi Taman
Nasional Kutai untuk melihat orang utan adalah murni ide Fariz. Kegiatan itu
sama sekali tidak ada dalam agenda kunjungan Himpunan Mahasiswa Teknik
Pertambangan yang sedang kami ikuti ketika itu.
“Kapan lagi kita bisa lihat
saudaramu secara langsung, Bro. Mumpung kita sedang di Sangatta” Ujar Fariz
saat membujukku kala itu.
Untuk mencapai Taman Nasional Kutai
kami harus menelusuri sungai Sangatta dengan ketinting selama kurang lebih 30
menit. Saat sedang menunggu ketinting itulah aku pertama kali bertemu
dengannya. Nurul Ufairah. Dia ada di atas ketinting yang sedang kami tunggu.
Baru kembali dari area konservasi orang utan bersama rombongan LSM bernama “save orang utan”. Ketika aku menjabat
tangannya ia memperkenalkan diri sebagai salah satu mahasiswa Ilmu Kesehatan
Lingkungan semester akhir di Universitas yang sama dengan tempatku menimba ilmu
di Kota Daeng, Makassar. 2 tahun kemudian, gadis berwajah oval dan berlesung
pipi itu aku nikahi.
“Erland! Itu serius?!” Seruan Erna
yang keras dan nyaring menyadarkanku dari lamunan. Aku seperti dihisap kembali
ke dunia nyata dan dengan gelagapan mengikuti arah telunjuknya pada papan besar
bertuliskan ‘Hati-hati Ada Bauaya/ Binatang Buas’” .
Tidak jauh dari tempat Erna berdiri
Fariz tertawa terbahak-bahak sampai mukanya memerah. “Ayo cepat kita melapor ke
kantor desa sebelum gelap.” Katanya kemudian lalu mengisyaratkan kami untuk
segera menaiki mobil perusahaannya.
Setelah lulus kuliah Fariz bekerja
di perusahaan pertambangan batu bara yang kami kunjungi ketika kuliah dulu,
sedangkan aku memilih untuk melanjutkan usaha orang tuaku di Makassar. Mobil 4
WD yang dikemudikan Fariz melaju gagah membelah ruas jalan desa yang mulai
gelap.
“Kau tidak bilang di sini banyak
buaya!” Erna kembali berseru padaku “Sungai yang banyak buayannya itu kah yang
harus aku sampling airnya? Astaga,
Erland. Kita mungkin saja tidak mati karena malaria, tapi mati digigit buaya.”
Fariz kembali tertawa demi mendengar
ocehan Erna. “Tenang saja bu Dokter, buktinya saya bisa survive selama hampir 4 tahun bekerja di sini”
“Kau ini aneh, kenapa kau mau-mau
saja membantu penelitianku? Yang mau saya angkat di tesisku ini adalah dampak
pencemaran yang sudah dilakukan oleh perusahaanmu. Kau bisa saja dipecat karena
membocorkan rahasia perusahaan nantinya”
“Makanya, kau tidak usah tulis
namaku di kata pengantar tesismu nanti, Bro” Sahut Fariz santai. “Nah, ini kita
sudah sampai di kantor desa. Mari melapor lalu kalian bisa istirahat di rumah Pak
Bayu. Saya sudah kasih tahu Pak Bayu soal kalian. Beliau bersedia. Nanti setelah
urusan selesai kasih saja uang listrik dan pembeli beras.”
“Tunggu, kau bilang sama dia saya
mau teliti anaknya?!”
“Tidak lah bro! kau gila apa?
Lagian, Pak Bayu tidak akan percaya meskipun saya beritahu. Ayo cepat kita
turun dan melapor.”
***
Aku memandang deretan piagam
penghargaan dan piala yang tepampang di ruang tengah rumah Pak Bayu. Semuanya
dialamatkan pada nama Nilam Sekar. Juara Umum Lomba cerdas-cermat tingkat SD
se-kota Balikpapan, juara satu lomba matematika tingkat provinsi, juara dua
lomba debat bahasa Inggris. Lalu mataku mencari pemilik nama Nilam dan
tertumbuk pada gadis yang sedang duduk menghadap jendela rumah. Pandangannya
jauh ke depan. Melewati sungai sangatta, melintasi hutan rimba. Entah kemana.
“Aurora, temanku yang psikolog itu,
sudah mengirimkan hasilnya padaku. Tadi temanmu yang mengantarkan amplop ini”
Erna membuka amplop yang dibicarakannya. Membacanya cepat. Lalu kembali berujar
“Yap, konsisten dengan hasil penelitianmu, dengan metode Standford-Binet, IQ
Nilam hanya 75”
“Tolong bicara dengan bahasa yang
lebih mudah dimengerti” Selahku. Oh, ya saudari kembarku itu adalah seorang
dokter yang saat ini tengah menempuh spesialis kandungan.
Erna memutar kedua bola matanya lalu
berkata “75 itu di bawah rata-rata. Rendah. Cenderung memiliki keterbelakangan
mental. Mustahil bagi seseorang dengan IQ 75 memiliki deretan piala dan piagam
yang sedang kau amati itu”
“Kau sudah melakukan sampling pada air sungai itu?”
“Sudah. Semuanya normal. Kadar
timbal masih di bawah ambang batas. Tampaknya perusahaan mulai berbenah setelah
banyak aktivis lingkungan yang protes. Tapi tidak dengan kadar timbal dalam
sampel darah Nilam. 17.5 mcg/dL untuk sampel darah yang kuambil kemarin. Kau
tahu, peningkatan kadar timbal dengan jumlah itu dapat menurunkan IQ sebesar 5
poin.”
“Sudah kuduga” Gumamku. “Telah
terjadi degradasi memori pada Nilam akibat pemaparan timbal ini. IQ nya menurun
dibandingkan ketika SD dulu”
“Sekarang apa yang akan kau
lakukan?”
“Orang tua Nilam harus tahu soal
ini. Mereka harus tahu Nilam membutuhkan penanganan khusus. Kadar timbal yang
terakumulasi dalam tubuhnya akan membunuhnya suatu saat nanti.”
“Kau gila?!” Erna berseru dengan
suara tertahan. Mengalihkan pandangannya ke arah Nilam sekilas, memastikan
gadis 25 tahun itu tidak mendengar percakapan kami. “Keluarga ini hidup dari
gaji hasil keja di perusahaan itu. Lalu sekarang kau tega bilang perusahaan itu
yang membuat Nilam jadi begini?
Hanya
ada aku, Erna dan Nilam di ruang tengah rumah Pak Bayu, ayahnya. Ibu Nilam
sibuk di dapur. Ayahnya, tentu saja jam begini sedang bekerja di perusahaan
tambang yang sama dengan tempat Fariz bekerja. Tidak tahukah dia perusahaan
itulah yang telah membuat anaknya menjadi seperti sekarang? Tidak tahukah dia
perusahaan itu yang mencemari badan sungai Sangatta dengan kadar Timbal yang
sudah sangat mengkhawatirkan? Air sungai yang kemudian menjadi sumber kehidupan
mereka. Sumber kehidupan yang bisa saja justru membunuh.
“Kau pikir, saya mengambil kuliah
Magister Kajian Ilmu Lingkungan, setiap minggu harus bolak balik
Makassar-Jakarta untuk asistensi penelitian, merasa perlu bersusah-susah
melakukan penelitian samapi ke hutan rimba, hanya kemudian untuk dapat gelar
dan diam saja mengetahui fakta bahwa ada yang salah dengan kasus pencemaran
timbal ini?”
“Oh, ya? Wow! Mulia sekali tujuanmu.
Bukannya kau susah-susah melakukan semua ini hanya untuk menebus rasa
bersalahmu pada Ufairah? Dan saya bodohnya mau mengikuti semua ambisimu ini!
Asal kau tahu, apapun yang akan kau lakukan, termasuk jika nanti penelitianmu
ini mendapat nobel atau perusahaan itu akhirnya ditutup, itu semua tidak akan
mebuat Ufairah kembali hidup. Tidak akan!”
Aku terkejut mendapati Erna berbicara
seperti itu padaku.
“Saya sudah lelah Erland.
Seharusnya, kau hanya cukup melakukan satu hal. Ikhlas. Ikhlaskanlah. Sudah dua
tahun Erland!”
Aku tidak menyangka Erna akan
berbicara seperti itu padaku. Ikhlas katanya? Apa yang sebenarnya ada di dalam
pikirannya? Siapa bilang aku tidak ikhlas dengan kematian Ufairah. Siapa
bilang?
Aku tidak tahan menghadapi saudari
kembarku itu berlama-lama jika dalam keadaan seperti ini, maka aku memutuskan
pergi meninggalkannya di rumah Pak Bayu. Di pintu keluar aku berpapasan dengan
Erland.
“Kau mau kemana, Bro?” Tanyanya.
Aku tidak menyahut, namun masih
sempat kudengar seruan Erna. “ Ya, pergi saja. Selalu begitu kalau kita
membicarakan Ufairah. Aku harap kau dimakan buaya sungai Sangatta hidup-hidup!”
***
Dua tahun yang lalu Ufairah sedang
mengandung anak pertama kami. Ketika itu kandungannya berusia tiga bulan. Dia,
dengan lesung pipinya yang seolah memiliki pusaran dan kerap membuatku
terjebak, meminta ijin padaku untuk yang terkhir kalinya bergabung bersama
LSM save
orang utan, menyaksikan kelahiran bayi orang utan di kawasan konservasi
Taman Nasional Kutai.
Kata dia, itu yang pertama sejak sepuluh tahun
belakangan, orang utan dewasa akan melahirkan seekor bayi di kawasan konservasi
tersebut. Kata dia, menjadi suatu kebanggaan jika bisa turut menyaksikan
kelahiran binatang yang hampir punah itu. Dan lagi dia juga ingin turut
berpartisipasi dalam kegiatan menanam sejuta pohon yang akan diadakan oleh
sebuah LSM lingkungan hidup di sana.
Ufairah,
dia sangat mencintai lingkungan dan terobesesi pada habitat hutan Kalimantan.
Kecintaannya pada alam liar ini begitu besar, kecintaan yang membuatku jatuh
cinta padanya. Dengan alasan bahwa setelah melahirkan dia akan melepas diri
dari seluruh kegiatan peduli lingkungan tersebut dan akan berfokus pada anak
kami, aku mengijinkannya. Ia berjanji hanya seminggu saja dan akan segera pulang
kembali ke Makassar.
Seminggu
kemudian Ufairah benar-benar pulang. Jasadnya. Demi memandang wanita yang
tubuhnya pernah mengahangatkanku itu terbujur dingin dan kaku aku seperti
terpaku ke permukaan bumi. Ikut kaku. Bersama peti matinya hanya ada selembar
surat keterangan dokter yang menjelaskan penyebabnya meregang nyawa. Keracunan
timbal.
Setahun setelah jasad Ufairah
dimakamkan, Fariz datang mengunjungiku. Aku sedang berada di ruang kerjaku. Di
atas kursi putar membolak-balik diktat kuliah. Sejak awal memutuskan untuk
melanjutkan kuliah magister di bidang Kajian Ilmu Lingkungan, aku sudah tahu
akan menyusun tesis seperti apa. Aku menceritakan tentang obsesiku mengkaji
dampak pemaparan timbal pada manusia secara lebih mendalam. Aku mengatakan pada
Fariz akan membutuhkan sampel untuk memperkuat hipotesis yang kususun. Kutakan
padanya sampel itu haruslah orang yang terdampak timbal.
***
Hari
sudah hampir malam. Ini malam ke tujuh sejak kedatanganku ke rimba Kalimantan.
Malam kedua sejak pertengkaranku dengan Erna. Meskipun berkata sudah lelah, toh
gadis itu juga tidak pergi meninggalkanku. Aku duduk di atas ketinting yang
tertambat di dermaga. Memangku laptop dan memutuskan untuk segera menyelesaikan
bagian penutup tesisku. Namun aku urung.
Kenapa ibu bumi? Kau merenggut anak
manusia yang menghabiskan sisa umurnya untuk menyelamatkanmu?
Kau bicara tentang jasad istri dan
jabang bayimu yang sekarang sedang bersemayam di dalam rahimku?
Belum genap setahun aku menikahjnya.
Dia sedang mengandung jabang bayi kami. Calon anak kami.
Begitu pun aku! Aku mengandung janin
janin dalam rahimku ini. Janin-janin yang ketika sudah cukup tua aku lahirkan ke
permukaan berupa tetumbuhan yang kau makan. Kadangkala aku harus susah payah
melahirkan pula bersama letusan gunung. Darah lahar bercampur dengan janin-janin
yang sudah cukup tua untuk kulahirkan ke permukaan dalam bentuk emas, besi, batu
bara, minyak bumi semuanya untuk kalian anak cucu manusia.
Tapi kalian, dasar makhluk yang
tidak tahu diri. Kalian tidak pernah sabar menunggu aku mengandung hingga cukup
usia. Kalian menggali, memporak-porak porandakan rahimku. Mengambil paksa
janin-janin yang masih prematur. Membolak balikkan tubuhku. Yang harusnya
menonjol kalian ratakan, yang seharusnya berlubang kalian timbun. Lantas ketika empeduku bereaksi
dan meracuni istrimu kau mau protes!
Demi Tuhan semesta alam yang telah
lalai memberikan kalian kepintaran yang menghancurkan,aku senang empeduku itu
akhirnya mengaliri darah kalian, memurunkan kepintaran kalian yang sudah
berlebihan itu.
Tapi, Tuhan tidak pernah lalai ibu. Aku ingin berkata seperti itu,
namun tampaknya Ibu bumi sedang murka dan tak mau mendengarkan apapun.
Setidaknya kalian jadi cukup bodoh
untuk bisa menggali gali rahimku lagi.
Aku terdiam. Dialog imajinerku dengan ibu bumi berujung
buliràn air di sudut-sudut mataku.
Tapi Tuhan tidak pernah lalai. Aku bicara seperti itu lebih kepada
diriku sendiri.
Apakah kau pernah peduli janin ku
yang mana yang kalian tarik paksa dari rahimku? Tidak bukan? Jadi kenapa aku
harus peduli, anak manusia yang mana yang aku racuni dengan empeduku?
Tapi saya sangat mencintainya Saya
jatuh cinta karena kecintaannya padamu.
Sudahlah anak muda. Eh, siapa namamu
tadi? Erland? Biarlah jasad istrimu ini menjadi janin dalam rahimku. Hingga
pada waktunya ketika fossilnya cukup tua untuk kulahirkan dalam bentuk minyak
bumi. Kalian-kalian juga yang menikmati. Ingat! Rahimku tak perlu kalian bor
dengan alat-alat canggih itu. Akan kulahirkan ketika sudah waktunya. Sekarang
pergilah. Aku mau istirahat. Dan jangan buat ulah!
Aku memandang sungai Sangatta dari atas ketinting yang
tertambat di dermaga. Aku menangkupkan kedua telapak tangan membentuk wadah dan
meraup air kecoklatan dari badan sungai itu. Meminumnya. Biarlah empedu ibu
bumi yang beracun mengaliri darahku juga. Aku ingin hidup bersama Ufairah dalam
rahim ibu bumi.
Sepuluh menit berlalu namun tidak terjadi apa-apa padaku.
Mana timbal yang telah meracuni Ufairah. Kenapa timbal itu tidak meracuniku?
Rasa sakit hatiku bertambah-tambah. Oleh dialog imajiner dengan ibu bumi, oleh
air sungai Sangatta yang tidak meracuniku.
Aku melirik laptop yang kugeletakkan begitu saja di atas
ketinting. Aku meraihnya dan membuangnya ke sungai Sangatta. Semoga ada buaya
yang salah mengira itu santapan dan memakannya. Aku sudah lelah mengerjakan
tesisku. Semoga professor Ilham-dosen pembimbingku- nmengerti aku tidak ada
niat lagi menyelesaikan kuliah magisterku.
_selesai_
Silahkan memberikan saran, masukan, kritikan paling pedas sekalipun pada kolom komentar.
ciaooo ~~
0 comments:
Post a Comment