Wednesday, January 20, 2016

Moccacino Maut

Suami.

Apa yang dia tahu soal kopi? Mau sok jadi penikmat kopi tapi selalu saja pesan moccacino. Penikmat kopi itu harus tahan menyesap getirnya expresso. Dan supaya dia rahu bahwa expresso itu tidak lebih pahit daripada kata-kata yang sering dia lontarkan padaku. Sebelas bulan pernikahan. Harusnya dia mulai belajar bagaimana menghormati suami.

"Sayang,jadi kamu ngopi sama temanmu?" Tanyaku pada wanita cantik yang sebelas bulan lalu resmi menjadi istriku itu.

"Jadi. Ini sudah mau berangkat" katanya sambil menyapukan bedak sekenanya di wajah.

"Di tempat biasa?"

Dia hanya mengangguk lalu mengambil tas dan melenggang pergi. Lihat betapa angkuhnya dia.


Pelayan Cafe Elit.

Perempuan itu lagi. Rasanya mau mati kalau setiap hari harus lihat dia. Pelanggan paling menyebalkan yang pernah aku temui. Tapi dia punya kartu kenggotaan di cafe ini.  Kartu yang hanya dimiliki segilintir orang. Kartu yang membuat kami, pelayan, harus melayani mereka dengan service yang lebih daripada pelanggan biasa. Dan itu berarti harus berlapang dada juga dicaci maki karena sebab-sebab sepele. Tatakan gelas yang kurang bersih, moccacino yang kurang manis, meja yang tidak licin. Ada-ada saja. 


Mitra bisnis.

"Bagaimana pun juga saya tidak akan menerima rencana akuisisi ini" Ujarku pasti. Sepasti gravitasi. Sepasti matahari terbit di sebelah Timur esok hari.

"Nggak usah naif. Saudara-saudaramu Yang lain sudah setuju dengan rencana akuisisi ini. Lagipula pilihannya cuma akuisisi atau kerjasama ini berakhir" Wanita itu berkata angkuh. Aku hanya terdiam memendam kejengkelan yang sudah di ubin-ubun.

Menghentikan kerjasama artinya memangkas 70% omzet perusahaan keluarga kami. Tidak bisa dipungkiri perusahaannya adalah pembeli dominan yang sudah bertahun-tahun menyumbangkan profit bagi kelangsungan usaha keluargaku. Usaha yang setengah mati aku pertahankan.


Sahabat Karib

Lihat dia. Cantik. Kaya. Pemilik perusahaan penjual perhiasan paling terkenal di kalangan sosialita di kota metropolitan ini. Untuk apa dia membicarakan bisnis di tengah- tengah  reuni kami? Mau menunjukkan bahwa dia masih superior dibandingkan aku? Belum cukupkah dia merasa puas telah merebut laki-laki yang seharusnya menikahiku setahun yang lalu? 

* * *

"Bagaimana? Kamu mau menerimanya tawaran akuisisi itu?" Aku tersenyum. Yakin dengan keputusanku Kali ini. Aku menunggu jawaban mitra bisnisku itu sambil menyeruput dari cangkir moccacino ku. Oh ya, Siapa yang memesankan moccacino ini ya?

***
Wanita itu kejang-kejang sebelum akhirnya rubuh ke lantai. Cangkir berisi cappucino tumpah dan pecah tidak jauh dari tubuhnya yang kini terbujur kaku. Busa membanjir di bibirnya yang mebiru. Matanya melotot. Pupilnya mengecil. Tanda-tanda kehidupan baru saja pergi dari wajahnya yang cantik.
Mati diracun.

***
Kisah ini hanya fiktif belaka.

#OneDayOnePost
#HariKeDelapan

3 comments:

  1. Wah kalo dari cerita, semua bisa jadi pelakunya ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahhahaha...iyya mbak annida. Saya pun tidak tahu siapa pelakunya.

      Delete
  2. Heheh ceritanya keren.terinspirasi dari kasus kopi maut kah?

    ReplyDelete