Saturday, January 19, 2013

Negeri Para Lelaki

(Cerpen ini saya bikin pas kuliah kira-kira smester 5. itu sekitar tahun 2010. Niatnya untuk diikutsertakan dalam lomba menulis cerpen yang diadakan FLP rantng Unhas. Tapi ga terpilih jadi juara pemirsah..jadinya saya upload di sini saja untuk konsumsi publik. :D)



ALIF

            Bahan tugas akhir yang kian hari kian mendekati deadline berhamburan di meja server di depanku saat gadis itu menghampiriku.
            “Berapa?” tanyanya singkat, cukup membuatku terhisap kembali ke dunia nyata setelah berpuluh-puluh menit menggarap skripsi selepas asistensi tadi siang di kampus. Dan juga kelengkapan berkas S2 yang sangat ribet ini.
            “oh..10.000” jawabku singkat.
            Ia menyerahkan lembar 10.000-an dan berlalu pergi. Ekor mataku masih mengikuti kepergiannya. Salah satu juniorku di kampus. Gadis dengan misi penyetaraan gendernya yang begitu kuat ia pegang teguh.
            “Godhul bashar,,akhi(1)” Ikaz menyikutku menggoda.
            “Astaghfirullahaladzim. Dia juniorku ko’..”tangkisku cepat dan ku tau dari kerlingan mata Ikaz, ia masih hendak menggoda. Maka dari itu, aku cepat-cepat beranjak.
            “ane liat antum(2) sering perhatikan tu cewe’..dia langganan warnet ini kan?” sayup-sayup masih terdengar ejekan Ikaz. Aku menggeleng pelan.

NAMIRAH
Oktober, 2007
            Fakultas ini seperti kerajaan. Eh, bukan. Ini miniatur Negara, aku pernah dengar salah seorang seniorku mengatakan hal itu. Ya, ini Negara. Negrinya para lelaki. Aku benci laki-laki!! Mereka sok kuat,sok paling bisa, menjunjung tinggi poligami, yang pada dasarnya adalah jelmaan nafsu mereka semata dan bukankah presiden Negara ini kesemuanya adalah laki-laki?? (Well, kita tidak sedang membicarakan ibu Megawati Soekarno Putri) tapi mana?? Kedikdayaan dan kehebatan yang selalu mereka agung-agungkan itu sama sekali tidak membawa dampak besar bagi Negara ini.
            Dan yang menelantarkan aku dan ibuku juga laki-laki! Hah!! Hebat sekali mereka!
Jadi sepertinya, aku salah masuk fakultas. Harusnya waktu SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) 3 bulan lalu, aku tidak mempertimbangkan fakultas ini sebagai pilihanku sama sekali. Lihatlah, hampir 2/3 dari isi fakultas ini laki-laki. Makhluk sombong dan arogan.
            “siapa yang bersedia jadi ketua angkatan?” salah satu senior, entah angkatan  berapa menanyai kami, para mahasiswa baru.
            Secepat kilat aku mengangkat tangan. Sejak SMA aku terbiasa bersaing secara sehat, tidak peduli perempuan atau laki-laki dan sejak kecil aku dididik sangat mandiri oleh ibuku yang single parent itu. Aku sama sekali tidak mengenal ayahku. Jadi sekarang saatnya aku membuktikan bahwa perempuan juga bisa lebih hebat dari laki-laki.
            “tidak ada yang laki-laki ya??” senior itu bertanya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan tempat kami, para mahasiswa baru dikumpulkan.
            “saya kak” suaraku lantang! Jengkel, merasa dicueki.
            “oke, kalo tidak ada yang bersedia mengajukan diri, akan ditunjuk wakil dari tiap jurusan”
            “tapi kak…”aku masih bersikeras. Kenapa harus menunggu ada laki-laki yang mengangkat tangan?
            “Dek, tugas ketua angkatan itu berat, tanggung jawabnya besar. Jadi sebaiknya, temanmu saja yang laki-laki”
            Lihat,lihat betapa arogannya mereka. Dan sangat underestimate terhadap kaum wanita. Lihat itu!
            Seorang ketua angkatan wajib dipilih tiap tahun di fakultas kami. Terserah dari jurusan apa. Tujuannya adalah memilih sosok yang kelak akan dijadikan perwakilan dari angkatan itu sendiri demi menjaga kekompakan angkatan. Tugas ketua angkatan sendiri antara lain adalah penyalur aspirasi-aspirasi anggota angkatannya juga sebagai konektor dengan angkatan-angkatan lain maupun organisasi-organisasi yang ada ada dalam fakultas. Dan setahuku, selama entah berapa puluh tahun tradisi ini berlangsung, mereka tidak pernah mengangkat ketua angkatan yang bergender wanita. Sungguh diskriminasi yang terang-terangan.
***

            “masih nggak terima soal kemarin, Mi?” Tiwi menyikutku sambil berbisik mencegah dosen kalkulus mendengar suaranya. “pastilah senior-senior itu punya perttimbangan kenapa mengharuskan laki-laki yang jadi ketua angkatan”
            “entahlah Tiw, sama sekali nggak masuk pikiranku” ketusku. Masih tetap berbisik. “kita perempuan, ko’ dimana-mana selalu di nomor duakan ya?”
            “karena di fakultas ini perempuan minoritas,Mi. Bayangkan seorang perempuan memimpin mahasiswa  seangakatan yang sebagian besar laki-laki. Mau jadi apa? Emang kamu sanggup?”
            “alah,bahasa pembenaran aja itu. Kalo nggak dicoba mana tau??”
            “sayangnya ini bukan ajang coba-coba,Mi” selah Tiwi “yang namanya ketua angkatan itu kan dipilih sekali seumur hidup. Sekali maju, pantang mundur. Hehehe”


Januari, 2008
            “10.000” jawab cowok penjaga computer server warnet Kaktus, tempat ngenet favoritku. “ketua panitia untuk kegiatan sebesar itu tanggung jawabnya juga besar. Tidak perlu kesal kalo kamu tidak terpilih”
            Aku terkejut. Kenapa orang ini tau kalo aku masih kesal karena tidak terpilih, untuk yang kesekian kalinya, di negri para lelaki itu sebagai ketua panitia untuk salah satu kegiatan seminar di himpunan jurusan.
            Aku memaksa otakku mengingat-ingat wajah yang tampak familiar itu. Yah, dia memang sering menjaga computer server tiap kali aku ngenet di tempat ini. Tapi selain disini…astaga!!!oh, iya ya...dia akan senior di jurusanku. Kalo tidak salah angkatan 2005.
            “bagaimana mau bisa kalo tidak pernah dikasih kesempatan??” ketusku. Tidak peduli dia senior. Kejengkelanku memuncak. “isu penyetaraan gender itu sudah klasik. Kenapa di himpunan malah belum di terapkan sama sekali?”
            “genteng warnet ini ada yang bolong. Bisa tolong perbaiki?” tanyanya tanpa mempedulikan argumenku.
            “apa?”aku tersentak. “kenapa suruh saya?”
            “lho? Katanya mau menuntut penyetaraan gender? Jadi nggak apa2 dong kalo suruh perempuan perbaiki genteng juga”
            “penyetaraan gender bukan yang kayak gitu..”
            “jadi?”
            “penyetaraan  hak”
            “kenapa cuma hak yang minta disetarakan? Kenapa kewajibannya tidak?”
            Aku tidak menjawab. Jujur, bingung hendak menjawab apa atas argument senior ini.
            “gender itu awalnya dicetuskan oleh Robert Stoller yang lebih merujuk pada perbedaan biologis antara pria dan wanita. Bentukan alamiah kedua jenis kelamin yang berbeda ini yang kemudian membedakan mereka dalam tugas dan tanggung jawabnya kemudian. Kalo dalam bentukan sosial, kata siapa laki-laki dan wanita dibedakan di kampus kita?”
            “nah itu? Kenapa cewe’ gag pernah terpilih jadi ketua angkatan atau jadi ketua panitia acaranya himpunan?”
            “kembali lagi pada perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis. Lihatlah peran dan fungsi ketua angkatan ataupun ketua panitia kegiatan khususnya di jurusan kita sekarang? Bukankah keduanya benar-benar butuh tenaga ekstra? Dan secara biologis juga, bukankah laki-laki memang lebih kuat fisiknya di banding wanita? Semuanya kembali pada esensi dan tujuan dari kepemimpinan itu sendiri” jelasnya panjang lebar
“kalau yang mengandalkan akal dan kecerdasan,  silahkan kamu bersaing dan mengajukan diri. Siapapun berhak jadi pemimpin. Meskipun saya sendiri akui, banyak diantara mahasiswa-mahasiswa di fakultas kita yang masih kolot soal perbedaan gender ini. Tapi silahkan buktikan kalo kamu bisa. Begitulah cara kami menghargai perempuan di kampus. Dengan tidak membebaninya dengan hal-hal yang sekiranya di luar kemampuan fisik kewanitaannya. Sama sekali tidak ada indikasi diskriminasi. Dalam Islam kan juga tidak ada perbedaan. Kamu Islam kan?”
Aku mengangguk pelan. Masuk akal juga. “eh, tapi kak…poligami…”
“sudah adzan” ia menyela saat terdengar adzan maghrib berkumandang lalu bernjak dan menghilang dari pandanganku.


Desember, 2009
             “saya tidak tau apa yang membuat kamu menilai laki-laki seburuk itu” gumamnnya setelah mendengar pemaparanku yang panjang lebar mengenai betapa arogannya laki-laki dan betapa mereka memandang kaum wanita sebelah mata.
            “punya trauma masa silam ya??” tambahnya dengan nada bercanda. Tapi dia sama sekali tidak tau kata-katanya itu  tepat menghujam jantungku.
Entah sudah sesering apa diskusi-siskusi singkat kami mengenai perbedaan gender terjadi. Tiap kali aku membayar bill seusai ngenet di warnet Kaktus ini. Dan selalu saja seperti ini. Dia duduk di balik meja servernya tanpa pernah menatapku bahkan saat berbicara padaku. Dan aku berdiri sambil menyerahkan uang tagihan.
“coba saja nanti calonkan diri jadi ketua himpunan untuk periode mendatang. Kepengurusan periode ini sudah mau berakhir kan?”  tambahnya.
Hebat sekali orang ini. Jarang terlihat di kampus apalagi himpunan, tapi informasi seputar jurusan dan kampus update terus.
“kakak jarang ngampus ya?” pertama kalinya pertanyaanku keluar dari topik pembicaraan masalah gender.
Ia diam tak menjawab.

Februari, 2010
            cieee…yang terpilih jadi calon ketua himpunan..”Tiwi menggodaku.
            Aku membalas godaannya dengan senyum. Yah, aku akhirnya mempertimbangkan usulan penjaga warnet itu..hey aku bahkan tidak tau namanya!!!..untuk mengajukan diri menjadi calon ketua himpunan periode ini. Dan sejauh ini, aku terbukti bisa melulusi semua jenjang tesnya. Dan kupastikan akulah yang pertama kali dalam sejarah, dari kaum bergender wanita yang menjabat posisi ketua himpunan di negri para lelaki ini.
***

            “hai kak” aku menghampiri meja server warnet Kaktus.
            “nomor berapa?” tanyanya.
            “saya nggak on line”
            Ia menatap sekilas ke arahku. Lalu memalingkan kembali wajahnya ke computer server di depannya.
            “melanjutkan soal poligami yang tempo hari pernah saya tanyakan” pancingku. Aku baru menyadari, orang ini sama sekali tidak tertarik untuk membahas masalah selain tentang gender.
            “gag akan pernah ada habisnya kalo membahas soal poligami. Kenapa? Karena yang lelaki terpelintir dengan nafsunya, dan yang wanita sibuk dengan emosinya. Hal ini tidak akan pernah bertemu. Membicarakan isi kitab suci, harus dengan hati yang suci juga” jawabnya. Matanya tidak lepas dari computer server.
            “alah. Bahasa pembenaran lagi”
            “jadi, kamu meragukan kitab suci nih? Kamu Islam kan?”
             “bukannya meragukan, tapi seolah-olah laki-laki saja yang diuntungkan”
            “siapa bilang??Dalam Al-Quran jelas ada ayat tentang itu, terlepas dari kontroversi di masyrakat sekarang. Hal itu dibolehkan dan ada dalam dimensi keagamaan. Tidak ada yang diuntungkan. Tidak ada yang dirugikan. Tadabburi Al-Quran. Jangan hanya mencernanya sepotong-sepotong”
            Aku terdiam. Jujur kalo sudah menyangkut agama,  rasanya tidak ada yang bisa dibantah. Ah,, tapi tetap saja kalo soal poligami jelas menguntungkan laki-laki.
            “sebenarnya yang jadi maslah bukan laki-laki atau perempuan. Tapi cara pandang kita saja yang berbeda. Saat kamu bilang laki-laki dinomor wahidkan dan perempuan sebaliknya, lalu mengapa surga adanya di telapak kaki ibu? Kenapa Rasul memertintahkan menghormati ibumu 3 kali lebih banyak dibanding ayah. Semuanya seimbang dalam tatanan kehidupan. Cara pandang saja yang perlu diperbaiki”
            Aku terperangah
            “kamu Islam kan?” tanyanya lagi.
            Aku mengangguk pelan. Entah untuk yang kesekian kalinya. Dan entah apa juga alasannya bertanya seperti itu berulang-ulang.
            “kalau begitu, jangan buat saudaramu yang bukan mahram menikmati dosanya”
            Kali ini aku tercekat. Bagaikan ada paku raksasa  dihujamkan dari atas kepalaku menembus lantai warnet tempatku berdiri.
Aku tau ini pasti sindiran tentangku yang belum juga berhijab.
***

            Setelah itu aku tidak pernah melihat penjaga warnet itu lagi. Tidak di kampus, tidak juga di warnet. Kecuali saat ia memakai toga  merayakan kelulusannya di jurusan  beberapa waktu lalu.
            Masalah gender mulai memudar dari hari hariku sebagai ketua himpunan jurusan. Ya, aku terpilih dan berhasil membuktikan bahwa bentukan social dan kedudukan di masyarakat memang sama sekali tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki. Yah, meskipun masih ada sebagian orang yang kolot pada prinsipnya mengenai kodrat wanita yang katanya nomor dua dibanding pria. Biarkan saja. Bukankah segala seusatu  selalu memiliki dua sisi mata uang? Dan toh, dimata Allah saja tidak ada perbedaan seperti itu. Yang membedakan hanya kadar iman dan ketakwaan kita.
***

ALIF
Tokyo, 2013
            Sakura beramai-ramai menggugurkan daunnya membuat trotoar seperti beralaskan karpet merah muda. Musim gugur ketigaku di negeri matahari terbit ini. Tidak sia-sia bersusah-susah mengurus berkas S2 ke TODAI(3). Benar-benar pencapaian terbesar saat usaha kita terbayar.
            Aku mempercepat langkah kakiku. Ada kelas di kampus Nakano. Orang-orang Jepang sangat disiplin. Terlebih Profesor Hattori. Terlambat sedikit saja pasti disuruh tutup pintu dari luar, alias tidak di ijinkan mengikuti kelasnya!
            “doumo sumimasen(4)” saking terburu-burunya aku menabrak seorang wanita berkimono.
            “kakak??”
            Aku terperanjat. Mengernyitkan kening berusaha mengenali wajah wanita yang baru kutabrak itu.
            “saya Namirah. Masih ingat? Junior kakak waktu kuliah dulu?”
            “ah..ya!!!” seruku. Mana mungkin lupa tentang cewe’  dengan misi penyetaraan gendernya ini.
            “ohisashi buri desu ne. O genki desuka(5)” tanyanya.
            “hai. Genki desu(6)”  jawabku. “ngapain disini?”
“isi seminar. Saya sudah 1 bulan di Nakano. Senpai(7) sendiri?”
“saya kuliah S2 di TODAI.  Kalo boleh tau seminar apa ya?”
“Tentang peran wanita di era teknologi sekarang” jawabnya.
“ah,,I’m not surprise!!” seruku bercanada. “masih penasaran soal gender rupanya”
Ia tersenyum “Insya Allah tidak kak. Bukankah semuanya seimbang dalam tatanan kehidupan?”
 Aku mengangguk menyetujui “Oh, ya..maaf sekali saya lagi buru-buru. Ada kelas sebentar lagi. Mata ai masho(8). Assalamualaikum”
“ah, afwan senpai…(9)” serunya mencegah langkahku.
Aku berbalik. Kimono yang dikenakannya senada dengan warna sakura yang berguguran itu. Dan ujung jilbabnya menari-nari tertiup angin musim  gugur.
“o namae wa??(10)” tanyanya.   
***

nb : Picture by google

Catatan
(1)Godhul bashar, akhi (arab)  : Jaga pandangan,saudaraku.
(2)Antum (Arab) : Anda (laki-laki)
(3)TODAI (Tokyo Daigaku (Jepang)) : Universitas Tokyo
(4)Doumo sumimasen (jepang) : Maaf
(5)Ohisashi buri desu ne. Ogenki desu ka (jepang) : Lama tidak bertemu. Apa kabar?
(6)Hai. Genki Desu (jepang) : Baik-baik saja
(7)Senpai (jepang) : kakak tingkat / senior
(8)mata ai masho (jepang) : sampai jumpa lagi
(9)afwan (Arab) : Maaf
(10)Onamaewa (jepang) : siapa namamu?

0 comments:

Post a Comment