Saturday, April 23, 2016

Dialog pada Bumi


Sebuah cerpen yang saya ikutkan dalam lomba Green Pen Award 2016 yang diselenggarakan oleh Perum Perhutani namun belum beruntung sehingga belum terpilih.

Saya posting untuk dinikmati teman-teman sekalian dan syukur-syukur jika dapat kritikan super pedas. hehehehhe


Gambar dari sini


  
Tidak pernahkah kau berpikir bahwa alam sangat welas asih? Ibu bumi-dalam pikiranku planet bumi berjenis kelamin perempuan- telah menyediakan segalanya sesuai dengan takaran yang sangat berimbang. Oksigen yang kau hirup itu, tumbuhan yang kau makan itu, buaya yang kulitnya kau jadikan sepatu itu. Alam sangat welas asih pada makhluk bernama manusia. Sekaligus sangat  kejam. Aku percaya itu.

Dear, Bro Erland.
Kau tidak akan percaya apa yang saya temukan di sini. Objek penelitian yang sangat kau butuhkan untuk tesis S2 mu itu! Segeralah tutup buku tebalmu yang bikin sakit kepala dan angkat bokongmu dari kursi putar karena kau harus menempuh perjalanan jauh ke sini. 2 jam di udara dan 6 jam di darat.
Regards,
Fariz.

            Aku sudah menutup laptop dan mengangkat bokongku dari kursi putar yang terdapat di dalam ruang kerjaku sejak 48 jam yang lalu tanpa membalas email dari sahabat kuliahku itu. Awas saja dia jika email itu hanya leluconnya karena sekarang aku sedang berusaha untuk tidak memuntahkan isi makan siangku. Perjalanan enam jam dari bandara Sultan Aji Mahmud Sulaiman, dengan medan jalanan rusak dan terjal, sukses mengocok perut dan menaikkan asam lambungku. Perjalanan panjang menuju ke masa lalu.
            “Kita sudah sampai” Erna, saudari kembarku, yang kupaksa mengikuti perjalananku ke rimba Kalimantan berujar. “Itu temanmu”.
            Aku mengikuti arah telunjuk Erna yang duduk di bangku depan di samping supir yang kami sewa beserta kendaraannya dari Balikpapan menuju Sangatta. Untung kami tiba sebelum gelap.
            “Hai, bro Erland! Selamat datang di hutan Kalimantan. Tempat dimana seharusnya kau berada!” Fariz menyambut dengan rangkulannya yang agak menyesakkan dadaku begitu aku turun dari kendaraan sewa kami. “Bukankah di hutan seharusnya seorang Mine Engineer berada?”
            “Mari berdoa semoga disini tidak ada nyamuk anopheles supaya kita bisa pulang dengan selamat tanpa membawa bibit malaria” Erna keluar dari mobil-beserta seluruh perlengkapan laboratoriumnya- dan membanting pintu mobil sewaan itu dengan keras. “Sialan, supir itu minta bayar lebih!”
            Fariz tampak terkejut mendapati keberadaan Erna di sana. Namun tetap menyahut “Setahuku, nyamuk anopheles cuma ada di Papua bu dokter. Atau bagaimana kah? Sudah migrasi ke sini juga kah?”
            Erna hanya mengerling tajam ke arah Fariz.
            “Kenapa kau bawa dia ke sini, Bro?” Fariz berbisik padaku.
            “Aku membutuhkan dia untuk menguji kebenaran kata-katamu di email”
            “Ya, Tuhan Erland. Kau tidak percaya kata-kataku. Bukankah kita soulmate waktu kuliah?”
            Aku tidak menyahuti kata-kata Erland lagi. Tadi apa katanya? Selamat datang di hutan Kalimantan? Apakah dia lupa waktu studi tour saat kuliah dulu ke salah satu perusahaan pertambangan batu bara di Sangatta dia duduk di sebelahku sepanjang perjalanan dengan bis? Lagipula muntahnya lebih banyak daripada muntahku.
            Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Empat tahun tidak banyak merubah tempat ini. Arus sungai Sangatta yang mengalir pelan, tumbuh-tumbuhan hutan  menyeruakkan bau yang sangat khas, ketinting di dermaga.
Hari sudah tua ketika itu, nyaris empat tahun yang lalu, saat ketinting yang sudah lelah kami-aku dan Fariz-tunggui akhirnya datang juga. Ide mengunjungi Taman Nasional Kutai untuk melihat orang utan adalah murni ide Fariz. Kegiatan itu sama sekali tidak ada dalam agenda kunjungan Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan yang sedang kami ikuti ketika itu.
            “Kapan lagi kita bisa lihat saudaramu secara langsung, Bro. Mumpung kita sedang di Sangatta” Ujar Fariz saat membujukku kala itu.
            Untuk mencapai Taman Nasional Kutai kami harus menelusuri sungai Sangatta dengan ketinting selama kurang lebih 30 menit. Saat sedang menunggu ketinting itulah aku pertama kali bertemu dengannya. Nurul Ufairah. Dia ada di atas ketinting yang sedang kami tunggu. Baru kembali dari area konservasi orang utan bersama rombongan LSM bernama “save orang utan”. Ketika aku menjabat tangannya ia memperkenalkan diri sebagai salah satu mahasiswa Ilmu Kesehatan Lingkungan semester akhir di Universitas yang sama dengan tempatku menimba ilmu di Kota Daeng, Makassar. 2 tahun kemudian, gadis berwajah oval dan berlesung pipi itu aku nikahi.
            “Erland! Itu serius?!” Seruan Erna yang keras dan nyaring menyadarkanku dari lamunan. Aku seperti dihisap kembali ke dunia nyata dan dengan gelagapan mengikuti arah telunjuknya pada papan besar bertuliskan ‘Hati-hati Ada Bauaya/ Binatang Buas’” .
            Tidak jauh dari tempat Erna berdiri Fariz tertawa terbahak-bahak sampai mukanya memerah. “Ayo cepat kita melapor ke kantor desa sebelum gelap.” Katanya kemudian lalu mengisyaratkan kami untuk segera menaiki mobil perusahaannya.
            Setelah lulus kuliah Fariz bekerja di perusahaan pertambangan batu bara yang kami kunjungi ketika kuliah dulu, sedangkan aku memilih untuk melanjutkan usaha orang tuaku di Makassar. Mobil 4 WD yang dikemudikan Fariz melaju gagah membelah ruas jalan desa yang mulai gelap.  
            “Kau tidak bilang di sini banyak buaya!” Erna kembali berseru padaku “Sungai yang banyak buayannya itu kah yang harus aku sampling airnya? Astaga, Erland. Kita mungkin saja tidak mati karena malaria, tapi mati digigit buaya.”
            Fariz kembali tertawa demi mendengar ocehan Erna. “Tenang saja bu Dokter, buktinya saya bisa survive selama hampir 4 tahun bekerja di sini”
            “Kau ini aneh, kenapa kau mau-mau saja membantu penelitianku? Yang mau saya angkat di tesisku ini adalah dampak pencemaran yang sudah dilakukan oleh perusahaanmu. Kau bisa saja dipecat karena membocorkan rahasia perusahaan nantinya”
            “Makanya, kau tidak usah tulis namaku di kata pengantar tesismu nanti, Bro” Sahut Fariz santai. “Nah, ini kita sudah sampai di kantor desa. Mari melapor lalu kalian bisa istirahat di rumah Pak Bayu. Saya sudah kasih tahu Pak Bayu soal kalian. Beliau bersedia. Nanti setelah urusan selesai kasih saja uang listrik dan pembeli beras.”
            “Tunggu, kau bilang sama dia saya mau teliti anaknya?!”
            “Tidak lah bro! kau gila apa? Lagian, Pak Bayu tidak akan percaya meskipun saya beritahu. Ayo cepat kita turun dan melapor.”
***


           


         Aku memandang deretan piagam penghargaan dan piala yang tepampang di ruang tengah rumah Pak Bayu. Semuanya dialamatkan pada nama Nilam Sekar. Juara Umum Lomba cerdas-cermat tingkat SD se-kota Balikpapan, juara satu lomba matematika tingkat provinsi, juara dua lomba debat bahasa Inggris. Lalu mataku mencari pemilik nama Nilam dan tertumbuk pada gadis yang sedang duduk menghadap jendela rumah. Pandangannya jauh ke depan. Melewati sungai sangatta, melintasi hutan rimba. Entah kemana.
            “Aurora, temanku yang psikolog itu, sudah mengirimkan hasilnya padaku. Tadi temanmu yang mengantarkan amplop ini” Erna membuka amplop yang dibicarakannya. Membacanya cepat. Lalu kembali berujar “Yap, konsisten dengan hasil penelitianmu, dengan metode Standford-Binet, IQ Nilam hanya 75”
            “Tolong bicara dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti” Selahku. Oh, ya saudari kembarku itu adalah seorang dokter yang saat ini tengah menempuh spesialis kandungan.
            Erna memutar kedua bola matanya lalu berkata “75 itu di bawah rata-rata. Rendah. Cenderung memiliki keterbelakangan mental. Mustahil bagi seseorang dengan IQ 75 memiliki deretan piala dan piagam yang sedang kau amati itu”
            “Kau sudah melakukan sampling pada air sungai itu?”
            “Sudah. Semuanya normal. Kadar timbal masih di bawah ambang batas. Tampaknya perusahaan mulai berbenah setelah banyak aktivis lingkungan yang protes. Tapi tidak dengan kadar timbal dalam sampel darah Nilam. 17.5 mcg/dL untuk sampel darah yang kuambil kemarin. Kau tahu, peningkatan kadar timbal dengan jumlah itu dapat menurunkan IQ sebesar 5 poin.”
            “Sudah kuduga” Gumamku. “Telah terjadi degradasi memori pada Nilam akibat pemaparan timbal ini. IQ nya menurun dibandingkan ketika SD dulu”
            “Sekarang apa yang akan kau lakukan?”
            “Orang tua Nilam harus tahu soal ini. Mereka harus tahu Nilam membutuhkan penanganan khusus. Kadar timbal yang terakumulasi dalam tubuhnya akan membunuhnya suatu saat nanti.”
            “Kau gila?!” Erna berseru dengan suara tertahan. Mengalihkan pandangannya ke arah Nilam sekilas, memastikan gadis 25 tahun itu tidak mendengar percakapan kami. “Keluarga ini hidup dari gaji hasil keja di perusahaan itu. Lalu sekarang kau tega bilang perusahaan itu yang membuat Nilam jadi begini?
Hanya ada aku, Erna dan Nilam di ruang tengah rumah Pak Bayu, ayahnya. Ibu Nilam sibuk di dapur. Ayahnya, tentu saja jam begini sedang bekerja di perusahaan tambang yang sama dengan tempat Fariz bekerja. Tidak tahukah dia perusahaan itulah yang telah membuat anaknya menjadi seperti sekarang? Tidak tahukah dia perusahaan itu yang mencemari badan sungai Sangatta dengan kadar Timbal yang sudah sangat mengkhawatirkan? Air sungai yang kemudian menjadi sumber kehidupan mereka. Sumber kehidupan yang bisa saja justru membunuh.
            “Kau pikir, saya mengambil kuliah Magister Kajian Ilmu Lingkungan, setiap minggu harus bolak balik Makassar-Jakarta untuk asistensi penelitian, merasa perlu bersusah-susah melakukan penelitian samapi ke hutan rimba, hanya kemudian untuk dapat gelar dan diam saja mengetahui fakta bahwa ada yang salah dengan kasus pencemaran timbal ini?”
            “Oh, ya? Wow! Mulia sekali tujuanmu. Bukannya kau susah-susah melakukan semua ini hanya untuk menebus rasa bersalahmu pada Ufairah? Dan saya bodohnya mau mengikuti semua ambisimu ini! Asal kau tahu, apapun yang akan kau lakukan, termasuk jika nanti penelitianmu ini mendapat nobel atau perusahaan itu akhirnya ditutup, itu semua tidak akan mebuat Ufairah kembali hidup. Tidak akan!”
            Aku terkejut mendapati Erna berbicara seperti itu padaku.
            “Saya sudah lelah Erland. Seharusnya, kau hanya cukup melakukan satu hal. Ikhlas. Ikhlaskanlah. Sudah dua tahun Erland!”
            Aku tidak menyangka Erna akan berbicara seperti itu padaku. Ikhlas katanya? Apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya? Siapa bilang aku tidak ikhlas dengan kematian Ufairah. Siapa bilang?
            Aku tidak tahan menghadapi saudari kembarku itu berlama-lama jika dalam keadaan seperti ini, maka aku memutuskan pergi meninggalkannya di rumah Pak Bayu. Di pintu keluar aku berpapasan dengan Erland.
            “Kau mau kemana, Bro?” Tanyanya.
            Aku tidak menyahut, namun masih sempat kudengar seruan Erna. “ Ya, pergi saja. Selalu begitu kalau kita membicarakan Ufairah. Aku harap kau dimakan buaya sungai Sangatta hidup-hidup!”
***
            Dua tahun yang lalu Ufairah sedang mengandung anak pertama kami. Ketika itu kandungannya berusia tiga bulan. Dia, dengan lesung pipinya yang seolah memiliki pusaran dan kerap membuatku terjebak, meminta ijin padaku untuk yang terkhir kalinya bergabung bersama LSM  save orang utan, menyaksikan kelahiran bayi orang utan di kawasan konservasi Taman Nasional Kutai.
 Kata dia, itu yang pertama sejak sepuluh tahun belakangan, orang utan dewasa akan melahirkan seekor bayi di kawasan konservasi tersebut. Kata dia, menjadi suatu kebanggaan jika bisa turut menyaksikan kelahiran binatang yang hampir punah itu. Dan lagi dia juga ingin turut berpartisipasi dalam kegiatan menanam sejuta pohon yang akan diadakan oleh sebuah LSM lingkungan hidup di sana.
Ufairah, dia sangat mencintai lingkungan dan terobesesi pada habitat hutan Kalimantan. Kecintaannya pada alam liar ini begitu besar, kecintaan yang membuatku jatuh cinta padanya. Dengan alasan bahwa setelah melahirkan dia akan melepas diri dari seluruh kegiatan peduli lingkungan tersebut dan akan berfokus pada anak kami, aku mengijinkannya. Ia berjanji hanya seminggu saja dan akan segera pulang kembali ke Makassar.
Seminggu kemudian Ufairah benar-benar pulang. Jasadnya. Demi memandang wanita yang tubuhnya pernah mengahangatkanku itu terbujur dingin dan kaku aku seperti terpaku ke permukaan bumi. Ikut kaku. Bersama peti matinya hanya ada selembar surat keterangan dokter yang menjelaskan penyebabnya meregang nyawa. Keracunan timbal.  
            Setahun setelah jasad Ufairah dimakamkan, Fariz datang mengunjungiku. Aku sedang berada di ruang kerjaku. Di atas kursi putar membolak-balik diktat kuliah. Sejak awal memutuskan untuk melanjutkan kuliah magister di bidang Kajian Ilmu Lingkungan, aku sudah tahu akan menyusun tesis seperti apa. Aku menceritakan tentang obsesiku mengkaji dampak pemaparan timbal pada manusia secara lebih mendalam. Aku mengatakan pada Fariz akan membutuhkan sampel untuk memperkuat hipotesis yang kususun. Kutakan padanya sampel itu haruslah orang yang terdampak timbal.
***
Hari sudah hampir malam. Ini malam ke tujuh sejak kedatanganku ke rimba Kalimantan. Malam kedua sejak pertengkaranku dengan Erna. Meskipun berkata sudah lelah, toh gadis itu juga tidak pergi meninggalkanku. Aku duduk di atas ketinting yang tertambat di dermaga. Memangku laptop dan memutuskan untuk segera menyelesaikan bagian penutup tesisku. Namun aku urung.
Kenapa ibu bumi? Kau merenggut anak manusia yang menghabiskan sisa umurnya untuk menyelamatkanmu?

Kau bicara tentang jasad istri dan jabang bayimu yang sekarang sedang bersemayam di dalam rahimku?

Belum genap setahun aku menikahjnya. Dia sedang mengandung jabang bayi kami. Calon anak kami.

Begitu pun aku! Aku mengandung janin janin dalam rahimku ini. Janin-janin yang ketika sudah cukup tua aku lahirkan ke permukaan berupa tetumbuhan yang kau makan. Kadangkala aku harus susah payah melahirkan pula bersama letusan gunung. Darah lahar bercampur dengan janin-janin yang sudah cukup tua untuk kulahirkan ke permukaan dalam bentuk emas, besi, batu bara, minyak bumi semuanya untuk kalian anak cucu manusia.

Tapi kalian, dasar makhluk yang tidak tahu diri. Kalian tidak pernah sabar menunggu aku mengandung hingga cukup usia. Kalian menggali, memporak-porak porandakan rahimku. Mengambil paksa janin-janin yang masih prematur. Membolak balikkan tubuhku. Yang harusnya menonjol kalian ratakan, yang seharusnya  berlubang  kalian timbun. Lantas ketika empeduku bereaksi dan meracuni istrimu kau mau protes!

Demi Tuhan semesta alam yang telah lalai memberikan kalian kepintaran yang menghancurkan,aku senang empeduku itu akhirnya mengaliri darah kalian, memurunkan kepintaran kalian yang sudah berlebihan itu.

Tapi, Tuhan tidak pernah lalai ibu. Aku ingin berkata seperti itu, namun tampaknya Ibu bumi sedang murka dan tak mau mendengarkan apapun.

Setidaknya kalian jadi cukup bodoh untuk bisa menggali gali rahimku lagi.

Aku terdiam. Dialog imajinerku dengan ibu bumi berujung buliràn air di sudut-sudut mataku. 

Tapi Tuhan tidak pernah lalai. Aku bicara seperti itu lebih kepada diriku sendiri.

Apakah kau pernah peduli janin ku yang mana yang kalian tarik paksa dari rahimku? Tidak bukan? Jadi kenapa aku harus peduli, anak manusia yang mana yang aku racuni dengan empeduku?

Tapi saya sangat mencintainya Saya jatuh cinta karena kecintaannya padamu.

Sudahlah anak muda. Eh, siapa namamu tadi? Erland? Biarlah jasad istrimu ini menjadi janin dalam rahimku. Hingga pada waktunya ketika fossilnya cukup tua untuk kulahirkan dalam bentuk minyak bumi. Kalian-kalian juga yang menikmati. Ingat! Rahimku tak perlu kalian bor dengan alat-alat canggih itu. Akan kulahirkan ketika sudah waktunya. Sekarang pergilah. Aku mau istirahat. Dan jangan buat ulah!

Aku memandang sungai Sangatta dari atas ketinting yang tertambat di dermaga. Aku menangkupkan kedua telapak tangan membentuk wadah dan meraup air kecoklatan dari badan sungai itu. Meminumnya. Biarlah empedu ibu bumi yang beracun mengaliri darahku juga. Aku ingin hidup bersama Ufairah dalam rahim ibu bumi.

Sepuluh menit berlalu namun tidak terjadi apa-apa padaku. Mana timbal yang telah meracuni Ufairah. Kenapa timbal itu tidak meracuniku? Rasa sakit hatiku bertambah-tambah. Oleh dialog imajiner dengan ibu bumi, oleh air sungai Sangatta yang tidak meracuniku.
Aku melirik laptop yang kugeletakkan begitu saja di atas ketinting. Aku meraihnya dan membuangnya ke sungai Sangatta. Semoga ada buaya yang salah mengira itu santapan dan memakannya. Aku sudah lelah mengerjakan tesisku. Semoga professor Ilham-dosen pembimbingku- nmengerti aku tidak ada niat lagi menyelesaikan kuliah magisterku.

_selesai_



Silahkan memberikan saran, masukan, kritikan paling pedas sekalipun pada kolom komentar.

ciaooo ~~

0 comments:

Post a Comment