Monday, April 2, 2018

Kisah Enam Orang Perampok dan Seorang Penulis



Konon,  6 orang perampok bermaksud menghabisi ketua geng mereka.  Alasannya,  karena mereka sudah ingin bertaubat,  tapi ketua geng selalu memerintahkan untuk berbuat kejahatan. 

Gambar dari sini

Malam itu,  ketua geng kembali mengajak mereka melakukan tindakan kriminal.  Mereka ingin menolak tapi tak berani.  Ingin turut tapi bertentangan dengan nurani.  Lalu ke 6 perampok bersepakat akan menghabisi ketua geng di perjalanan.  

Perjalanan tersebut ditempuh dengan perahu cepat.  Di tengah laut,  salah satu dari mereka menghantam kepala ketua geng dengan parang yang sudah disiapkan.  Setelah itu mereka menenggelamkan tubuh ketua geng ke laut.  Namun, tampaknya ajal tak semudah itu merenggut nyawa sang ketua.  Perahu baru berbalik menuju daratan beberapa meter,  ketika terdengar teriakan meminta tolong.  

Kawanan perampok itu memutar kembali perahu dan menarik ketua geng yang meronta dari permukaan laut. Di atas perahu mereka kembali menghajar ketua geng dan memastikan kali itu nyawa sang ketua sudah benar-benar lepas dari raga. 

Dalam keadaan panik keenam perampok membawa mayat ketua geng menuju daratan.  Mereka memutuskan untuk mengubur jasadnya di hutan terdekat lalu pulang ke rumah masing-masing seperti tak pernah terjadi apa-apa. 

Hari berganti bulan.  Bulan berganti tahun.  Manusia berkembang biak.  Rumah-rumah bertambah banyak.  Lahan kosong menyempit. Hutan rimba terhimpit. 

Di suatu pagi di hari libur,  warga desa bersepakat untuk gotong rotong membenahi hutan di pinggir desa mereka agar lebih ramah untuk dijadikan ladang bercocok tanam.  Mereka menebang beberapa pohon,  membersihkan belukar,  meratakan gundukan tanah seadanya.  

Ketika hari makin terik,  warga desa memutuskan untuk beristirahat sejenak.  Seorang lelaki yang tampak letih memilih sebuah gundukan di bawah pohon sebagai tempat beristirahat.  Ia duduk sambil mengatur napas. Parang yang dibawanya sebagai alat untuk menebang pohon dan belukar ditancapkan sekenanya pada gundukan tanah tak jauh dari tempatnya duduk. 

TOK!! 

Si lelaki terkejut dengan bunyi yang dihasilkan oleh parangnya. Ia menimbang dan berpikir mungkin parangnya menumbuk batu di dalam tanah.  Ia mencabut parang dan menancapkan kembali ke sisi lain gundukan. 

TOK!! 

Dituntun rasa penasaran lelaki itu memutuskan untuk menggali gundukan yang didudukinya.  Warga desa lain yang penasaran dengan apa yang sedang dicari si lelaki turut membantu penggalian tersebut.  

Beberapa saat kemudian semua yang menggali terperangah ketika sebongkah rangka manusia ditemukan di sana. Tidak butuh waktu lama untuk mengidentifikasi rangka itu adalah milik ketua geng perampok yang hilang tanpa jejak belasan tahun yang lalu. Pihak keluarga mengamini setelah melihat cincin yang melingkar di tulang jari dan mengingat-ingat baju terakhir yang dipakai ketua geng di malam ia menghilang. 

Suami saya menceritakan kisah di atas sambil mengingat-ingat kejadian di masa kecilnya ketika suatu hari rumahnya kedatangan enam orang dari kampung sebelah yang hendak bersembunyi dari pengejaran polisi.

Suami saya menceritakan kisah di atas setelah saya bercerita tentang seorang penulis yang belakangan lalu menjadi pembicaraan hangat karena konon sudah dua tahun melakukan tindakan plagiarisme namun baru ketahuan sekarang. 

Setelah bertukar cerita kami pergi tidur tanpa mengucapkan apa-apa lagi.  Tapi saya tahu kami bersepakat meski hanya dalam hati bahwa adalah persoalan waktu hingga suatu kejahatan terungkap dan bangkai terkuak. 


5 comments:

  1. Hanya persoalan waktu, tinggal menunggu.
    Keren, mba.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Amma.. Sehebat apapun bangkai disembunyikan pastinakan tercium baunya. Tapi Tuhan pun Maha baik menutup aib manusia. Aib yang sudah ditutup hendaknya tidak diumbar. Aib yang terpampang seharusnya menjadi pelajaran.


      Aduh, saya ngomong apa sih? ๐Ÿ˜…๐Ÿ˜…๐Ÿ˜…

      Delete
  2. Kenapa ya kalau baca tulisan penulis tuh tau tau udah abis aja.... ๐Ÿ˜…

    ReplyDelete