Saturday, November 4, 2017

Ketika Si Pengeluh Insaf

Saya adalah orang yang pandai mengeluh. Ada-ada saja hal yang bisa jadi bahan keluhan. Keharusan bangun sepagi itu,  jalanan yang begini macet,  jam absen di setel menjadi lebih maju dan saya kerap terlambat beberapa detik,  tangga lantai satu ke lantai dua yang sepertinya didesain tidak ergonomis sehingga bikin sakit pinggang,  tata letak komputer di atas meja yang tidak pas.  Dan so on.  Tapi sepertinya daritadi keluhan saya seputar kantor ๐Ÿ˜‚


credit



Lalu ketika jam istirahat siang dan kebetulan saya makan di luar,  saya melihat ibu-ibu menggandeng anaknya yang berseragam sekolah berjalan santai di trotoar.  Barangkali dia habis menjemput anaknya lalu mereka berjalan-jalan dulu sebelum pulang ke rumah. Di mana letaknya keadilan saat ibu-ibu itu jalan santai sementara saya harus buru-buru membayar makan karena sebentar lagi jam satu? 

Saya adalah manusia yang pandai mengeluh lalu entah bagaimana awalnya hal itu terjadi hingga sekarang kalau mau mengeluh saya merasa sedikit malu.  Malu pada diri sendiri. Malu pada orang lain. Keisengan saya dan sikap sok akrab saya ternyata kadang-kadang membawa hal positif.  

Jadi, suatu ketika ada satpam baru di kantor yang kebetulan ditugaskan menjaga di lantai tempat saya bertugas. Masih muda, sepertinya seumuran. Saya dengan sikap sok akrab mulai tanya-tanya asalnya,  kerja di sini sejak kapan,  berapa gajinya.  Kurang ajar kan tanya-tanya gaji orang.  ๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚

Entah karena Abang Satpamnya ini polos atau karena memang dasarnya baik hati dan jujur dia bilang bahwa dia satpam magang.  Baru kali itu kerja di kantor saya, kebetulan karena satpam seniornya pindah tugas.  Dan karena belum jadi karyawan tetap dia dibayar harian. Kalau tidak salah ingat dia menyebut angka Rp. 75.000,-/ hari. Saya cepat mengkalkulasi di kepala.  Rp. 75.000,- kali 20 hari kerja Rp. 1.500.000,- Itu dengan catatan kalau dia belum terganti dengan satpam tetap. 

Dia menceritakan itu dengan mata berbinar. Berulangkali mengucapkan sukur. Hal itulah yang sepertinya menjadi momentum dari kesadaran saya ๐Ÿ˜… (yang terlambat ini). 

Kita kerap berjalan sambil sibuk mendongak ke atas. Membanding-mebandingkan keadaan dengan orang lain yang lebih dari kita memang takkan ada habisnya.  Mengeluh itu pekerjaan yang sama mudahnya dengan melamun.  Gampang sekali dikerjakan. Tapi sedikit manfaatnya. Tapi,  hei,  sudahkah kamu menengok tukang sapu jalan yang harus bekerja sedemikian pagi untuk memungut sampah yang kau buang sembarangan? Sudahkah kamu menengok cleaning service yang mengepel lantai untuk kemudian kau injak lagi? Pernahkah kamu membayangkan sehari saja menjadi bapak-bapak tua yang menjajakan makan  siang di kantor?  Mereka semua itu melakukan pekerjaannya dengan ikhlas dan penuh kerelaan namun mengapa kamu tidak? 

Di atas sesungguhnya rentetan pertanyaan bagi diri saya yang pandai mengeluh. Bahkan Tuhan pun sudah berfirman, "Mintalah, maka akan kuberi." Kalau merasa lelah dan kesusahan sebaiknya kita kurangi keluhan dan perbanyak berdoa.  

Duh,  bijak banget tulisan saya. Sudah ah... 

1 comment:

  1. Mencoba mengurmeng mengeluh berarti membaca lebih dalam sekitar kita ya, Kak...

    ReplyDelete