Wednesday, October 4, 2017

Tentang Cinta Saya yang Dalam pada Tere Liye dan Eka Kurniawan.


Suatu ketika di akhir tahun 2015 saya melihat pengumuman sayembara menulis cerita anak islami yang diadakan oleh Pro U Media. Penerbit yang secara masif mengeluarkan buku-buku bacaan bernuansa religius. Dengan tidak ada maksud apapun selain ingin agar suatu saat nanti anak saya bisa saya dongengi dengan buku bacaan yang di dalamnya ada nama saya, sebut saja ini desakan naluri keibuan, maka saya disela-sela waktu antara pulang kantor yang larut dan jam tidur yang terasa tak pernah cukup,  mencoba untuk mengikuti sayembara itu. 


credit


Suami saya pesimis. Ia tahu saya hobi menulis dan sangat tergila-gila dengan buku bacaan,  tapi ini kompetisi tingkat nasional dan saya belum pernah menulis cerita anak sebelumnya,  yang Islami pula. Waktu itu dia menyuruh saya untuk tidur alih-alih menyelesaikan naskah saya. Dan saya memang tertidur dengan ponsel pintar dalam genggaman.  Aplikasi note terbuka. Naskah yang belum rampung. 

Awal tahun 2016 saya dinyatakan menjadi salah satu pemenang.  Hadiahnya bisa buat traktiran di Pizza Hut enam kali,  voucher belanja buku yang bukunya belum pula habis saya baca hingga saat ini,  belum lagi diundang untuk menerima penghargaan di acara Islamic Book Fair di Jakarta.  Tebak siapa yang menangis ketika membaca nama saya di pengumuman hasil lomba,  Juara 2 dari 2000 naskah yang masuk,  tak lain tak bukan suami saya.  Hahahah. 

Mengenai undangan menerima penghargaan itu saya tidak bisa pergi karena urusan pekerjaan yang cutinya ribet, jadi saya minta adik saya yang kebetulan saat itu kuliah di Bandung untuk mewakili.  

Tahun 2017 saat lebaran haji, adik saya satu-satunya itu mudik. Lalu kami bercengkrama dengan topik yang begitu random kemudian dia bercetus,  "Kemarin waktu terima penghargaannya Kak Na yang juara diundang sampai belakang panggung. Di sana ada Tere Liye dan Ustadz Salim A.  Fillah.  Mereka kasih Yono semangat untuk terus menulis. Mereka kira Yono yang menang lomba."  Lalu adik saya itu dengan entengnya tertawa terbahak-bahak. 

Apa?!  Ada Salim A.  Fillah dan Tere Liye? Saya bertanya apakah dia sempat foto bersama mereka? Adik saya menyahut ringan,  "Nggaklah.  Ngapain?"  Lalu saat itu ingin sekali saya jitak kepalanya. 

Saya jadi menyesal tidak berusaha datang ke acara tersebut.  Kalau datang saya akan minta foto bersama Tere Liye dan Ust. Salim.  Lalu itu pasti akan menjadi sesuatu yang dikemudian hari memicu semangat saya untuk terus menulis.  Karena saya mencintai tulisan-tulisan mereka. Pernah mencintai. 

Pernah suatu ketika saat SMA saya membeli buku berjudul "Nikmatnya Pacaran Setah Pernikahan"  yang ditulis oleh Ust.  Salim dan diterbitjan oleh Pro U Media.  Saya ingat sekali saking sukanya dengan buku itu saya sampai baca 2 kali.  Saya tidak tahu siapa itu Ust.  Salim dan saya tidak familiar dengan perusahaan penerbitan manapun. Bertahun-tahun kemudian saya memenangkan sayembara dari Pro U Media dan berkesempatan bertemu Ust.  Salim. Lihatlah bagaimana semesta telah memberi tanda. 

Saya pernah begitu mencintai buku-buku Tere Liye.  Suatu ketika saat pulang ke Manado di tengah libur semesteran dan adik saya kebetulan juga pulang, dia membawa koleksi Tere Liye dan saya ingat bagaimana saya jatuh cinta pada Sunset Bersama Rossie

Jauh sebelum itu saya dan adik saya adalah penggila komik Doraemon,  Conan,  One Piece,  Cerita Rakyat,  Cerita Nabi dan Rasul maupun dongeng-dongeng 1001 malam. 

Waktu SMP saya pembaca Mira W yang setia, takjub dengan Buya Hamka, terperangah dengan Sutan Takdir, mengoleksi Goosebumpsnya R.L Stine,  Trio Detektif,  Lima sekawan, serta menyicil membaca Harry Potter. 

SMA saya diwarnai dengan teenlit dan chicklit. Nama yang paling saya ingat adalah Ken Terate. 

Saat kuliah saya menghabiskan waktu dengan Andrea Hirata sama lamanya dengan rapat himpunan Teknik Mesin yang saya ikuti.  Tetralogi Twilight, Asma Nadia, Kang Abik juga bergantian nangkring di bawah bantal saya.  Saya terbiasa membaca sampai tertidur.  Kala itu sesekali membaca Ninit Yunita serta 5 CM. 

Saat mulai bekerja adik saya meracuni saya dengan biografi Muhammad-nya Tasaro GK.  Petani satu itu berhasil meramu buku biografi yang semestinya membosankan menjadi bacaan seasik Harry Potter.  Saya tidak bercanda dan saya terpukau. 

Saat kerja saya juga mulai membaca Ika Natassa dan jatuh cinta berulang kali karena merasa senasib. Ika Analis Kredit dan hobi menulis seperti saya.  Tapi dia bisa membagi waktunya dengan baik antara mencari prospekan dan menulis buku sementara saya mencari prospekan saja keteteran ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ.   Saya telah membaca seluruh buku Ika kecuali Underground yang diterbitkan indie.

Baca :

Balada Analis Kredit

Kemudian suatu ketika teman saya yang baik hati bernama Kunca memperkenalkan saya dengan Eka Kurniawan dan saya tergila-gila seketika.  Saya telah membaca seluruh buku Eka kecuali O dan Corat-coret di Toilet karena belum saya temukan keberadaannya di Gramedia Manado. Sesekali saya juga membaca kumpulan prosanya Dee Lestari. 

Tahapan kehidupan yang paling saya syukuri adalah masa kuliah karena di sanalah saya bertemu dengan suami saya yang tidak suka membaca dan lebih suka nonton Moto GP. Tahapan kehidupan yang paling saya sesali juga adalah masa kuliah karena tidak bergabung di UKM Sastra Unhas atau FLP ranting Unhas. Kenapa saya tidak gabung ya?  Itu masih menjadi misteri bagi saya hingga saat ini, karena kalau gabung barangkali saya akan mengenal Faisal Oddang secara personal dan bukannya lewat maha karya nya saja ๐Ÿ˜‚. 

Mengenai Faisal Oddang yang kurang ajar banget prestasinya di dunia sastra ini juga adalah hasil ngobrol dengan Kunca yang sambil lalu bilang soal pertunjukan boneka apalah itu yang mementaskan salah satu cerpen yang ditulis mahasiswa Unhas. Judul cerpennya 'Di Tubuh Tara dalam Rahim Pohon' . Dari situlah kekepoan saya pada Oddang meningkat.  Saya membaca Puya ke Puya lalu merasakan cinta yang sama yang muncul ketika saya bersama Eka. Ihik. 

Untuk menebus rasa bersalah saya,  maka saya sekarang aktif bergabung dalam komunitas-komunitas menulis online. Sebut saja KBM,  LRF,  CK,  Poncer, ODOP. Dari yang genrenya POP,  realis, surealis,  sastra koran,  reliji,  fiksi mini. Semuanya saya babat saja.  Saya haus akan ilmu kepenulisan ini. 

Saking  banyaknya komunitas menulis yang saya ikuti,  saya mulai merasa terkadang perbedaan genre ini membuat para penulis saling terkotak-kotak.  Ada yang menganggap Tere Liye bukan sastrawan karena konon katanya yang dia tulis bukan sastra dan memandang sebelah mata kepada Andrea Hirata.  IKa Natassa kalau tidak salah pernah tersinggung karena genrenya yang metropop itu tak diakui dalam dunia kepenulisan oleh beberapa orang tapi toh dia adalah bintang tamu di MIWF.  Ada apa?  

Ketika berada dalam suatu komunitas menulis lalu orang-orang mulai berbicara buruk tentang Tere Liye,  maka saya sakit hati karena saya pernah mencintai Tere Liye sedalam cinta saya kepada Eka Kurniawan. Kalau sekarang saya tidak membaca Tere,  bukan berarti saya telah membencinya tapi lebih kepada kondisi yang sudah berubah saja.  Saya adalah Ibu satu anak.  Saya tidak suka lagi membaca hal-hal yang berbau cinta-cintaan antar lawan jenis seperti jaman kuliah dulu. Eka Kurniawan menghadirkan cerita yang lebih kompleks daripada sekedar cinta yang tak sampai;  seperti manusia yang bangkit dari kubur ataukah kemaluan yang tidak bisa tegak karena trauma ๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚

Saya mencintai Buya Hamka sedalam cinta saya kepada Kang Abik.  Saya mencintai Ken Terate sedalam cinta saya pada Ika Natassa.  Saya gemar mengoleksi Eka Kurniawan seperti mengoleksi Raditya Dika. Saya pengagum Ust. Salim dengan kadar yang tak kurang daripada kekaguman saya pada Merry Riana. 

Waktu SMP dulu saya membaca Buya Hamka dan sekarang saya membaca Pidi Baiq apakah saya lantas mengalami kemunduran dalam hal selera?  Bagi saya tidak! Dan ketika anak saya besar nanti saya akan membebaskannya dalam memilih buku apa yang akan dibacanya seperti saya akan membebaskan dia dalam menentukan cita-citanya. 

Bagi saya menulis adalah perihal keberanian.  Berani menuangkan apa yang ada dalam isi kepala.  Dan saya menaruh rasa hormat yang sama pada semua penulis yang namanya tercetak pada sampul buku yang berjejer rapi di toko buku,  toko online, Wattpad atau pun toko loak. Yang namanya ada di koran,  tabloid atau pun majalah. Mereka semua adalah penulis baik dan buruknya,  kurang dan lebihnya. Mereka semua adalah manusia-manusia yang hati dan isi kepalanya bergejolak lalu tinta dan keyboardnya konsisten menari- nari. 

Maka kalau anak saya besar nanti lalu menanyakan rekomendasi buku yang sebaiknya dia baca, saya tinggal menunjukkan rak buku saya.  Di sana ada buku-buku koleksi Ibu dan Pamannya.  Dia bisa membaca yang mana saja sambil nonton Moto GP bersama Ayahnya, tanpa doktrin dan dogma sebaiknya membaca ini dan jangan baca anu. Semoga Valentino Rosi diberi umur panjang. Amin. 

Kantor,  jam istirahat. 

4 comments:

  1. Ntapppsss... Jam istirahat bisa nulis sepanjang ini..kerennn makkk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahha. Tapi jadinya saya ga makan siang ๐Ÿ˜…๐Ÿ˜…๐Ÿ˜…

      Delete
  2. Saya juga suka tulisannya Ika natassa...jatuh cinta pada karakter tokoh yang dibuatnya...olala Ale.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hei, Mbak Wid. Ga nyangka loh dirimu suka Ika Natassa๐Ÿ˜†

      Delete