Sunday, November 13, 2016

Dunia dalam Perahu


Jadi ceritanya, saya lagi ikut sayembara menulis Flash Fiction yang diadakan oleh grup menulis LovRinz and Friend dengan cara bercerita sesuai dengan gambar yang ditentukan. Gambar-fambar tersebut diambil dari buku karya mbak Ida Fitri berjudul Air Mata Shakespeare. Sepertinya itu kumpulan cerpen. Bagi yang berminat bisa langsung memesan di Penerbit LovRinz


Gambar dari Ilustrasi Buku Air Mata Shakespeare karya Ida Fitri


Berminggu-minggu aku coba meyakinkan istriku bahwa bumi tidak bulat seperti yang selama ini dia sangkakan.

Dunia sesungguhnya berbentuk cerukan seperti perahu. Pasangan dewa-dewi bersemayam di dalam sebuah ruang kendali dan berperan sebagai nahkoda yang mengarahkan ke mana perahu ini akan menuju.

"Dewa bersemayam di langit. Terakhir kali dewa turun ke bumi itu adalah Wisnu yang menitis kepada Rama." Istriku selalu bilang seperti itu setiap kali kuperingatkan.

Sepasang dewa-dewi sudah turun ke bumi dan tinggal di sebelah rumah kami. Itu adalah ruang kendali tempat mereka memutar roda kemudi untuk membawa perahu, yang ternyata adalah dunia, pergi sesuka hati mereka.

Aku harus meyakinkan istriku untuk pergi. Aku tidak mau hidupku dikendalikan oleh dewa-dewi. Firasatku mengatakan mereka akan menenggelamkan perahu ini hingga ke dasar. Begitu manusia kehabisan napas, mereka terbang kembali ke khayangan.

"Kau dengar suara itu? Mereka mencoba mencuci otak manusia. Lihat, tetangga-tetangga kita berbondong-bondong menuju ke balai kota. Pasti setelah ini akan ditenggelamkan."

"Sudahlah suamiku. Sebaiknya kau istirahat di kamar."

Aku menuruti perintah istriku. Tidak. Aku tidak akan tidur. Aku akan memeriksa jalan rahasia yang kutemukan beberapa hari yang lalu untuk meloloskan diri.

"Sayang!" Aku berseru memanggil istriku, "Ayo cepat kita pergi sebelum orang-orang menyadari kita tidak itut ke balai kota."

"Astaga! Apa yang akan kau lakukan?" Ia menjerit.

"Ayo kita lompat dari perahu ini. Kau bisa berenang kan?"

Istriku menggeleng.

"Kau tidak mau ikut aku? Kau lebih memilih mendengarkan kata dewa?!"

Istriku kembali menggeleng. Kini sambil berurai air mata.

Aku menyesali sikap istriku. Tapi kemudian aku ingat bahwa istri Nabi Nuh pun tak selamat dari bah karena mengabaikan perintah suaminya.

"Suamiku, menyingkirlah dari jendela!"

Itu kalimat terakhir istriku yang kudengar sebelum aku melompat keluar dari perahu. Setelah itu aku mencoba berenang namun kaki dan tanganku terasa sakit.

Orang-orang yang menuju balai kota mulai mengelilingku.

"Kasihan sekali dia. Depresi karena dikalahkan tetangga sendiri di pemilihan bupati."

"Kabarnya dia sampai jual seluruh harta untuk kampanye. Sekarang malah terlilit hutang."

"Dia kan suka 'black campaign'. Bilang-bilangin bupati terpilih koruptor.”

“Sebaiknya kita bergegas ke balai kota saja. Pelantikan bupati akan dimulai.”

Bisik-bisik masih berlanjut. Jeritan istriku terdengar semakin jauh.

0 comments:

Post a Comment