Monday, October 31, 2016

Sedang Ingin Membuat Novel

Saya sedang berpikir untuk membuat sebuah novel ringan yang manis (meski tulisan saya sebelum-sebelumnya tidak bisa dibilang berat). 

Cova -coba mulai buat paragraf per paragraf. Tanda baca saya berantakan, tapi akan saya edit seiring waktu. Mood saya lebih berantakan lagi. Belum pula membagi waktu antara kerjaan kantor, ical (suami saya) dan baby ahmad.

Tapi, biarlah saya mencoba. Meski mungkin proses ini memakan waktu lama. Hiksss..


Ini cuplikan novel yang sedang saya rencanakan.


Marry Me or You Die


Aku sedang menunjukkan grafik laba perusahaan kami yang menukik tajam di smester pertama ketika bunyi sepatu high heels terdengar tergesa-gesa menuju ruang meeting.

Pintu terbuka dengan kasar dan sepintas kulihat seorang wanita berambut panjang dengan blazer hitam dan dress merah selutut. Di belakangnya, satpam yang menjaga pintu masuk tergopoh-gopoh.

"Nona, anda ma..." kalimatnya belum selesai ketika secepat kilat wanita yang kutaksir usianya di penghujung angka dua puluh itu merogoh tas jinjingnya.

Memoriku belum pula selesai memindai wajah asing tersebut saat dari dalam tasnya ia mengambil dan menodongkan senjata ke arahku.

Sontak, jeritan histeris peserta meeting membahana.

Satpam kantor yang biasa kusapa dengan Bang Jul melongo dengan mulut membuka sempurna.

"Bapak Al Gibran Dirgantara," Suara perempuan itu, entah bertanya entah menggertak.

"I..iya, saya sendiri," Aku memutuskan untuk menjawab di tengah berbagai perasaan yang berkecemuk. Didominasi rasa penasaran akan siapa gerangan wanita yang menodongkan senjata padaku ini dibandingkan rasa takut kalau-kalau tangan lentik itu memutuskan menarik pelatuk.

"Jika ada yang coba-coba menghubungi polisi, maka Anda yang akan menanggung akibatnya!" Kali ini aku yakin dia menggertak.

Aku melirik ke arah Bang Jul dan membiri isyarat untuk tidak melakukan apapun.

Mau apa sebenarnya perempuan ini? Mau merampok bank rempatku bekerja? Harusnya dia melakukan itu di lantai satu, tempat nasabah bertransaksi di teller, bukannya di lantai lima. Di unit kredit.

"Aku Carissa Chairani. Semoga kau ingat siapa aku." Wanita itu berkata lagi. Baru kali ini ada penjahat yang memperkenalkan diri.

Memoriku memulangkan ingatanku pada kejadian satu bulan yang lalu, ketika aku mulai mendapat terror di telepon. Mulai dari mengajak bertemu hingga mengancam akan melakukan tindakan gila jika aku tidak menemuinya dan mengabulkan permintaannya.

Tentu saja semua telepon dan ajakan bertemu itu kuabaikan. Aku tidak mengenal wanita itu, aku tidak berniat mengenalnya dan aku tidak peduli siapa dia. Selain itu permintaannya sungguh tidak masuk akal. Dia meminta...

"Marry me, or you die with missery." Wanita yang bernam Carissa itu kembali membuka suara. Tangannya masih menggenggam pistol yang ditodongkan padaku.

🐾🐾🐾

"Al Gibran Dirgantara," aku mengeja namanya sambil meng 'googling' nama itu. Keluar beberapa hasil pencarian yang merujuk pada facebook dan linkedIn.

"Udah ketemu, Ris?" Lena membaringkan tubuhnya di sampingku. Menjejalkan kepalanya ke depan layar laptop. "Ih, cute juga ya orang ini."

"Apaan sih?!" Aku menjitak kepala Lena. Sahabat baik sekaligus rekan kerjaku di perusahaan. Ia interior designer. Aku arsitek.

"Kamu serius nih mau cari orang ini? Kamu yakin ini orang yang dimaksud Opa kamu?" Lena bertanya memburu.

"Aku serius. Tapi aku nggak yakin ini orangnya. Bisa saja ada banyak orang yang memiliki nama seperti ini di dunia,"

"Tapi tadi cuma satu kan hasil pencariannya di facebook. Eh, coba lihat di linkedIn. Dia kerja dimana sih?" Lena mengambil alih laptopku dan mulai mengutak-atik informasi seputar lelaki bernama Al Gibran Dirgantara. Lelaki yang disebutkan Opa dalam surat wasiatnya.

Hari ini 40 malam kematian Opa. Keluarga satu-satunya yang kumiliki sejak orang tua dan kakakku meninggal dalam sebuah kecelakaan mengenaskan 20 tahun yang lalu. Ayahku, pewaris tunggal perusahaan pengembang milik Opa. Ketika Ayah meninggal rupanya Opa mengganti seluruh isi surat wasiat. Pengacara keluarga kami membacakannya di minggu pertama setelah kematian Opa padaku.

"Seluruh kekayaan pribadi dan saham perusahaan milikku kuwariskan sepenuhnya tanpa terkecuali ke satu-satunya cucuku, Carissa Chairany' dengan satu syarat. Ia harus menikahi seorang pemuda bernama Al Gibran Dirgantara anak dari Haris Dirgantara, cucu dari Rasyid Umar Dirgantara," Om Beno, pengacara keluarga kami membacakan isi surat wasiat Opa, "Jika Carissa menikahi pemuda lain, maka ia hanya behak atas 1 unit rumah tipe 36 yang ada di perumahan Permata Jaya dan panti asuhan. Dia boleh memilih rumah yang mana.  Sedangkan seluruh aset dan saham atas namaku kuhibahkan ke badan amal negara dan pengelolaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab badan amal tersebut."

Aku terkejut mengetahui isi surat wasiat Opa. Siapa Al Gibran Dirgantara? Kenapa Opa ingin aku menikahinya? 

"Eh, udah ketemu nih. Dia kerja di bank. Kebetulan aku punya teman yang kerja di bank ini juga. Aku telponin ya."

Aku mengangguk tanpa antusias.

" Halo, Win. Kamu masih kerja di tempat lama kan? Bagus. Kamu kenal sama Al Gibran Dirgantara nggak? Hah?!supervisor kamu?"

Aku mulai mendengar dengan antusias. "Tanyain nama bapaknya siapa," Aku berbisik.

"Tau nggak nama bapaknya siapa? Nggak kenapa-napa sih. Tolong cari tau dong nama bapak dan nama kakeknya. Hahaha. Nggak, aku nggak sedang bercanda. Mau aku prospek. Kali aja bisa kasih masuk penawaran desain interior ke bank kamu. Oke deh. Aku tunggu loh ya. Nggak lah! Aku nggak naksir. Kenal aja nggak. Hah? Udah punya tunangan? Udah prewed? Iya sih lumayan ganteng."

Aku memukul punggung Lena dan menatapnya dengan wajah 'nggak- usah-ngelantur-kemana-mana pembicaraannya-please!'

"Kenapa kamu protes?!" Lena berseru padaku setelah menutup ponselnya. "Ini penting. Kalau dia sudah punya tunangan, kecil kemungkinan kamu bisa merried sama dia kan?"

"Siapa bilang aku mau merried sama dia?" Bantahku.

"Oh, ya? Lalu? Bagaimana anak asuhmu. Siapa yang mau kasih makan dan biayai sekolah mereka. Gaji plus bonus plus hasil jual rumah tipe 36 tidak akan cukup bahkan hanya untuk uang makan sebulannya mereka. Beli susu gimana? Bayar uang sekolah gimana?"

Lena memarahiku seperti ibu memarahi anaknya. Aku bahkan nyaris lupa bagaimana rasanya dimarahi oleh ibu. Ibuku meninggal saat usiaku baru enam tahun.

Sesungguhnya aku tidak peduli seliruh kekayaan Opa mau dikemanakan olehnya. Jangankan rumah tipe 36, aku bahkan bisa hidup dengan membayar kos bulanan. Gajiku sebagai arsitek sudah lebih dari cukup untuk menghidupi diriku. Tapi tentu saja tidak cukup untuk membiayai panti asuhan keluarga yang di dalamnya tinggal 200-an anak dari yang  masih bayi merah hingga yang sudah lulus SMA.

Kenapa Opa begitu tega membiarkan ke-200 anak itu terlantar dengan surat wasiat yang tidak masuk akal. Aku tahu rasanya menjadi yatim piatu. Aku tidak mau, mereka yang yatim piatupun, harus merasakan hidup terlantar.

Lena mengusap air mata yang tidak terasa mengalir di pipiku.

"Aku tau kamu bukan perempuan tamak yang haus kekayaan, Ris. Tapi kamu harus berjuang suapaya 200 anak asuh mu itu bisa hidup."

Ponsel Lena kembali berbunyi. Ia menjawabnya dengan antusias, "gimana Win? Ooo, Nama bapaknya Haris. Nama kakeknya Rasyid. Mereka tinggal dimana sih? Hah? Di kota ini juga? Oke, thank you ya infonya. You are the best darling."

Lena kini menatap ke arahku. "Sekarang pilihan ada di tanganmu sepenuhnya, Carissa."

Aku mengangguk. Aku tahu kok Len, apa yang harus aku lakukan.

🐾🐾🐾

0 comments:

Post a Comment