Di
Kota Ini Mimpi dan Jasad Berlomba-lomba Menjadi Debu
Cerpen
Sabrina Lasama
Sayangnya, tidak ada begitu banyak
warna yang bisa terlihat. Wajah gadis itu semakin pucat. Lingkaran matanya
lebih gelap dibanding beberapa hari lalu dan ia mungkin saja telah kehilangan
beberapa kilogram berat badan. Pipinya tampak cekung. Terakhir kali terlihat,
ia memegang roti yang tinggal separuh. Katanya, itu adalah makanan yang bisa
didapatkannya hari ini. Antrean di tempat-tempat pembagian makanan bertambah
panjang dan ia tidak punya cukup waktu untuk ikut mengantre. Namanya Bisan. Ia
punya tugas yang jauh lebih penting. Tugas yang tak pernah ia kira akan ia
emban di usia semuda ini. Ia punya mimpi lain yang ingin ia wujudkan. Tapi, apakah
mimpi masih menjadi hal yang penting saat ini?
Di hari lain, jika kita cukup beruntung, Bisan akan menunjukkan bagaimana anak-anak kecil di sekitarnya bermain, dilatari langit biru dan ia akan tertawa bersama mereka. Itu cukup menghibur hatinya di tengah bangunan hancur dan aspal jalanan yang terbelah. Di hari lain lagi, kala langit hanya kelabu karena tertutup asap tebal sisa-sisa ledakan, ia pernah menangis sambil mempertanyakan kenapa hanya ada sedikit makanan yang bisa diakses. Orang-orang akan mati kelaparan karena ini sudah hari ketiga belas. Berapa lama biasanya manusia bisa bertahan tanpa makanan?
“Kalian becanda, kan? hanya 20 truk bahan makanan? Dalam kondisi normal kami butuh 500 truk bahan makanan. Kalian menari dan bergembira hanya karena 20 truk bahan makanan ini?” Bisan menangis. Tidak ada yang menghibur. Siapa yang bisa menghibur jika setiap hati yang ada di sana sedang patah dan tak bisa menanggung bahkan hanya untuk satu kesedihan lagi.
Bisan fasih bebahasa Inggris meski aksen yang ia miliki dari bahasa ibunya masih sangat kental. Ia mungkin masih berumur di awal dua puluh. Ia sepertinya tipikal gadis periang yang mudah bergaul dengan rambut keritng bergelombang yang akan ikut terayun kemana pun kepalanya menoleh. Jika ia tertawa akan terlihat kawat gigi di sana, tetapi mungkin kita tidak akan sering melihatnya tertawa entah untuk berapa lama.
“Saya bersyukur masih hidup. Tuhan Maha Baik karena saya masih hidup.” Bisan memutuskan untuk menghibur dirinya sendiri. Ia mengalungkan rompi bertuliskan ‘Press’ ke dadanya, memakai helm dan berlari kecil menghampiri seorang teman yang melambai.
Bisan mencintai semua yang bisa
ditangkap oleh kameranya. Ia adalah seorang pembuat film muda. Ia bercita-cita
membuat film tentang keindahan kampung halamannya untuk disiarkan ke seluruh
dunia. Ia bermimpi bisa menyuarakan apa yang orang-orang di sekitarnya rasakan
kepada seluruh dunia. Bisan mencintai semua yang bisa ditangkap oleh kameranya,
kecuali keadaan beberapa hari belakangan ini. Dan andaikan mimpinya lindap,
bukankah itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan anak kecil yang kehilangan
ibunya, ibu yang kehilangan bayinya, atau calon pengantin yang kehilangan
pasangannya?
“Hai, apa kabarmu hari ini?” seorang
pemuda menyapa Bisan.
“Saya bersyukur kepada Tuhan saya masih
hidup.”
“Kau sudah siap?” Pemuda itu kembali
bertanya. “Kau sempat beristirahat tadi malam?”
“Ya. Saya tidur dua jam di parkiran
rumah sakit.”
“Kau mau ke mana sekarang?” Pemuda
itu kembali bertanya.
“Mungkin saya akan meliput pengungsi
di sekolah perempuan PBB.”
“Semoga Tuhan menyertaimu.” Pemuda
itu menimpali. “Saya mau membambil gambar dari puncak gedung di sana.”
“Semoga beruntung.” Bisan membalas.
Pemuda itu pergi dengan
langkah-langkah panjang, menenteng kamera Sony yang sebelum ini tak pernah
digunakannya untuk merekam gambar-gambar kesedihan. Namanya Motaz, ia seorang
fotografer muda yang hanya memotret sudut-sudut terindah kota tempat
tinggalnya. Objek foto yang ia sukai adalah senja di langit kota, kaki-kaki
kecil yang menendang bola di tepi pantai, anak kecil yang tertawa pada semangka
besar di tangannya, sepasang kekasih yang duduk minum teh di pasar tradisional,
wanita tua dengan senyuman bersahaja.
Motaz suka pada anak-anak. Suatu kali ia menghampiri seorang anak perempuan yang bersedih di atas reruntuhan bangunan rumah, menanyakan apa yang ditangisi oleh anak itu.
“Semua mainanku rusak,” jawab si gadis kecil.
“Setidaknya,
kau sudah menyelamatkan benda-benda itu.” Motaz menunjuk pada sesuatu yang
tengah di genggam sang gadis kecil. “Apa
itu?”
“Ini
bedak dan pemerah pipi milik ibuku.”
“Di
mana ibumu?”
“Ibu
di rumah sakit. Kepalanya tertimpa dinding rumah kami.”
“Puji
syukur, Tuhan masih melindunginya.” Motaz membalas, “Maukah kau menunjukkan padaku bagaimana caranya menggunakan bedak dan
pemerah pipi itu?”
Mata si gadis cilik berbinar. “Aku bisa memakaikannya padamu.”
“Baiklah.
Aku tidak akan menolak.” Berbeda dengan Bisan, kita cukup sering melihat
senyum Motaz.
Si gadis kecil menepukkan bantalan
bedak di pipi Motaz dengan senyuman lebar. Senyum yang sama lebarnya dengan
yang juga bisa kita lihat di wajah Motaz.
“Kau
bahagia sekarang?” tanya Motaz.
Gadis kecil itu mengangguk. “Aku tidak akan sedih lagi walau rumahku
hancur. Aku beruntung karenanya aku bisa merias wajahmu. Aku ingin jadi perias
pengantin saat dewasa nanti.”
“Ya.
Percayalah kau akan mewujudkan mimpimu.”
Motaz pasti sedang berbohong. Siapa
yang masih memikirkan mimpi di kota di mana kematian adalah hal yang lumrah? Motaz
pasti sedang berbohong karena anak-anak kecil tidak memiliki kesempatan untuk
bertumbuh besar di kota ini.
Namun, langkah Motaz tidak surut
ketika berlari menuju ke sebuah bangunan gedung yang ajaibnya masih berdiri. Ia
mempersiapkan kameranya sebelum mencapai puncak gedung. Rupanya, di atap gedung
sudah ada seorang reporter yang tengah menyiarkan berita bersama seorang
kameramen. Ia mengenalnya sebagai Paman Wael. Seorang jurnalis stasiun televisi
yang cukup disegani di kota mereka. Ia pernah bertemu dengannya beberapa kali ketika
PBB mengadakan kegiatan. Motaz cukup aktif dalam kegiatan PBB yang melibatkan
anak kecil.
“Kenapa Paman Wael terlihat
bersedih?” tanya Motaz pada si kameramen.
“Keluarganya baru saja terbunuh.
Anak dan istrinya mati di tempat.” Kameramennya menjawab singkat. Ada getaran
tebal yang bisa Motaz rasakan pada suara si kameramen. “Tapi kami sedang siaran
langsung. Setelah selesai kami langsung ke rumah sakit.”
Motaz terkejut. Saat ini, bahkan
seorang reporter sekali pun tidak bisa menyiarkan kondisi kotanya dengan tenang.
Apakah nyawa keluarganya juga akan terancam jika ia terus menyiarkan foto-foto
yang ia bidik? Tidak ada lagi tempat yang aman di kota ini. Luasnya bahkan
hanya 300 km. Tetapi, kenapa dokter harus melakukan operasi tanpa anastesi?
Kenapa guru-guru harus terbunuh oleh atap sekolah yang runtuh? Kenapa imam
harus berakhir tragis di dalam bangunan masjid. Di kota ini, jangankan mimpi,
jasad-jasad manusia mudah saja tertimbun di bawah reruntuhan. Motaz tidak
pernah merasa takut dan ragu pada mimpinya, kecuali hari ini.
“Sebaiknya kau juga ke rumah sakit. Saya
dengar seorang aktivis baru saja mengadakan kegiatan menggambar untuk
anak-anak. Mungkin kau bisa meliputnya atau mengambil beberapa foto.”
Motaz tidak membiarkan dirinya tenggelam
dalam kesedihan yang lama. Bayi yang dilahirkan di tanah ini bukan saja meminum
air susu ibunya, tetapi juga sikap pantang menyerah dan rasa syukur yang
tinggi, warisan dari leluhur mereka. Untuk itu ia segera melangkahkan
tungkai-tungkainya yang panjang menuju ke salah satu rumah sakit yang juga
telah berubah fungsi menjadi tempat pengungsian.
***
Anak-anak tertawa dengan warna-warni
cat di tangan mereka. Menggambar bendera, burung, langit. Setidaknya mereka
bukan tengah menulisi tangan atau kaki dengan nama mereka sendiri karena harus
berjaga-jaga jika mereka terbunuh dan kesulitan diidentifikasi. Motaz bersyukur
karena di masa yang sulit ini, anak-anak tidak kehilangan tawanya.
“Plestia!” Ia menyapa salah satu gadis yang dikenalinya. Gadis itu mengenakan rompi press yang sama, ponsel tak pernah lepas dari tangan si gadis. Seperti dirinya, Plestia mengabadikan apa saja yang kira-kira bisa ia kabarkan pada dunia.
Plestia adalah seorang mahasiswi jurnalistik. Ia bermimpi menjadi penulis seperti Rupi Kaur, tetapi tampaknya tidak ada yang bisa ia tulis belakangan ini selain catatan harian seperti yang pernah ditulis oleh Anne Frank pada masa Holocaust. Lagi pula, apakah mimpi masih menjadi hal yang begitu penting saat ini?
Plestia melambai sejenak ke arah Motaz lalu kembali sibuk merekam tawa anak-anak yang tengah menggambar. Seorang aktivis perlindungan anak berinisiatif mengeluarkan semua kertas dan cat warna yang bisa mereka temukan di bawah reruntuhan toko buku dan menghamparkannya di salah satu sisi pekarangan rumah sakit untuk membuat anak-anak tetap ceria.
Tak seperti Bisan, Plestia terlihat lebih ringkih karena postur tubuhnya yang kurus. Ditambah ia telah kehilangan selera makan sejak peperangan berkobar. Siapa yang masih bisa makan ketika mendengar rumah tetanggamu di sebelah sudah hancur berkeping-keping?
Di hari kesepuluh peperangan ini,
Plestia pernah merasa begitu putus asa. Ia membuang rompi press serta helm yang sebelumnya dengan bangga ia kenakan. Merasa
percuma saja melakukan semua karena dunia tidak akan mendengar mereka dan yang
mendengar tidak memiliki keberanian untuk melakukan sesuatu. Ia merasa keadaan
saat ini begitu buruk hingga di titik ia akan bersyukur kepada Tuhan ketika
mendengar ada anggota keluarga yang meninggal dalam keadaan utuh, tanpa
sepotong daging pun terlepas dari tubuh.
Setelah merasa sudah mengambil
gambar yang cukup untuk diunggah pada media sosialnya, Plestia melangkah dengan
lunglai kembali ke dalam mobil. Benda itu bukan saja sekadar kendaraan dinas
sekarang, tetapi juga rumah kedua untuknya. Ia mengeluarkan buku hariannya,
menulis beberapa kalimat, mencoret lebih banyak, menangis dengan keras dan
tertidur. Sejam yang lalu ia baru saja mendengar kabar bahwa roket telah
menghancurkan menara telekomunikasi di kota mereka. Setelah sebelumnya mereka
telah kehilangan jalur distribusi pangan dan obat-obatab, sekarang tidak ada
jaringan komunikasi, tidak ada internet, tidak ada lagi yang bisa ia
beritahukan kepada dunia.
***
Entah bagaimana aku merasakan
kecemasan yang sama. Sudah 24 jam berlalu sejak foto terbaru yang diunggah
Plestia, atau Bisan, atau Motaz pada media sosial mereka masing-masing. Aku
tidak lagi bisa menikmati tidur yang nyenyak di malam hari. Aku akan terjaga
setiap dua jam hanya untuk mengecek apakah Bisan dan kawan-kawannya telah
menggunggah foto terbaru yang mengindikasikan bahwa mereka masih hidup.
Tidak ada unggahan apa pun dan gelombang kecemasanku semakin bertambah. Kesedihanku sulit diungkapkan. Kenapa aku bersedih untuk orang yang tidak kukenal yang bahkan tinggal 8000 km jauhnya dari kotaku? Aku tidak mengenal mereka dan mereka tidak mengenalku tetapi kenapa rasanya seperti ada ikatan yang kuat dengan mereka? seolah mereka adalah sahabat baik yang sudah lama tidak berkabar. Seolah tubuhku tengah berada di kota dengan kondisi yang lebih parah dari seluruh film katrastrofenya Christopher Nolan digabung menjadi satu.
Dalam dua minggu belakangan, aku mengamati dengan saksama setiap foto dan video yang mereka unggah, lalu mereka-reka sebagian adegan yang mungkin saja mereka alami lalu kembali terempas dalam rasa tak berdaya. Perasaan itu bercokol di tenggorokanku sehingga membuatku ingin memuntahkan apa pun yang baru saja kumakan. Wajah-wajah mereka menghantuiku siang dan malam. Anak-anak muda yang rela mengubur mimpi-mimpi mereka demi menjadi jurnalis dadakan, dengan rompi dan helm seadanya, merekam kejadian demi kejadian mengerikan langsung dari kota mereka, agar timbul belas kasihan dunia meski sedikit saja.
Apakah Bisan, Motaz dan Plestia tahu
bahwa sekarang dunia mulai mendengarkan dan membicarakan mereka?[]
Terinspirasi dari jurnalis-jurnalis muda Gaza : Motaz, Plestia, Bisan dan Wael. Menulis ini untuk merilis duka, rasa tak berdaya dan emosi-emosi negatif lainnya terkait peristiwa 7 Oktober 2023 yang terjadi di Gaza. Semoga penderitaan rakyat Palestina segera berakhir. Free Free Palestine!