Hari ini GPT 15 diluncurkan berbarengan dengan unjuk rasa besar-besaran para pekerja dari berbagai latar belakang profesi dan keilmuwan. Aku memilih melanjutkan menghabiskan hari di Lihaga, menikmati biru toska air laut yang dipadu dengan pasir seputih dan selembut susu bubuk dalam kemasan. Kecerdasan buatan versi terbaru itu konon memiliki IQ 280. Sementara, IQ tertinggi yang dimiliki manusia hidup saat ini adalah 276.
Ombak
dari pantai Lihaga terasa sejuk di kakiku. Suara angin yang sepoi turut
menenteramkan otot leher yang belakangan menegang akibat memikirkan banyak hal.
Ibuku meninggal dua hari lalu dan IQ yang kumiliki, yang tidak ada setengahnya
dari yang dimiliki GPT 15. Beberapa kolega di perusahaan mengirimkan surat
elektronik, mengajakku untuk bergabung dalam aksi protes yang katanya akan
menjadi aksi terbesar dalam sejarah bangsa ini sejak presiden kedua digulingkan.
Aku menolak dengan dalih sedang berduka.
![]() |
| Gambar dari sini |
“Ibu
harap kau bisa pulang sebentar saja.” Kalimat terakhir Ibu dari seberang
ponsel masih terngiang-ngiang dalam benakku. Menggedor-gedor rongga dada meski
dituturkan dengan intonasi yang melemah karena sakit radang paru menahunnya.
“Maafkan
Bia, Bu. Kayaknya Bia belum bisa pulang dalam waktu dekat. Susah dapat cuti
dari kantor.” Alasan yang setelahnya kusesali karena dua jam kemudian,
adikku menelepon dan mengabarkan bahwa Ibu akhirnya berpulang. Aku menangis
hingga larut malam dan besoknya izin tidak masuk kantor karena sakit kepala.
Sepuluh tahun yang lalu, sebelum pergi
merantau ke ibu kota negara untuk bekerja di salah satu perusahaan keuangan
terkemuka di negeri ini, aku mengajak Ibu berlibur di Lihaga. Kami naik perahu
motor untuk mencapai pulau wisata tak berpenghuni itu. Ibu tertawa dengan
begitu lepas. Aku bisa merasakan kebanggaannya memiliki anak-anak yang tumbuh
seperti yang dia harapkan. Berprestasi dan tampaknya memiliki masa depan
cemerlang. Dalam sepuluh tahun merantau, tak pernah sekali pun kuceritakan
kepadanya bahwa menjalani hidup semakin sulit saja dari tahun ke tahun karena
kehadiran GPT.
Pemandangan
Lihaga yang berwarna biru dan putih berganti dengan warna hitam pekat. Terjadi
begitu tiba-tiba. Aku melepaskan kacamata dari mesin realitas virtual dengan
sedikit kesal. Belum ada lima belas menit kuhabiskan waktu untuk menikmati
pemandangan Lihaga dari kamar kos berukuran 3 x 3 meter-ku ini.
Tarif
listrik semakin mahal dan kredit karbon terakhir yang kumiliki, yang seharusnya
bisa kugunakan untuk menyalakan lampu kos selama dua minggu, kualihkan untuk
berwisata ke Lihaga menggunakan perangkat realitas virtual. Opsi yang
belakangan jauh lebih murah dan masuk akal dibanding mendatangi pulau itu
secara langsung. Ini waktu-waktu berdukaku. Sudah selayaknya aku menghibur diri
dengan mengunjungi tempat wisata yang disukai Ibu. Tidak ada yang perlu
kusesali. Pun kondisi kamar kos-ku yang segera menjadi pengap karena penyejuk
ruangan kehilangan daya.
“Bagaimana keadaanmu?
Masih sering lupa makan sampai maag-mu kambuh? Jaga kesehatan dan
rajin-rajinlah menabung, Bia.” Suara mendiang Ibu
kembali terngiang seiring dengan bunyi debam daun pintu kos yang kututup dari
luar.
Tidak
ada gaji yang tersisa untuk ditabung bagi pekerja kelas menengah yang hampir
punah sepertiku. Tapi, Ibu di pulau seberang tak perlu tahu itu. Sejak lima
tahun yang lalu GPT berkembang dengan pesat di ibu kota negara, menggantikan sembilan
belas juta lapangan kerja yang sebelumnya diisi oleh manusia.
Lima
tahun yang lalu sistem kredit karbon juga diberlakukan pertama kali untuk mengurangi
emisi gas yang konon katanya semakin parah merusak bumi. Seseorang harus
memiliki kredit karbon untuk bisa melakukan kegiatan yang menghasilkan emisi.
Kembali seperti sistem barter di zaman purbakala. Jika kau memiliki 1 unit
kredit karbon, maka itu bisa ditukarkan dengan pemakaian listrik selama satu
jam. Kredit karbon dapat kau peroleh dari kegiatan-kegitan ramah lingkungan,
seperti menanam pohon di pekarangan rumah, mendaur ulang sampah, terlibat dalam
proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga angin tanpa digaji. Opsi terakhir
paling banyak digemari anak-anak muda ibu kota. Bahkan ada yang sampai rela
meninggalkan pekerjaan profesional mereka hanya agar dapat mengumpulkan kredit
karbon.
Salah
satu kenalanku bekerja pada sebuah proyek pemerintah ramah lingkungan selama
tiga bulan dan berhasil mengumpulkan kredit karbon yang jumlahnya dapat dia
tukarkan dengan tiket pesawat pulang pergi Tokyo untuk liburan akhir tahun.
Mata uang tidak lagi bernilai, sehingga tidak perlu susah-susah ditabung seperti
saran Ibu. Hal-hal ini tidak kuceritakan pada Ibu, pun pada keluargaku di pulau
seberang yang masih tinggal dalam gelembung, yang mengetahui GPT hanya sepintas
lalu, sebagai eksperimen teknologi yang tak mengancam manusia.
Kerumunan
massa pengunjuk rasa telah mengular sampai di depan bangunan kos-ku. Peluncuran
GPT 15 pada hari ini disertai dengan diperbaharuinya Undang-Undang
Ketenagakerjaan nomor 13 pasal 152 mengenai alasan-alasan yang sah untuk
pemutusan hubungan kerja. Nomor 6 berbunyi, ‘Penghentian hubungan kerja karena pekerja/buruh memiliki IQ yang tidak
lebih tinggi daripada setengah IQ GPT terbaru.’ Itu berarti pekerja-pekerja
yang IQ-nya lebih rendah dari 140 akan masuk dalam daftar PHK. Sudah tidak ada
tempat bagi pekerja kelas menengah dan ber-IQ rendah sepertiku di negara ini.
Aksi
unjuk rasa hari ini dilakukan untuk memprotes kebijakan tersebut. Tetapi, apa
untungnya mempekerjakan manusia yang sering menuntut kenaikan gaji dan menolak
lembur di luar jam kantor sementara ada GPT yang tak perlu digaji dan tak
pernah protes bekerja 24 jam sehari?
“Bia! Bia! Kau ikut demo juga?” Seseorang
melambaikan tangannya di antara kerumunan manusia. Rein, kawanku yang bekerja
pada proyek ramah lingkungan miliki pemerintah tanpa digaji demi tiket pesawat
liburan akhir tahunnya itu, berjalan menghampiriku.
“Tidak.
Aku cuma mau ke mini market beli soda. Lagi pula tidak ada gunanya protes.
Pemerintah sudah berhenti mendengarkan kita jauh sebelum GPT 1 diluncurkan,”
tanggapku acuh tak acuh.
Rein
menyengir sambil mengiringi langkahku menuju ke salah satu mini market di dekat
kos. “Ada proyek pembangunan panel surya skala besar untuk perumahan elit
pejabat yang akan mulai bulan depan. Mereka membuka lowongan bagi pekerja
sukarela. Nilai kredit karbonnya lumayan. Mending kau ikut aku kerja di sana.”
“Sepertinya
menarik,” sahutku. “Apa syarat-syarat untuk melamar?”
Penggunaan
GPT untuk menggantikan fungsi manusia secara besar-besaran di dunia kerja serta
penerapan sistem kredit karbon sebagai instrumen nilai tukar di masyarakat
sudah berhasil diterapkan di ibu kota pada sepuluh tahun belakangan. Dalam
hitungan beberapa bulan ke depan, hal ini juga akan diimplementasikan ke
seluruh pelosok kota di tanah air. Termasuk di kota tempat mendiang ibuku
tinggal.
Satu-satunya
hal yang bisa aku syukuri saat ini adalah Ibu meninggal tanpa pernah mengetahui
hal-hal yang sedang terjadi pada dunia.
Manado, Januari 2025
