Wednesday, November 12, 2025

GPT 15

         Hari ini GPT 15 diluncurkan berbarengan dengan unjuk rasa besar-besaran para pekerja dari berbagai latar belakang profesi dan keilmuwan. Aku memilih melanjutkan menghabiskan hari di Lihaga, menikmati biru toska air laut yang dipadu dengan pasir seputih dan selembut susu bubuk dalam kemasan. Kecerdasan buatan versi terbaru itu konon memiliki IQ 280. Sementara, IQ tertinggi yang dimiliki manusia hidup saat ini adalah 276.

Ombak dari pantai Lihaga terasa sejuk di kakiku. Suara angin yang sepoi turut menenteramkan otot leher yang belakangan menegang akibat memikirkan banyak hal. Ibuku meninggal dua hari lalu dan IQ yang kumiliki, yang tidak ada setengahnya dari yang dimiliki GPT 15. Beberapa kolega di perusahaan mengirimkan surat elektronik, mengajakku untuk bergabung dalam aksi protes yang katanya akan menjadi aksi terbesar dalam sejarah bangsa ini sejak presiden kedua digulingkan. Aku menolak dengan dalih sedang berduka.


Gambar dari sini

            “Ibu harap kau bisa pulang sebentar saja.” Kalimat terakhir Ibu dari seberang ponsel masih terngiang-ngiang dalam benakku. Menggedor-gedor rongga dada meski dituturkan dengan intonasi yang melemah karena sakit radang paru menahunnya.

            “Maafkan Bia, Bu. Kayaknya Bia belum bisa pulang dalam waktu dekat. Susah dapat cuti dari kantor.” Alasan yang setelahnya kusesali karena dua jam kemudian, adikku menelepon dan mengabarkan bahwa Ibu akhirnya berpulang. Aku menangis hingga larut malam dan besoknya izin tidak masuk kantor karena sakit kepala.

            Sepuluh tahun yang lalu, sebelum pergi merantau ke ibu kota negara untuk bekerja di salah satu perusahaan keuangan terkemuka di negeri ini, aku mengajak Ibu berlibur di Lihaga. Kami naik perahu motor untuk mencapai pulau wisata tak berpenghuni itu. Ibu tertawa dengan begitu lepas. Aku bisa merasakan kebanggaannya memiliki anak-anak yang tumbuh seperti yang dia harapkan. Berprestasi dan tampaknya memiliki masa depan cemerlang. Dalam sepuluh tahun merantau, tak pernah sekali pun kuceritakan kepadanya bahwa menjalani hidup semakin sulit saja dari tahun ke tahun karena kehadiran GPT.

Pemandangan Lihaga yang berwarna biru dan putih berganti dengan warna hitam pekat. Terjadi begitu tiba-tiba. Aku melepaskan kacamata dari mesin realitas virtual dengan sedikit kesal. Belum ada lima belas menit kuhabiskan waktu untuk menikmati pemandangan Lihaga dari kamar kos berukuran 3 x 3 meter-ku ini.

Tarif listrik semakin mahal dan kredit karbon terakhir yang kumiliki, yang seharusnya bisa kugunakan untuk menyalakan lampu kos selama dua minggu, kualihkan untuk berwisata ke Lihaga menggunakan perangkat realitas virtual. Opsi yang belakangan jauh lebih murah dan masuk akal dibanding mendatangi pulau itu secara langsung. Ini waktu-waktu berdukaku. Sudah selayaknya aku menghibur diri dengan mengunjungi tempat wisata yang disukai Ibu. Tidak ada yang perlu kusesali. Pun kondisi kamar kos-ku yang segera menjadi pengap karena penyejuk ruangan kehilangan daya.

“Bagaimana keadaanmu? Masih sering lupa makan sampai maag-mu kambuh? Jaga kesehatan dan rajin-rajinlah menabung, Bia.” Suara mendiang Ibu kembali terngiang seiring dengan bunyi debam daun pintu kos yang kututup dari luar.

Tidak ada gaji yang tersisa untuk ditabung bagi pekerja kelas menengah yang hampir punah sepertiku. Tapi, Ibu di pulau seberang tak perlu tahu itu. Sejak lima tahun yang lalu GPT berkembang dengan pesat di ibu kota negara, menggantikan sembilan belas juta lapangan kerja yang sebelumnya diisi oleh manusia.

Lima tahun yang lalu sistem kredit karbon juga diberlakukan pertama kali untuk mengurangi emisi gas yang konon katanya semakin parah merusak bumi. Seseorang harus memiliki kredit karbon untuk bisa melakukan kegiatan yang menghasilkan emisi. Kembali seperti sistem barter di zaman purbakala. Jika kau memiliki 1 unit kredit karbon, maka itu bisa ditukarkan dengan pemakaian listrik selama satu jam. Kredit karbon dapat kau peroleh dari kegiatan-kegitan ramah lingkungan, seperti menanam pohon di pekarangan rumah, mendaur ulang sampah, terlibat dalam proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga angin tanpa digaji. Opsi terakhir paling banyak digemari anak-anak muda ibu kota. Bahkan ada yang sampai rela meninggalkan pekerjaan profesional mereka hanya agar dapat mengumpulkan kredit karbon.

Salah satu kenalanku bekerja pada sebuah proyek pemerintah ramah lingkungan selama tiga bulan dan berhasil mengumpulkan kredit karbon yang jumlahnya dapat dia tukarkan dengan tiket pesawat pulang pergi Tokyo untuk liburan akhir tahun. Mata uang tidak lagi bernilai, sehingga tidak perlu susah-susah ditabung seperti saran Ibu. Hal-hal ini tidak kuceritakan pada Ibu, pun pada keluargaku di pulau seberang yang masih tinggal dalam gelembung, yang mengetahui GPT hanya sepintas lalu, sebagai eksperimen teknologi yang tak mengancam manusia.

Kerumunan massa pengunjuk rasa telah mengular sampai di depan bangunan kos-ku. Peluncuran GPT 15 pada hari ini disertai dengan diperbaharuinya Undang-Undang Ketenagakerjaan nomor 13 pasal 152 mengenai alasan-alasan yang sah untuk pemutusan hubungan kerja. Nomor 6 berbunyi, ‘Penghentian hubungan kerja karena pekerja/buruh memiliki IQ yang tidak lebih tinggi daripada setengah IQ GPT terbaru.’ Itu berarti pekerja-pekerja yang IQ-nya lebih rendah dari 140 akan masuk dalam daftar PHK. Sudah tidak ada tempat bagi pekerja kelas menengah dan ber-IQ rendah sepertiku di negara ini.

Aksi unjuk rasa hari ini dilakukan untuk memprotes kebijakan tersebut. Tetapi, apa untungnya mempekerjakan manusia yang sering menuntut kenaikan gaji dan menolak lembur di luar jam kantor sementara ada GPT yang tak perlu digaji dan tak pernah protes bekerja 24 jam sehari?

 “Bia! Bia! Kau ikut demo juga?” Seseorang melambaikan tangannya di antara kerumunan manusia. Rein, kawanku yang bekerja pada proyek ramah lingkungan miliki pemerintah tanpa digaji demi tiket pesawat liburan akhir tahunnya itu, berjalan menghampiriku.

“Tidak. Aku cuma mau ke mini market beli soda. Lagi pula tidak ada gunanya protes. Pemerintah sudah berhenti mendengarkan kita jauh sebelum GPT 1 diluncurkan,” tanggapku acuh tak acuh.

Rein menyengir sambil mengiringi langkahku menuju ke salah satu mini market di dekat kos. “Ada proyek pembangunan panel surya skala besar untuk perumahan elit pejabat yang akan mulai bulan depan. Mereka membuka lowongan bagi pekerja sukarela. Nilai kredit karbonnya lumayan. Mending kau ikut aku kerja di sana.”

“Sepertinya menarik,” sahutku. “Apa syarat-syarat untuk melamar?”

Penggunaan GPT untuk menggantikan fungsi manusia secara besar-besaran di dunia kerja serta penerapan sistem kredit karbon sebagai instrumen nilai tukar di masyarakat sudah berhasil diterapkan di ibu kota pada sepuluh tahun belakangan. Dalam hitungan beberapa bulan ke depan, hal ini juga akan diimplementasikan ke seluruh pelosok kota di tanah air. Termasuk di kota tempat mendiang ibuku tinggal.

Satu-satunya hal yang bisa aku syukuri saat ini adalah Ibu meninggal tanpa pernah mengetahui hal-hal yang sedang terjadi pada dunia.

 

Manado, Januari 2025