Kok pakai part-part an segala? Iya, soalnya akan ada banyak hal yang menggalaukan langkahmu, Mak.
Apapun alasanmu resign dari tempat kerja yang sekarang, pasti kamu akan melalui fase-fase galau dan bertanya pada diri sendiri tentang apakah keputusan yang kamu buat ini benar atau tidak. Jika kamu sudah mengajukan surat resign, maka sudah pasti kamu telah mempertimbangkan hal ini dengan baik dan mantap. Saya pun demikian.
Baca :
Tapi ya... Masih ada aja yang membuat hati ini galau tidak karuan. Dalam kasus saya, masalah finansial, alhamdulillah, tak menjadi kendala. Tapi, hal ini akan tetap saya bahas di part berikutnya.
Lalu, apa yang bikin galau on the top? Saya bilang ke sahabat-sahabat dan orang terdekat saya bahwa hal yang paling berat saat saya memutuskan untuk resign adalah dealing sama orang-orang di sekitar yang judgemental pada keputusan ini. Entah teman kantor, entah tetangga, entah tante-tante yang tiba-tiba telpon, "Nina, kamu tidak nyesal resign? Nanti tidak punya uang sendiri loh."
Kamu akan sangat sering mendengar kalimat-kalimat penuh jugdment seperti ini :
"Banyak yang ingin di posisimu, kenapa kamu malah keluar?"
"Bisnis kan bisa tetap jalan. Tinggal bayar orang yang bisa kalau misalkan kamu bilang mau benahi pembukuan bisnis."
"Sayang loh, sekarang cari kerja susah."
"Gaji sebulan besar, di kampung halaman sendiri, jarak kantor-rumah gak sampai sepuluh menit. Gak bersyukur banget."
Herannya, kalimat-kalimat di atas itu akan kamu dengar dari orang-orang yang tidak masuk kategori sahabat akrab ataupun karib kerabat dalam daftar pertemanan kamu. Sebaliknya, orang-orang yang benar-benar mengenalmu, justru akan mensupport apapun alasanmu.
Mendengar kalimat-kalimat menghakimi dari lingkungan adalah hal yang terberat buat saya bahkan di hari pertama saya mengajukan surat resign. Tapi saya kembali lagi meyakini bahwa ini adalah jalan yang saya pilih, suami, kedua ortu, sahabat-sahabat terdekat tidak keberatan serta saya memang tidak dilahirkan untuk menyengangkan semua orang bukan?
Pun ketika membuat keputusan penting dalam hidup, saya tidak harus membuat keputusan yang memuaskan hati orang lain. Toh, ini adalah hidup saya dan yang menjalani hidup adalah saya sendiri.
Pelajaran berharga lain yang bisa saya ambil dari peristiwa ini adalah menahan diri. Menahan diri dari bertanya 'Mengapa kamu begini begitu' ketika dihadapkan pada pilihan orang lain yang tidak masuk di logika kita saat ini.
'Kenapa belum menikah?'
'Kenapa belum punya anak?'
'Kenapa anaknya belum sekolah?'
'Kenapa masih kerja di sana?'
'Kenapa tidak menyusui sampai 6 bulan?'
Dan kenapa-kenapa lainnya yang sebenarnya bukan urusan kita, sebaiknya pikirkan baik-baik sebelum kita pertanyakan.
Kalau kamu? Apa keputusan yang pernah kamu buat yang menjadikanmu sasaran penghakiman orang lain?