Pada sebuah percakapan ringan di WAG sastra yang mana seluruh anggotanya perempuan penjunjung feminism namun tetap soleha dan rajin beribadah (insya Allah amin π) terjadi percakapan yang cukup seru.
Btw, background ke 5 anggota grup ini beragam. Full time mom dengan kesibukan berdagang online dan menulis, working mom yang awalnya guru tapi sekarang lagi fokus kejar beasiswa s3, lalu saya.
credit |
Yang menyamakan kami adalah kami sama-sama emak rempong dimana semua hal dikomentari tanpa ada habisnya. Jadi WAG sastra ini hanya kedok untuk menyembunyikan hasrat rumpi kami. π
Oke pembicaraan pagi itu diawali dengan salah 1 anggota grup yang share sebuah link esai dari mojok.co berisi curahan hati fulltime mom yang kerap dipandang sebelah mata. Duh, bahasan ini memang gak ada habis-habisnya, ya. Mom war istilahnya. Perang argumen tentang lebih baik mana bekerja atau di rumah? Menyusui atau formula? Pakai nanny atau day care? Begitu terus sampai Priyanka Chopra melahirkan. Udah hamil belum sih doi? π
Padahal ya, kita sebagai sesama emak-emak harusnya bersatu padu untuk mengkritisi harga sembako yang kok kayaknya makin mahal sementara UMR naiknya dikit-dikit π
Untungnya kami semua bersepakat dengan apa kata Dian Sastro bahwa menjadi fulltime mom atawa working mom, perempuan harus berpendidikan. Selain berpendidikan, perempuan harus mampu berdaya, bebas berekspresi dan berhak melakukan passionya, tentu saja dengan tetap seiring sejalan bersama ridho pak suami.
Realitanya saat ini, tidak sedikit juga lelaki yang setelah menikah istrinya di kekepin dalam sangkar emas (ceileh sangkar emas) lebih sadisnya lagi dilarang berinteraksi boro- boro bersosialisasi dengan ibu-ibu PKK. Duhai pak suami, tidak sadar kah kau bahwa istrimu itu juga makhluk sosial?
Banyak kasus juga yang setelah berumah tangga, istrinya dilarang bekerja. Katanya kerja itu kewajiban suami, istri itu kewajibannya rawat anak dan membereskan rumah. Hey, merawat anak dan membereskan rumah itu kewajiban bersama. Enak aja situ yang berantakin sini doang yang beresin.
Menjadi full time mom ataupun working mom itu pilihan. Pilihan wanita itu sendiri tanpa ada paksaan dari pihak manapun (idealnya). Tidak ada yang lebih baik, pun tak ada yang lebih buruk. Yang salah adalah penghakiman yang harus perempuan-perempuan ini tanggung.
Fulltime mom dihakimi tidak mandiri karena apa-apa minta pak suami. Working mom dihakimi tidak mulia dan kejam karena meninggalkan anak demi sebongkah duit pembeli lisptik (eh), belum lagi suaminya ikutan dihakimi sebagai suami tak bertanggungjawab membiarkan istri bekerja. Gak tau diri nikahin anak orang gak mau nafkahin malah disuruh cari duit sendiri.
Padahal kebutuhan perempuan bekerja itu tak melulu soal finansial. Ya, meski tak sedikit yang tetap memilih bekerja untuk bantu-bantu suami mencari nafkah. Tapi banyak juga yang bekerja dengan tujuan lain; aktualisasi diri, eksistensi, mereduksi stres (ada loh perempuan yang justru stresnya ketika menghadapi perkara domestik), panggilan nurani.
Lalu, lelaki dengan ke-patriarki-an dan egonya melarang sang istri bekerja plus menghakimi wanita lain di luar sana yang bekerja, saya pengen tanya, jika seluruh wanita memang tidak boleh bekerja di luar dan hanya boleh mengurus anak, apakah bapak bersedia kalau istri bapak melahirkan yang lahirin bidan cowok? Nanti kalau vaginanya istri anda perlu dijahit, yang jahit bidan cowok.
Lalu, misalkan amit-amit ada sesuatu di payudara istri bapak yang terhormat kemudian membutuhkan prosedur medis, apakah bapak nyaman yang meriksa fisik payudara istri anda, dokter cowok?
Sungguh tak ada yang salah dengan tenaga medis cowok ini karena mereka telah disumpah dan tak mungkin macam-macam sama pasien sendiri. Tapi, kembalikan kepada diri bapak-bapak suami sekalian, apakah bapak nyaman?
Sungguh tak ada yang salah dengan tenaga medis cowok ini karena mereka telah disumpah dan tak mungkin macam-macam sama pasien sendiri. Tapi, kembalikan kepada diri bapak-bapak suami sekalian, apakah bapak nyaman?
Selain tenaga medis, banyak profesi-profesi lain yang di kemudian hari lebih baik diampu oleh seorang wanita. Nah, di era industri 4.0 ini lebih-lebih lagi.
Apa sih industri 4.0 itu? Singkat kata, ditilik dari wikipedia, industri 4.0 adalah industri yang serba otomatis. Dirancang agar pekerjaan fisik manusia direduksi hingga sekecil mungkin. Ketika bekerja tak lagi butuh kekuatan fisik, maka di sanalah wanita yang lembut fisik (dan hatinya) bisa terlibat dan justru lebih dibutuhkan.
Berdasarkan penelitian, wanita lebih teliti dibanding pria. Kemampuan manajerial seorang wanita juga lebih unggul dibanding pria.
Dilansir dari majalah Parenting, penulis Kristin Kane mengungkapkan bahwa ketika anak-anak sedang belajar mengenal huruf dan menulis, serabut saraf dalam otak anak perempuan lebih cepat tumbuh sehingga bisa menulis dengan lebih teliti dan rapi dibandingkan anak laki-laki.
Wanita dianggap sebagai sosok yang mampu mendengarkan, menyelesaikan masalah dan multitasking dengan lebih baik. Menurut ahli manajemen Jay Forte, wanita adalah penghubung yang lebih baik karena mereka lebih cerdik untuk membangkitkan semangat dari para bawahannya.
Hal di atas tentu sejalan dengan kebutuhan industri 4.0 yang serba otomasi. Dibutuhkan ketelitian dan kemampuan mengorganisir yang mumpuni untuk tetap membuat sistem produksi di suatu pabrik berjalan sesuai scedhule, bukan?
Tabik.
Fulltime Mom atau working Mom adalah pilihan yang punya alasan masing-masing.
ReplyDeleteBenar sekali Mbak Bun... π
DeleteAku tuh capek kalau tiduran terus di rumah π€£π€£
ReplyDeleteSamaa... Saya stres kalau kelamaan di rumah. Bukan anak rumahan, saya anak jalanan (eh?) π
DeleteCoba deh dibikin opini trus kirim ke koran. Refleksi hari Ibu kali ya. Etapi, besok sdh 22 des, telat.
ReplyDeleteMakasih loh Mas Suden atas sarannya meski telatππ
DeleteSikap menghakimi itu kayaknya memang sudah mengakar kuat di dalam masyarakat jadi kadang ya, ya gitudeh.
ReplyDeleteMantap jiwa nih tulisan
ReplyDeleteMenjadi working atau full time mom itu pilihan, hampir sama seperti aku memilihmu untuk menjadi pasanganku meski berbungkus sedikit oleh keadaan berbungkus "mungkin ini sudah jalannya" Semua memiliki resiko... *eh kenapa jadi melenceng ke situ? ��
ReplyDelete