Saturday, September 16, 2017

Seni Meringkas

Semua orang menginginkan kesederhanaan dalam hidupnya. Sederhana dalam arti tidak ribet, riweh, belibet, kusut, crowded dan sinonim kata lain yang menggambarkan kesemerawutan. Marie Kondo dengan metode KonMarinya berungkali menekankan pentingnya untuk membuang barang-barang yang menyesakkan rumahmu dan hanya mengijinkan barang-barang yang menimbulkan persaan bahagia saja yang berada di sekitarmu. Dia menyebutnya 'sparks joy'. Kurang lebih dapat saya artikan sebagai barang-barang yang dengan hanya melihatnya saja dapat memancarkan kebahagiaan. 😍😍

Silahkan baca postingan sebelumnya :


Saya adalah tipikal orang yang tidak rapih, tapi ingat kata Marie, tidak ada orang yang tidak bisa rapih di bumi ini. Jadi saya optimis. Heheh. 

Di hari-hari kerja rutinitas saya setelah bangun tidur adalah mandi dan berdiri di depan meja rias. Sebenarnya saya pun bukan orang yang berangkat kerja dengan make up komplit. Ritual di depan meja rias itu adalah membersihkan wajah, memakai lotion wajah, memakai bedak, terakhir memakai lipstick. Tapi karena meja saya berantakan banget, saya kesulitan mencari barang-barang yang saya butuhkan. Ujung-ujungnya waktu saya lebih lama habis untuk mencari make up yang saya butuhkan dibanding mengaplikasikan make up itu di wajah. Kalau kebetulan bangun agak kesiangan, maka saya akan tergesa-gesa lalu stres sendiri.

Sebenarnya bangun tidur dan meihat meja rias berantakan itu sudah memicu stres. 

Begini penampakan meja rias saya





Nah, dengan menerapkan istilah 'sparks joy' maka saya mencoba untuk menyingkirkan benda-benda yang tidak saya butuhkan setiap hari. Sparks joy dalam kasus meja rias  saya bukanlah benda yang menimbulkan kebahagiaan, karena saya tidak pernah suka alat-alat make up, melainkan benda-benda yang saya butuhkan di keseharian saya. Jadi saya mulailah pilah pilih lagi. Blush on, mascara, eye liner, eye shadow yang tidak pernah saya pakai kecuali ketika saya ke pesta saja saya singkirkan. Obat-obatan, handsanitizer, krim-krim tidak jelas yang entah kenapa ada di meja rias saya singkirkan juga. Tidak dibuang, melainkan dipindah tempatnya dan akan digunakan ketika dibutuhkan saja.

Penampakan meja rias saya setelah KonMari.




Kelihatan tidak sih bedanya? 😅
Barang-barang yang awalnya menyesaki meja rias saya pindahkan ke lemari lain.

Jika kamu tengah membaca membaca Marie Kondo dan berniat total menerapkannya dalam hidupmu, maka kamu harus benar-bebar punya ilmu tega. Barang-barang dari masa lalu yang masih kamu simpan atas nama kenangan tidak memiliki tempat lagi dalam metode berbenah ini.


Ngapain ya saya masih simpan disket yang entah apa isinya dan rekaman kegiatan sewaktu SMA yang entah bagaimana cara putarnya ini ? Singkirkan!




Bayangkan! Saya masih menyimpan manual book dari token yang sekarang sudah tidak bisa berfungsi karena bank nya sudah beralih ke mobile banking. Halah...




Diktat-diktat ataupun materi seminar yang masih disimpan dibuang saja. Marie Kondo bilang buku-buku materi seminar itu pasti tidak akan pernah lagi dibuka di rumah jadi untuk apa dibiarkan menyesaki lemari atau meja. Musnahkan!

Jadi, hiduplah hanya bersama barang-barang yang menimbulkan kebahagiaan lagi kau butuhkan 😄

Sunday, September 10, 2017

Mereka Berkisah Tentang Lelaki Tua yang Berbaring di Atas Salju

Tatyana selalu menyukai salju, bahkan ketika suhu menurun drastis menyentuh minus 20 derajat. Tatyana akan merangsek di ketiakku dan membiarkan rambutnya menari-nari di wajahku, beberapa helai akan menggelitik lubang hidungku. Rambut Tatyana beraroma lily sejak pertama kali aku mengenalnya.



"Aku akan membuat api di tungku dan menaruhnya di samovar." Tatyana selalu bersemangat ketika salju mulai turun. Di awal pernikahan kami ia merayakannya dengan menyalakan tungku dan memastikan samovar kami tidak pernah kehabisan teh panas beraroma melati. Ia juga akan membuat kue jahe tula dengan resep yang diwariskan oleh neneknya. Rumah kami hangat bahkan saat di luar sana salju sudah menumpuk 16 inchi.

Ketika Moskow mengalami urbanisasi dan anak-anak tumbuh remaja, tungku kami berubah menjadi pengahangat ruangan yang praktis, tetapi Tatyana masih saja suka menelusup di ketiakku. 

"Aku tidak bisa menemukan kehangatan yang seperti ini, Sergey," ujarnya ketika aku mulai protes karena saat dia meringkuk di ketiakku maka praktis tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain membelai rambutnya.

Pernikahanku berumur 43 tahun saat Tatyana menyerah pada kanker. Sudah 3 kali musim dingin kulalui tanpanya. Tidak ada teh melati, tidak ada kue jahe tula, tidak ada aroma lily lagi. 

Aku sempat melihat ke arah termometer yang menunjukkan minus 10 derajat tadi pagi. Anak-anak kami sudah dewasa dan meninggalkan rumah. Mereka hanya akan datang beberapa kali dalam setahun. Di saat-saat seperti inilah kerinduanku pada Tatyana membucah. Di saat-saat salju turun seperti ini. 

Aku melihat kepingan salju meluruh satu-satu dari langit pekat. Kenangan tentang Tatyana yang berlarian mengejar Ivan untuk disuapi makanan berkelebat, kenangan saat Tatyana memeriksa kue jahe di oven dan Igor menggelayut di kakinya melintas, kenangan tentang air mata yang menderas dan membuat hidungnya merah, kenangan tentang perlengkapan minum teh kesayangannya yang kubanting hingga lantak di lantai. Ia memergoki perselingkuhanku dan aku marah.

Aku marah pada gadis berambut merah berpipi montok yang membuatku jatuh cinta sedemikian gila tapi tidak bisa membuat teh senikmat Tatyana, aku marah pada waktu-waktu di mana Tatyana mendiamkanku dan memunggungiku di tempat tidur, aku marah atas kesabarannya menghadapiku. Aku marah karena anak-anakku tetap melihatku sebagai ayah paling baik di muka bumi. Tatyana menggerogoti amarahnya seorang diri dan aku sibuk marah pada diriku sendiri.

Tentang tahun-tahun yang berlalu tanpa tubuh Tatyana yang menelusup ke ketiakku, tentang kebesaran hati yang memaafkan perselingkuhan, tentang kesempatan kedua yang ia berikan, tentang pilihannya untuk tetap bertahan dan menyelamatkan masa depan anak-anak kami dari perceraian orang tua mereka. 

Tahun-tahun yang tak pernah sama lagi dalam pernikahan kami. Aku dengannya seperti dua orang asing ketika berpapasan di ruang makan. Tatyana dengan jelas menunjukkan betapa ia bergidik saat tanganku tak sengaja menyenggol lengannya di dapur. Tapi sedetik saja ia bisa berubah. Seperti matahari yang melelehkan salju. Ia akan menghangat dan memeluk mesra tubuhku saat Igor dan Ivan telah bersiap di meja makan. 

Kalau ada yang bisa membuat Tatyana kembali seperti dulu, itu adalah kanker. Kanker yang menggerogoti tubuh rupanya juga telah melunakkan hatinya. Ia kembali menelusup di ketiakku saat musim dingin tiba setelah dokter memberinya vonis stadium 4.

"Aku tahu kanker ini cepat atau lambat akan membunuhku. Aku benci padamu, tapi aku tidak ingin mati tanpa mengingat bagaimana hangatnya tubuh suamiku." Aku diam dan membelai rambut Tatyana yang tetap menguarkan aroma lily meski telah berwarna seperti salju. Ia meninggal dalam dekapanku. Menyisakan lubang menganga di hatiku.

Tatyana dan salju adalah kehangatan yang pernah pergi. Aku merasakan musim dingin menahun saat Tatyana menghukumku. Aku memejamkan mata lalu lamat-lamat mendengar suara Ivan berteriak, "Ayah, apa yang kau lakukan dengan berbaring di atas salju seperti itu?"

Mereka sudah datang untuk merayakan tahun baru. Anak dan cucu kami.