Sesungguhnya ini hanyalah fiksi (yang terinspirasi dari kisah Yuyun)
Hari itu. Dua minggu setelah jasad Ara ditemukan tak bernyawa di sela-sela rimbunan belukar. Hasil visum medis mengatakan Ara meninggal bahkan ketika gerombolan biadab sedang mengagahinya. Mati tersedak cairan sperma.
Rahmina, ibunda Ara, sebenarnya enggan membawa masalah ini hingga ke meja hijau. Namun desakan sebuah LSM bertajuk 'SUARA' yang merupakan singkatan dari 'Suar untuk Ara' membuatnya sadar harus memperjuangkan nasib Ara meski putrinya itu kini sudah tak bernyawa.
14 tahun saja usia Ara. Mati sia-sia di bawah selangkangan 14 pemuda bermoral celeng yang ketika itu mabuk tuak. Iya celeng! Apalagi hewan yang menggagahi betinanya beramai-ramai kalau bukan celeng?
Hari itu, ditemani Puput, aktivis SUARA yang paling setia mengikuti perkembangan kasus Ara, Rahmina pergi ke kantor lurah. Di sana rencananya ke 14 pemuda sial, beserta orang tua mereka, (pemudanya yang sial, bukan orang tua mereka) akan merundingkan tentang mau dibawa kemana kasus ini. Ke-14 pemuda baru berstatus saksi sebab Rahmina belum juga membuat laporan ke polisi.
"Kita ambil jalan damai saja, ibu Rahmina." Suara pak lurah.
Puput memgerling tajam. Seolah-olah ingin mencabik-cabik kumis melintang di atas bibir tebal lurah itu. Puput sudah dengar perihal si lurah dapat sogokan dari para orangtua pelaku agar tidak memperpanjang kasus.
"Tapi, saya ingin keadilan untuk Ara. Dia putri saya satu-satunya." Sahut Rahmina. Puput senang mendengarnya.
"Tinggal bilang saja berapa sih uang yang ibu butuh? Nggak perlulah kasus seperti ini diperpanjang!" Ibu A membantah.
Ada 14 ibu di kantor lurah saat itu beserta 14 celeng, eh maksudnya anak mereka jadi kita sebut saja dengan Ibu A, ibu B dan seterusnya. Begitu juga dengan celeng A, celeng B dan seterusnya.
"Di sini kami tidak butuh uang! Lagi pula uang berapapun tidak akan bisa menebus nyawa Ara." Itu suara puput. Berapi-api. Menyala terang bagai suar di puncak mercu.
"Hei, kau diam saja ya!" Ibu C menghardik.
"Lagipula, minum tuak itu sudah biasa! Anak ibu saja yang kecentilan. Mungkin pakai baju seksi waktu lewat. Mengundang syahwat!" Ibu F menyambung.
Rahmina terkejut. Ia memulangkan ingatannya ke 14 hari yang lalu. Ara memakai seragam pramuka. Seragam pramuka yang normal, yang selayaknya dipakai oleh anak kelas 2 SMP. Mananya yang seksi?
"Bisa jadi juga anakmu itu yang pengen. Sudah puber kan dia, jadi suka goda-goda lelaki. Mancing-mancing pakai badannya yang semok." Ibu E menimpali.
Rahmina hanya diam. Pikirannya melayang berusaha membentuk postur Ara dari sisa-sisa memorinya. Apanya yang menarik dari tubuh kurus kering milik putri semata wayangnya itu. Buah dadanya bahkan belum pula tumbuh. Ataukah dia yang salah mengingat?
"Makanya, kalau punya anak gadis itu dididik yang benar! Kalau pulang sekolah jangan keluyuran. Kalau sudah begini bagaimana?" Kali ini ibu B yang bersuara.
Rahmina mulai goyah. Benarkah dia yang salah mendidik hingga anak gadis kesayangannya berakhir sekeji itu? Seingatnya Ara adalah anak tekun yang berprestasi di sekolah. Sepulang sekolah selalu membantunya mendulang getah karet di kebun hingga petang. Kulitnya legam dan kusam diberangus ultraviolet.
Rahmina ingat ketika itu Ara belum kembali. Mungkin Ara ada kegiatan tambahan sehingga Rahmina memutuskan mendulang karet sendiri. Menjelang petang Ara tak juga muncul. Bahkan ketika fajar keesokan harinya.
"Tenang, tenang. Kita selesaikan ini dengan kepala dingin," Suara pak lurah membuyarkan lamunan Rahmina. "Kita tanyakan langsung pada saksi. Bagaimana?"
Mata pak lurah menyasar ke arah celeng A. Puput mengenalinya sebagai otak tindakan keji yang menimpa Ara. Polisi yang menyelidiki kasus ini bilang begitu.
"Saya dan teman-teman lain ketika itu sedang mabuk. Jadi kami tidak begitu ingat kejadiannya."
Celeng-celeng lain mengangguk seperti kerbau dicucuk hidungnya. Eh, seperti celeng dicucuk hidungnya.
"Tapi benar kalian memperkosa dan membunuh Ara?" Suara pak lurah.
"Kami tidak ingat pak," Jawab celeng D. Kakinya penuh tato.
"Lagian juga kenapa cewek itu lewat di kebun-kebun. Sendirian lagi!" Celeng G neyeletuk.
"Karena sudah jadi kebiasaan Ara untuk pergi mendulang karet sepulang sekolah!" Puput menyahut. Nada tinggi melengking.
"Sudah! Ini terima saja uang kami. Tidak usah sok-sok memperkarakan sampai di pengadilan!" Ibu H melempar amplop ke atas meja.
Puput terkejut lalu sontak menggebrak meja. "Ibu ini keterlaluan sekali ya! Ibu ini wanita atau bukan!? Ibu-ibu ini punya anak perempuan atau tidak? Bagaimana kalau kejadian ini menimpa putri ibu?!"
Hening.
"Sudahlah nak Puput," Rahmina membuka suara pertama kali mengakhiri keheningan itu. "Mari kita pulang saja."
"Tapi bu..."
"Semua ini memang salah saya. Saya yang tidak becus menjaga dan mendidik Ara. Ini sudah takdirnya. Tidak perlu kita perpanjang lagi."
Rahmina berjalan keluar dari ruangan pak lurah tanpa menyentuh amplop di meja. Puput tak habis pikir tapi bergegas menyusul wanita ringkih itu. Sekilas ia melihat sorot kemenangan di mata para celeng dan ibu-ibunya. Pak lurah jangan ditanya. Sibuk menghitung uang dalam amplop yang ditinggalkan Rahmina.
"Bu..." Puput berusaha membujuk. Ini diluar skenarionya.
"Sudahlah mbak Puput. Biarkan Ara tenang. Biarkan ibu tenang."
Puput tak lagi bersuara. Hanya air matanya yang berbicara. Untuk Rahmina yang kini sebatang kara. Untuk Ara yang yang adalah korban namun justru dipersalahkan.
Untuk vagina yang terkoyak hingga menyatu dengan anus.
No comments:
Post a Comment