Senja paling indah hanya bisa terlihat dari Makassar. Merah saganya mampu meluluhlantakkan apa yang sebelumnya hanya bergelayut dalam kepala dan hatimu.
Aku selalu menyukaimu sebab kau terlalu jujur. Jika kata yang keluar dari bibirmu dusta sekalipun matamu tak bisa berbohong. Pun ketika kau bilang bahwa cinta itu masih ada. Aku tahu kau berkata benar. Benar untuk 120 hari yang lalu. Sekarang tidak.
"Saya sudah memikirkannya berminggu-minggu," Katamu. "Kalau apapun keputusan saya menimbulkan luka, maka saya akan memilih keputusan yang melukai paling sedikit orang."
Aku terdiam. Demi Tuhan, memandangmu saja sudah mendatangkan luka kali ini.
"Kalau saya memilimu, orangtuaku, orang tuanya dan orang tuamu akan terluka," katamu lagi. "Kalau saya memilihnya hanya kita berdua yang terluka."
Aku mengangguk kecil. Menyetujui hasil analisamu, terhdap masalah kita, yang katamu berminggu-minggu itu.
"Saya tahu ini egois."
Setelah itu kau terdiam cukup lama. Rupanya kau sudah selesai bicara. Aku tidak menyahut karena dua hal. Pertama karena aku tahu kau akan mengorbankan kebahagiaanmu demi kebahagiaan orang-orang yang kau cintai, kedua karena aku telah terlalu larut dalam senja. Senja yang sebelum ini selalu menghadirkan bahagia di antara kita. Perihal senja terindah adalah yang terlihat dari Makassar itu juga idemu.
"Apakah kamu mencintainya?" Tanyaku lirih hingga hampir senyap beradu dengan angin dan ombak Losari.
"Seingat saya, saya tidak pernah mencintai perempuan lain sebesar cinta saya padmu" Jawabmu menambah sayatan luka.
Aku kembali mengangguk. Menyetujui perkataanmu.
"Maafkan saya," Katamu lagi. Kuhitung sebagai kata maaf ke sembilan belas yang kau ucapkan sejak 1 jam yang lalu. "Kita pulang sekarang? Saya antar."
Kali ini aku menggeleng. "Nanti saya pulang sendiri."
Kau terdiam cukup lama sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi. Aku masih terpaku di bawah senja di depan hamparan pantai Losari menyaksikan punggungmu yang bergerak menjauh.
Air mataku luruh. Senja terindah di bumi kali ini meluluhlantakkan pertahananku.
Begitu sajakah kita? Berakhir seperti ini?
Senja lalu tenggelam. Kontras dengan air mataku yang menderas.
No comments:
Post a Comment