Niat di awal tahun untuk gencar mengikuti lomba menulis belakangan memudar. Tenggelam dalam rutinitas dunia nyata membuat dunia fiksi mengabur.
Dikejar target mingguan, dihantui target bulanan, dipecut untuk memenuhi target akhir tahun. Bekerja keras. Sangat keras untuk membangun mimpi orang lain. Menjadi budak korporasi. Benar makna sebuah kalimat bijak. Jika kau tidak bekerja untuk membangun mimpi-mimpimu maka orang lain akan mempekerjakanmu untuk membangun mimpi-mimpi mereka.
Mimpi itu masih terpatri jelas dalam ingatan. Tidak hilang tidak pergi. Saya menahannya dengan segenap jiwa karena tahu raga terlalu rapuh untuk itu.
Mimpi itu sederhana. Sesedernaha pena yang menari-nari di atas kertas kosong. Semudah huruf yang berbaris merangkai kata. Kata yang saling sambung membentuk kalimat. Saya rindu tersesat dalam imajinasi.
Namun, apa daya. Imajinasi enggan bersahabat dengan logika. Apalagi logika yang digunakan untuk bekerja dalam dunia nyata. Logika dan imajinasi saya bertengkar hebat. Berebut memenangkan raga saya. Kalau jiwa tak perlu ditanya berpihak pada siapa.
Saya rindu ketika larut malam mata masih menyala. Pikiran mengalirkan ide yang mendesak-desak. Jemari lincah menari di atas keyboard. Sementara besoknya saya harus kembali ke dunia nyata. Ketika itu tak mengapa mata terantuk kantuk sebab rangkaian kata-kata telah menjelma prosa.
Saya telah mengkhianati proses saya. Proses berdamai dengan imajinasi. Namun pengkhianatan ini jenis pengkhianatan yang dapat dimaklumi sehingga mungkin masih termaafkan. Semoga.
No comments:
Post a Comment