Jika rasa bisa berwarna dan asa bisa berwujud, maka warnaku adalah lembayung dan asaku serupa payung. Mengembang riang menyambut penghujung hujan dan muasal bianglala tujuh gradasi. Indah.
40 hari sudah arwahku melayang-layang. Belum pulang ke nirwana sebab ada sekeping hati menahanku di labirin fana.
Ibu.
Sampai kapan kau tumpahkan air yang membentuk anakan sungai di pipimu itu? Tidak cukupkah pelita yang menyala dari ujung-ujung negri demi mengantarkan doa-doa yang dilangitkan padaku?
Ibu, maafkan putri kecilmu ini. Dalam keadaan mengenaskan meninggalkanmu. Ketika 14 tahun lalu kau menangis menyambut kedatanganku, haruskah ketika 14 tahun kemudian hatimu terkoyak mengantarkan jasadku yang lebam ke dalam lahat?
Rasaku berwarna lembayung. Tersesat menggantung antara surga dan pulang.
Asaku berwujud tangkupan payung. Ada harap dan gumpal-gumpal doamu terselip. Sekaligus impian untukku di usia 25. Barangkali sukses dan menikah dengan pria yang juga berbakti padamu.
Barangkali memberikan cucu-cucu lucu yang menghibur hari tuamu.
Barangkali merawat tubuh tua ringkihmu atau sekedar menyuapi bubur di sore harimu.
Berhenti di situ saja.
Kini aku tinggal seberkas nyawa tak berwujud. Bersama doamu aku ingin terbang. Bukan meninggalkanmu, hanya untuk pergi menunggumu di gerbang surga.
Terimakasih ibu.
Terimakasih untuk pelita-pelita yang dinyalakan mengantar kepergianku.
Maafkan aku, ibu.
Maafkan aku yang mati mengenaskan di usia baru empat belas.
Sehingga sedihmu tak berkesudahan.
No comments:
Post a Comment