Cerpen Ben Loory/ Diterjemahkan oleh Sabrina Lasama
Pada suatu
ketika tersebutlah seorang laki-laki yang memakan sebuah batu. Batu itu sendiri
ukurannya kecil, tidak besar. Laki-laki itu menemukan batu tersebut di lapangan
dan itu adalah batu yang indah – sangat indah – dan itulah bagaimana dia
mengambil batu tersebut dan memakannya. Memakan batu juga sebenarnya bukan kebiasaaannya
– laki-laki itu sendiri terkejut dengan apa yang sudah dia lakukan – tapi itulah
kenyataannya, di suatu hari, ketika dia berbaring di tengah lapangan, terdapat
sebuah batu – batu yang indah – dan dia kemudian memakannya.
Laki-laki itu
merasa sangat bahagia setelah menelan batu tersebut. Dia merasa bahagia memiliki
batu itu di dalam dirinya. Itu bukan sekadar sensasi fisik dari sebuah batu di
dalam tubuh, melainkan ada sesuatu yang lain. Entah bagaimana laki-laki itu
merasa batu tersebut membuatnya lebih baik dari sebelumnya. Entah bagaimana
laki-laki itu merasa batu itu membuatnya lebih bergairah. Batu itu membuatnya
lebih bersemangat, batu itu membuatnya lebih percaya diri, batu itu mengubahnya
ke arah yang lebih baik.
gambar dari sini |
Dan laki-laki
itu sangat sangat bahagia dengan semua yang dia rasakan.
Kemudian laki-laki
itu memberitahukan kepada istrinya
Apa yang kau
lakukan? kata sang istri. Kau menelan sebuah batu.
Laki-laki itu
menjelaskan kepada istrinya tentang apa yang dialami.
Itu gila, ucap
istrinya. Kau beruntung tidak mati.
Itu hanya
batu, balas lelaki itu. Hal itu tidak akan membunuhku.
Namun setelah itu, laki-laki tersebut menjadi cemas. Dia pusing tujuh
keliling memikirkan batu itu. Apakah seharusnya aku tidak menelannya? Apakah hal
itu berbahaya baginya? Dan, lebih dari itu, apakah batu itu benar-benar akan
melukainya?
Laki-laki itu merasa
harus menceritakan hal tersebut kepada orang orang lain, tapi dia takut teman-temannya
justru akan menertawainya.
Oleh karenanya
dia pergi ke kota dan berkeliling untuk kemudian mengetuk pintu seorang dokter.
Seberapa besar batu itu? tanya sang dokter.
Lelaki itu
mengangkat tangannya untuk menaksir ukuran batu.Segini, katanya. Sangat kecil.
Hmm, gumam
sang dokter sambil mengerutkan kening
Maksud Anda, ‘hmm’?
tanya lelaki tersebut. Apakah itu berbahaya?
Sebenarnya
aku tidak bisa bilang bahwa itu berbahaya, jawab sang dokter. Tapi, Anda tahu,
batu bisa bertumbuh.
Bertumbuh? tanya
lelaki itu.
Dia tidak
pernah mendengar hal itu sebelumnya.
Bertumbuh,
tegas sang dokter. Saat Anda memakannya, itulah yang akan terjadi. Itulah mengapa
aku pernah melihat seorang wanita dengan delapan puluh pon batu di dalam
ususnya.
Lelaki itu
sangat terkejut.
Itu sepertinya
buruk sekali, kata lelaki itu.
Jadi, apa
yang harus aku lakukan? tanyanya kemudian
Batu itu bisa
saja dikeluarkan, ucap sang dokter.
Dikeluarkan? tanya
lelaki tersebut. Maksud Anda operasi?
Apakah
menurut Anda hal itu harus dilakukan? tanyanya lagi.
Tentu saja
keputusan ada di tangan Anda, jawab sang dokter. Tapi secara pribadi, saya
sangat menganjurkannya.
Laki-laki itu
pulang ke rumah dan memikirkan hal tersebut. Dia menceritakan kepada isrinya
tentang apa yang telah disampaikan sang dokter kepadanya.
Sejak awal
seharusnya kau tidak memakan batu itu. Apa sebenarnya yang ada di pikiranmu? ucap
sang istri.
Pada malam
harinya, lelaki tersebut berbaring sambil terus memikirkan batu itu. Dia masih
dapat merasakan batu itu di sana, di dalam dirinya. Dia masih bisa merasakan
pancarakan kebaikan dari sana.
Aku tidak
ingin kehilangan batu ini, gumamnya.
Waktu pun terus
berlalu dan sang dokter menghubunginya.
Aku pikir aku
akan membiarkan batu itu, kata lelaki tersebut.
Apakah Anda
yakin? tanya sang dokter.
Sangat yakin,
balas lelaki itu.
Baiklah, kata
sang dokter, itu adalah keputusan yang sudah Anda ambil. Jika Anda berubah
pikiran, hubungi aku kembali.
Baiklah, ucap
lelaki itu.
Dan itulah yang
terjadi.
Waktu terus
berlalu. Lelaki tersebut merasa bahagia. Batu itu terasa baik-baik saja di
dalam dirinya.
Namun, ada
satu hal yang mengganggu lelaki itu : batu itu ternyata benar-benar bertumbuh. Perut
lelaki itu menjadi semakin besar dan besar. Batu itu mulai tampak menonjol di permukaan
perutnya.
Dan batu itu
juga semakin berat, hingga lelaki itu kesulitan untuk berdiri.
Dan akhirnya,
suatu hari, lelaki itu bahkan tidak bisa beranjak dari ranjangnya.
Jadi bagaimana?
tanya sang istri. Kau hanya akan berbaring di tempat tidur?
Aku tidak
bisa bergerak, kata lelaki itu. Apa yang kau harap aku lakukan?
Ini semua karena
batu bodoh itu, kata sang istri. Kau harusnya mengeluarkan batu itu.
Aku tidak mau
mengeluarkan batu ini, ucap lelaki tersebut. Ini adalah batuku, aku menelannya,
batu ini membuatku bahagia.
Lalu kemudian
rasa sakit mulai terasa. Batu itu terus bertumbuh semakin besar dan mendesak
bagian dalam tubuh lelaki itu.
Kau harus melakukannya
sekarang, ucap sang istri. Kau mengerti? Kau akan mati jika mempertahankan batu
itu.
Lelaki itu
tahu istrinya berkata benar. Dia bisa merasakan batu itu mengisi keseluruhan
tubuhnya. Dia masih bisa merasakan kebaikan yang dipancarkan oleh batu itu di
sana tapi kebaikan itu juga rasanya telah terkubur oleh rasa sakit dan ketakutannya.
Baiklah, kata
lelaki itu. Pergi dan panggillah dokter itu.
Akhirnya, ucap
sang istri lega.
Sang istri
pun memanggil dokter tersebut.
Operasi itu
berlangsung dengan susah payah. Dokter membutuhkan empat orang hanya untuk mengangkat
batu itu. Mereka meletakkan batu itu di atas timbangan, tapi timbangan itu
rusak sehingga berat batu tersebut tidak pernah diketahui.
Namun demikian,
semua berjalan sesuai rencana. Mereka menjahit perut laki-laki itu. Dokter
memberitahukan bahwa prosedur operasinya sukses, dan kemudian dia pergi merokok
di beranda.
Waktu berlalu
dan kondisi lelaki itu semakin membaik. Suatu hari dia terbangun dan merasa
sehat. Dia menepuk perutnya dan beranjak dari tempat tidur, mengambil napas dan
kemudian berjalan ke arah pintu.
Kau mau
kemana? tanya sang istri.
Berjalan-jalan,
jawab lelaki itu. Aku merasa sangat baik.
Lelaki itu
berjalan ke luar rumah. Hari itu adalah hari yang cerah dan dia bisa merasakan
kesejukan udara dan melihat gumpalan awan-awan dan mendengar kicauan
burung-burung dan segalanya tampak sangat indah.
Namun sesaat
kemudian, laki-laki itu mulai merasakan ada yang berbeda. Dia mulai merasakan
ada yang salah dengan dirinya. Dia mengernyit dan mengernyit, mencoba menemukan
apa yang terjadi, dan sesuatu seperti menghantam perasaannya – batu itu – batu itu telah pergi! Itulah mengapa dia
merasa sangat hampa. Ada lubang besar di dalam dirinya.
Lelaki itu
menyapu keningnya, memicingkan mata, menggeliat.
Dan perasaan
hampa itu semakin menjadi-jadi.
Dalam kepanikan
lelaki itu berlari ke arah lapangan tempat dia menemukan batu tersebut beberapa
waktu yang lalu. Dia melihat ke sekitar, melemparkan pandangannya, ke penjuru
lapangan, ke manapun, menekuri tiap jengkal tanah, berputar-putar.
Batu yang lain
akan membuatku merasa baik kembali, pikirnya. Batu lain akan menjadi apa yang
aku butuhkan.
Tapi dia tampaknya
tidak bisa menemukan batu yang serupa dengan miliknya tempo hari. Tidak ada
satu pun yang menarik minatnya.
Oh, di sana
ada banyak batu, tentu saja, tapi batu-batu itu tampak kusam dan dekil dan
dipenuhi kotoran. Tidak ada satu pun yang tampak indah baginya.
Lelaki itu
akhirnya menelan beberapa batu tapi tidak menimbulkan reaksi apa-apa.
Apa yang harus
aku lakukan? tanya lelaki itu. Bagaimana aku bisa hidup seperti ini?
Dan dia pun
tersentak, dan dia berhenti mencari dan berlari kencang.
Batuku! Di mana
batuku? tanyanya.
Lelaki itu
berlari dengan kalut menuju ke rumahnya.
Di mana batu
itu? dia berteriak.
Batu apa? tanya
sang istri.
Batu itu!
teriaknya lagi. Batu itu! batu itu! batuku!
Oh, ucap sang
istri. Itu di belakang. Batu itu sangat berat untuk dibawa sejauh ini.
Lelaki itu
bergegas ke belakang. Di sanalah benda itu berada – batu itu! di salah satu sudut
di halaman belakang rumahnya.
Lelaki itu
berlari ke arah batu tersebut. Dia berlutut di sampingnya.
Dia memeluk
batu itu dengan kedua lengannya.
Dia mengusap seluruh
permukaan batu itu. Dia menggosokkan wajahnya di permukaan batu itu. Batu itu
sangat besar untuk ditelan, tentu saja, tapi dia tetap memeluknya dengan erat,
menekannya ke dada.
Oh batuku!
katanya. Bagaimana bisa aku menjadi begitu bodoh? Dan bagaimana bisa saat ini
aku merasa begitu hampa?
Dan kemudian
lelaki itu mendengar sebuah suara, dan batu itu pun retak dan menganga.
Lelaki itu hanya
bisa terperangah di depan mulut batu yang gelap dan lapar. []
Sumber :
Ben
Loory (lahir tanggal 11 Juli 1971) adalah penulis cerpen berkebangsaan Amerika.
Beberapa buku yang ditulis antara lain, Stories for Nighttime and Some for
the Day (Penguin, 2011) dan Tales of Falling and Flying (Penguin,
2017). Dia juga menulis buku anak, The Baseball Player and the Walrus (Dial
Books for Young Readers, 2015). Cerpen Loory sudah tersiar di beberapa media antara
lain The New Yorker, Tin House, Electric Literature, and Fairy
Tale Review, dan telah diperdengarkan pada This American Life and
Selected Shorts. Loory berdomisili di Los Angeles dan mengajar kelas penulisan
cerpen di UCLA Extension Writers’ Program.
0 comments:
Post a Comment