Tulisan ini dimuat di majalah An-Nida Online tanggal 14 Agustus di rubrik Cerpen Interaktif. (senangnya bisa menaklukkan Annida walau hanya dengan cerpen interaktif. Ini mengingat cerpen saya sebelumnya gagal menembus brikade Annida.Hahahah.hohoho)
Yang saya posting ini adalah versi asli sebelum di edit sama An-nida.
Enjoyyy:)
***
Yang saya posting ini adalah versi asli sebelum di edit sama An-nida.
Enjoyyy:)
***
picture was taken from An-Nida Online |
Kepalaku masih tengadah
mencari jejak bintang di langit malam
ketika dua berkas sinar menyorot dari balik punggungku. Aku menoleh dan
menyipitkan mata karena silau. Tiga detik kemudian berkas sinar itu padam,
menyisakan sebuah sedan abu-abu pucat dan seorang pemuda yang keluar seraya
membanting pintu mobil.
“Apa yang kau lakukan
disini?” Tanyanya sambil berjalan
menghampiriku.
“Kau sendiri, apa yang
kau lakukan disini?”
“Merenung” jawabnya
singkat dan datar.
Sial.
Tidak tahukah anak muda ini dia baru saja menggagalkan rencana yang sudah
kupersiapkan matang-matang sejak tiga hari lalu?
Batinku menggeram.
“Kau bisa memilih
tebing lain untuk merenung. Kenapa harus disini? Aku minta kau tinggalkan aku
sendirian!” Gertakku.
Anak muda itu rupanya
tidak takut dengan gertakanku. Pun tidak takut dengan badanku yang hampir dua
kali lebih besar dari badannya yang kurus dan ceking itu. Ia berjalan ke tepi
tebing dan berdiri di sampingku. Matanya malah menyisir badanku yang besar
berotot namun kemudian terhenti di sepanjang lengan kiriku yang ber-tato. Kini kuharap dia tahu dia sedang
berhadapan dengan siapa.
“Setahun yang lalu aku
sering kemari bersama Vega, mantan pacarku “ Bukannya takut dan pergi pemuda
itu justru mulai berkisah. “Bintang-bintang terlihat lebih terang dari atas
sini”
“Aku tidak peduli kau
sering kesini atau tidak! Aku tidak peduli kau kemari dengan siapa!” Aku mulai
kesal dan membentak-bentak. Aku merasa anak muda ini mengolokku. “Kalau kau
tidak juga pergi sekarang, aku akan..”
“Membunuhku?” Ia menyela.
“Lakukan saja. Toh sebentar lagi aku juga akan mati. Kalau tidak karena kau
bunuh ya karena penyakit sialan ini”
Aku urung menggertak
lagi demi mendengar kata-kata yang baru saja diucapkannya. Alih-alih mengumpat
aku malah bertanya “Kau sakit?”
“Aku sedang dalam
pelarian. Mungkin sebentar lagi orang-orang dari rumah sakit sadar aku tidak
ada di ruangan dan mulai mencariku. Aku hanya ingin ke tempat ini untuk yang
terkahir kalinya sebelum mereka menemukanku dan membawaku kembali”
Aku memperhatikan
pemuda itu dengan lebih seksama. Usianya mungkin terpaut sepuluh tahun di
bawahku tapi rongga matanya yang cekung dan rambutnya yang menipis membuatnya
seolah-olah tampak seperti kakek-kakek enam puluh tahun.
“Oh, ini karena
kemoterapi”Ia mengibaskan rambut sekenanya dengan jemari tangannya yang
kurus-kurus seolah bisa membaca pikiranku. “Kanker otak”
Aku terdiam. Pemuda itu
terdiam. Malam yang tadinya pekat perlahan mulai terang seiring dengan hembusan
angin yang menyibakkan kumpulan awan yang sedari tadi menghalangi berkas-berkas
cahaya bintang.
“Aku juga pernah berada
dalam pelarian. Beberapa kali mencoba kabur dari penjara” Suaraku memecah
kesunyian.
Pemuda itu malah
tertawa, bukannya bergidik ngeri karena sedang berdiri di samping mantan
narapidana sepertiku. “Orang sepertimu, aku tidak heran kau pernah di penjara”
Saat itu juga aku sudah
akan mendaratkan bogem mentah kalau saja tidak mengingat pemuda ini sedang
sekarat karena kanker otak. Kanker yang juga merenggut Bintang dariku.
“Vega selalu bilang
tiap kali kami kemari, bahwa bintang-bintang membentuk gugusan yang bisa
menuntun nelayan pulang kembali ke daratan saat mereka tersesat di laut”
“Apa yang terjadi pada
mantan pacarmu itu? kalian putus dan kau ingin mengenangnya disini?” Tanyaku
kesal membayangkan misiku malam ini mungkin saja akan berakhir dengan berdiri
sampai pagi mendengarkan kisah cinta pemuda ini.
“Vega?” Ia berbalik
menatapku. “Kami baik-baik saja. Aku meminangnya setahun lalu dan dua bulan
lagi dia akan melahirkan anak pertama kami”
“Dia istri dan calon
ibu yang sempurna untuk anak kami kelak” Pemuda itu kembali bertutur. Kali ini
dengan suara yang agak parau. Jelas sekali ia berusaha keras menjaga agar
emosinya tidak meluap.
“Aku yakin dia akan baik-baik saja tanpaku.”
“Setiap hari aku hidup
dengan harapan masih ada satu hari lagi yang Tuhan sediakan untukku. Satu hari
lagi Tuhan. Lalu aku mulai mengharapkan Tuhan memberiku satu minggu, satu
bulan, atau setidaknya sampai bayiku lahir. Lalu vonis itu datang. mereka
bilang waktuku tidak lebih dari satu bulan lagi.
Siapa mereka berhak memvonis
umurku?”
Mata pemuda itu
mencengkram mataku. Genangan air yang menggantung di pelupuknya tidak
mengahalangi ketajaman sinar matanya menembus sukmaku. Mencabik-cabik batinku.
Menyoyak-nyoyak jiwaku yang mati terkubur tiga hari lalu bersama jasad Bintang.
Aku tidak percaya sorot setajam pisau bisa keluar dari mata sayu dan cekung
itu. Seolah ia sedang menghakimiku atas perbuatan yang akan aku lakukan.
Siapa
kau berhak memvonis umurmu?
Aku megalihkan
pandangan segara dari sorotan tajam mata pemuda itu sebelum ia menghakimiku
habis-habisan. Ia melanjutkan kembali kisahnya tentang bagaimana ia pertama
kali bertemu Vega, tentang bagaimana Vega tetap setia mendampingi di tengah
penyakitnya yang mengganas, tentang kesempatan-kesempatan yang seolah tidak
Tuhan berikan kepadanya.
Sementara itu aku
memilih mengedarkan pandangan ke sekelilingku dibanding harus menatap kembali
mata pemuda itu. Tempat ini, tebing ini. Bukan pemuda itu saja yang punya
banyak kenangan di sini. (Bersambung)
***
Kenapa ini Part 2 dan dimana part 1 nya lalu bagaimana part 3 nya? semua bisa saudara-saudara sekalian baca di annida-online.com
selalu jatuh cinta dengan tulisanmu, mbak...
ReplyDeleteselalu jatuh cinta dengan tulisanmu, mbak...
ReplyDelete