Gambar dari sini |
Pernah suatu pagi perutku sangat sakit karena sejak semalam tidak makan. Ibu bilang sebentar lagi nasi masak. Kuhampiri panci alumunium dan membuka tutupnya. Di dalamnya dua buah kerakal mengering ditinggalkan air yang menguap. Aku menyadari sejak tiga jam yang lalu Ibu tidak menanak nasi, melainkan batu.
Aku masih berumur lima tahun dan percaya batu bisa menjadi lunak jika direbus dengan air, "Tunggu tiga jam lagi Anjani," bisiknya.
Hari ini, Anjas, adikku yang berumur enam tahun meringis kesal. Sudah tiga hari kami hanya makan nasi putih tanpa lauk apapun. Malam ini ia ngambek dan tak sudi makan.
Bapak kami belum juga kembali sejak terakhir kali pergi melaut. Ibu menolak kenyataan Bapak mati tenggelam dan memilih meyakini bahwa Bapak hanya sedang tersesat. Sejak saat itu tak ada ikan di bawah tudung saji kami. Sejak saat itu kami hanya makan nasi putih.
"Bapak belum dapat ikan, makanya belum pulang," sahut Ibu ketika Anjas menanyakan Bapak.
"Ibu bohong!"
"Ibu tidak bohong. Laut sudah kehabisan ikan, karena manusia terlalu sering makan ikan."
"Benarkah?" Anjas mulai termakan dongengan ibu. "Jadi, kita tak akan bisa makan ikan lagi selamanya?"
"Tentu saja bisa. Habiskan dulu nasimu setelah itu kita pergi memancing ikan."
Anjas dengan cekatan melahap habis nasi putih di atas piringnya sementara Ibu menyiapkan pancing dan kail cadangan milik Bapak.
Setelah nasi di piring Anjas tandas, Ibu membawanya ke halaman belakang rumah kami. Malam membentangkan purnama saat Ibu mengulur senar pancing.
"Kita akan memancing di bulan.”
"Apakah di bulan ada ikan?"
"Ya. Laut di bulan masih melimpah ikan. Belum pernah ada yang memancing di sana."
Mata Anjas berbinar saat Ibu melemparkan kail yang mengait umpan jauh ke kegelapan malam, persis seperti binar mataku ketika melihat Ibu menuangkan air ke dalam panci berisi batu dua belas tahun yang lalu.
Catatan :
Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam event menulis LovRinz and Friends
Menang juga ini, mam? #wow
ReplyDeleteJuara dua doang mbak Kifa...π
DeleteSuka mupeng sm penulis yg punya ide cerita keren begini. Pasti nutrisinya bacaan2 keren juga π€
ReplyDeleteNutrisinya buku sama khayalan. Hahahaπ
DeleteBaper ah, hikz :(
ReplyDeleteBaper ah, hikz :(
ReplyDeleteAaraa suka heraan kakak di odop ini tulisannya benar-benar simpel. Tapi dalam...
ReplyDeleteMupeng
Wah,, Araa. Makasih ya sudah mampir..πππ
DeleteMantaap mbaakkk...
ReplyDeleteMakasih mbak..ππ
DeleteApa gara-gara reklamasi makanya ikan habis di lautan?
ReplyDeleteWkwkwkwk...
Keren, uey. Selalu iri dengan "khayalan " tingakt tinggi gini..
Makasih sudah mampir Mas Ibnu...
DeleteKhalayan dadakan ini, Mas. π
Duh ibu, saya mau juga ikut mancing ke bulan. Pasti banyak ikannya. Keren tulisannya mbak
ReplyDeleteMasukan batu ? terus diubah sama ibu peri jadi daging ayam ?
ReplyDeleteMasukan batu ? terus diubah sama ibu peri jadi daging ayam ?
ReplyDeleteWah ungkapannya sungguh luar biasa, memancing di rembulan
ReplyDelete