Saturday, July 23, 2016

Di Balik Gharqad Muda



Tangan mungilnya penuh dan begitu sibuk. Batu di kepalan tangan kanan. Kitab suci didekap di dada oleh tangan kiri. Dari tempatnya bersembunyi ia bisa melihat sol sepatu kokoh milik para tentara. Tentara berseragam yang dua hari lalu menyerbu gang-gang di kampungnya. Menembaki beberapa warga. Menjadikannya yatim piatu. Duka belum berlalu ketika taman bermainnya pun dibombardir. 

"Kenapa paman? Kenapa? Aku hanya bocah pengahafal kitab. Belum lah lagi 10 tahun," ia membatin. Tangannya gemetaran tapi hati mungilnya tidak gentar. Ia menghitung-hitung dengan cermat Lalu melompat dari tempat persembunyian. Hup! Tepat sasaran! Kerakal merobek pelipis salah satu tentara. Si tentara berteriak kesakitan. Teman-temannya Refleks menarik pelatuk. Dor! Dor! Dor! 

"Aku tidak takut paman! Aku tidak takut! Lihatlah namaku telah terukir di surga! Aku lah tentara Tuhan!" Teriak bocah itu sebelum peluru menembus tempurung kepalanya.

Wajah para tentara pias. Pucat seputih kertas. Khawatir jangan-jangan bocah ini membawa gerombolan temannya. Para penghafal kitab. Tidak mau ambil resiko, mereka lari tunggang langgang menuju ke balik pohon gharqad.

"Tampaknya kita perlu menanam lebih banyak gharqad karena para wanita di desa ini semakin banyak melahirkan bocah-bocah yang tidak takut mati!" Seru salah satu tentara yang adalah pemimpin mereka.

"Siap,sir! 1000 gharqad muda siap di tanam sebelum fajar" sahut anggotanya.

"Siapkan rudal pembantai massal. Target malam ini adalah pemukiman Chaos. Saya ingin laporannya,"sang pemimpin kembali memberi instruksi.

"Siap, sir. Pemukiman chaos memiliki jumlah penduduk sebanyak 325 jiwa. 170 di antaranya wanita. 53 diantaranya sedang mengandung," anak buahnya memberi laporan.

"Apa?! Bukankah dua tahun lalu penduduk pemukiman Chaos kurang dari 200 jiwa?" Sang pemimpin terkejut.

"Memang benar, Sir. Tapi tingkat lelahiran di pemukiman Chaos meningkat 3 kali lipat dalam dua tahun terakhir."

Sang pemimpin terkejut. Takut mulai merayapi lubuk hatinya namun ia berusaha menahan mimik wajah. Ia harus terlihat tetap tenang untuk menguatkan semangat para tentara yang ia pimpin.

Di ufuk barat matahari mulai terbenam. Hembusan angin senja menggoyangkan dahan-dahan gharqad membisikkan cerita turun temurun dari nenek moyang tentang suatu masa ketika tidak ada lagi yang bisa melindungi kecuali sebatang pohon.

No comments:

Post a Comment