Sebuah cerpen yang pernah saya kirim ke Go!Girl namun tidak kunjung mendapat tanggapan. heheheh
Monggo dinikmati jangan lupa kritikan paling pedas di kolom komentar.
Gambar dari sini |
Pagi
masih muda. Matahari malu-malu mengintip dari ufuk timur. Berkas sinarnya
memantul di permukaan danau yang nyaris sebening kaca. Silau. Tapi aku selalu
jatuh cinta dengan matahari yang terlihat dari kampus ini.
“Selamat pagi, Sam. Kau sedang apa?” Aku tahu
itu suara Levi. Aku kenal betul desir suaranya.
“Aku sedang berpikir untuk berterimakasih
kepada yang membuat rancangan master plan
kampus ini. Hebat sekali saat dia berinisiatif untuk membuat danau buatan yang
ada di depan kita sekarang”
Levi
tersenyum dan memutuskan menemaniku menghirup keindahan danau pagi ini.
Levi
baru beberapa minggu ini hadir di kehidupanku. Awalnya aku tidak menyadarinya
hingga suatu senja, di tepi danau persis di tempatku berdiri sekarang Ia
menyapaku. Aku melirik Levi sekilas. Pagi ini dia begitu indah. Hadir dengan
nuansa hijau yang memukau. Sejak pertama kali mengenalnya aku tahu dia bukan
mahasiswa kampus ini,
sepertiku.
Ia
sering menemaniku menikmati keindahan danau seperti sekarang. Kadang Ia
menyapaku di senja hari. Kadang sekedar menegurku di kala siang dan matahari
menyengat. Tapi lebih sering kami bercengkrama di saat pagi masih muda.
Hari
demi hari kebersamaan kami membuatku tidak bisa menepis sebuah perasaan yang
tiba-tiba timbul di hatiku. Awalnya Aku bingung dan berusaha menyangkal. Tapi
dibanding membuang energi untuk menghalau persaan itu, aku lebih memilih untuk
menikmatinya.
“Lihat!
banyak anak-anak yang datang melihat rusa!” seruan Levi membuyarkan lamunanku.
Ini
hari Sabtu. Kampus libur. Tapi kehidupan sudah menggeliat sejak pagi masih muda.
Ada yang datang untuk sekedar jogging,
ada yang datang membawa anak kecil untuk menonton rusa sumbangan bapak Presiden
untuk kampus ini berlari-larian di tepi danau. Ada juga yang datang hanya untuk duduk dan
menikmati keindahan danau seperti yang sedang kulakukan bersama Levi.
“Aku
tidak bisa, Ridwan”
Aku
agak terkejut dan menoleh ke arah sumber suara dan mendapati seorang gadis berbaju
ungu duduk tidak jauh dari tempatku. Di sampingnya seorang laki-laki berkaus
oblong hitam menatapnya dengan raut sedih.
“Ssstt..
laki-laki itu baru saja menyatakan perasaannya ke gadis itu” itu suara Levi
yang berbisik. Desiran suaranya menggelitikku. “Tapi sepertinya dia ditolak”
“Ternyata
kamu suka nguping juga ya Lev?” Sindirku. “Sudahlah, jangan campuri urusan
orang lain”
“sssttt....”
Levi hanya membalasku dengan suaranya yang mendesis.
“Aku
mencintai temanmu, Ridwan. Bukan kamu.” Terdengar lagi suara si gadis berbaju
ungu.
Laki-laki
yang disebut Ridwan hanya diam mematung. Jarak sepuluh sentimeter di antara
mereka seolah-olah menganga lebih lebar. Aku tahu laki-laki itu kecewa.
Kekecewaan teramat sangat yang mampu melemparkan pikirannya menjauh dari tempat
tubuhnya duduk saat ini.
Aku
menunggu apa yang akan mereka bicarakan kemudian. Tapi yang ada hanya sunyi.
Sementara di angkasa sana berkas sinar matahari sudah semakin nyata. Laki-laki
dan perempuan itu terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing sehingga tidak
menyadari keberadaan kami
“menurutmu bagaimana kelanjutan hubungan
mereka?” tanyaku pada Levi kemudian.
“Aku
berharap mereka tetap bisa berteman” sahut Levi seadanya.
“Seperti
kita?” Tanyaku. “Seperti kita yang tetap berteman meski kamu tahu betul apa
yang aku rasakan?”
Levi
tersenyum tipis. Ia melihat ke arah matahari sejenak. Aku tahu sebentar lagi ia
akan berpamitan dan meninggalkanku menikmati danau seorang diri. Ada kewajiban
yang harus segera ia tunaikan saat matahari meninggi. Selalu seperti itu setiap
harinya.
“Aku tidak ingin kehilanganmu, Lev”
“Aku
juga sama sekali tidak ingin meninggalkanmu. Tapi kau tahu Sam, perpisahan
adalah sesuatu yang amat nyata untuk kita”
Kata-kata
Levi tentang perpisahan itu sangat menyakitkan buatku. Bukan pertama kali ini
saja ia berfilosofi tentang hal tersebut. Tapi sebanyak apapun ia
mengucapkannya tetap terasa menyakitkan.
“Saat kau menemukan yang lebih
baik, kau akan segera melupakanku, Sam”.
Levi
lalu pergi meninggalkanku yang masih membisu untuk menunaikan kewaijibannya. Ia
tidak suka diganggu saat sedang bekerja. Ia perlu berkonsentrasi sebelum
matahari menghilang.
“Cepat!
Cepat! Jangan lambat!” Aku kembali terhempas ke alam sadarku dan menyadari hari
beranjak sore.
Di
kejauhan tampak seorang mahasisiwa mengenakan pakaian olahraga memimpin segerombolan
mahasiswa lain yang berpenampilan aneh di belakangnya. Yang wanita rambutnya di
kuncir lima. Yang laki-lakinya digundul. Masing-masing mereka mengalungi papan
nama dari kardus berukuran tiga puluh sentimeter yang diikatkan pada tali
rafia. Dari penampilannya, mereka pasti mahasiswa baru yang sedang menjalani
ospek. Dan yang berlari memipin mereka di barisan paling depan pasti mahasiswa
senior.
“Tetap
fokus dan perhatikan pohon-pohon di kanan-kiri jalan” Teriak si mahasiswa
senior itu.
Seorang
gadis berkuncir lima berlari melalui tempatku duduk. Ia berhenti sejenak di
dekatku. Jarak kami yang lumayan dekat membuatku bisa membaca tulisan yang
tertera di papan kardus yang dikenakannya. Reni.
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
angkatan 2012.
***
Fajar
baru saja menyapa semenit yang lalu. Aroma lumut yang tertutup embun di
permukaan tanah berlapis paving menyengat hidungku. Aku tidak tahu ini pagi
keberapa sejak perkenalanku dengan Levi.
“Selamat
pagi, Sam”
Aku
menoleh dan mendapati Levi hadir dalam nuansa kuning muda dan tampak pucat.
“Kau
baik-baik saja?” tanyaku khawatir.
“Ya,
aku baik-baik saja”
Belakangan
Levi hadir dalam nuansa kuning, bukan lagi hijau seperti saat pertama kali kami
bertemu dulu. Padahal warna hijau itu favoritku dan kupikir juga warna favorit
Levi.
“Jangan
sedih begitu, Sam. Lihat, langit masih biru dan danau favoritmu ini masih tetap
berkilauan seperti kaca”
Aku
berusaha tersenyum. Aku tahu Levi sedang tidak baik-baik saja seperti yang dikatakannya
tadi. Tapi aku tidak ingin membuatnya tambah sedih dengan rasa khawatirku yang
kata Levi tidak beralasan.
“Jangan
terlalu mendramatisir. Aku tahu ini sudah sering terjadi padamu. Kau sudah
terlalu banyak kehilangan. Tidak apa-apa kalau mengalami satu kali kehilangan
lagi” Itu kalimat Levi minggu lalu saat aku mengungkapkan kekhawatiranku pada
kondisinya, kekhawatiran yang dia anggap berlebihan.
“Relakan
aku, Sam. Tidak ada gunanya kamu mempertahankanku” ujar Levi tiba-tiba.
“Aku akan mempertahankanmu apapun yang
terjadi”
“Sampai
kapan?” Tanyanya.
Aku
memilih untuk diam berusaha melawan kesedihanku.
“Aku
akan menemanimu sampai larut” ujar Levi kemudian.
Sudah
beberapa hari ini Levi setia menemaniku hingga larut malam. Ia tak lagi pergi
saat matahari meninggi. Aku senang lebih lama bersamanya. Semoga ia juga
merasakan hal yang sama.
***
Penghujan
tiba. Seringkali hujan turun dari pagi dan belum berhenti hingga menjelang
malam. Hari ini hujan turun sedari pagi namun berhenti ketika matahari
meninggi.
“Sam,
lihat di sana!”
Aku
menoleh mengikuti arah pandang Levi. Segerombolan mahasiswa. Yang wanita
dikuncir lima dan yang laki-laki di cukur botak. Salah satu dari mereka tampak
familiar dalam ingatanku.
“fokus
dan perhatikan baik-baik pohon-pohon itu. Sebagai mahasiswa kehutanan kalian
harus bisa mengklasifikasikannya” Teriak salah seorang mahasiswa senior.
“apa
yang mereka lakukan?” tanyaku.
“mereka
mengklasifikasikan jenis-jenis pohon. Lihat itu, mereka memasang semacam papan
di masing-masing pohon. Ficus Benjamina1,
Vitex Cofassus2, swietenia macrophylla3. Mereka menamai
pohon-pohon itu”
Aku
hanya tersenyum sesekali mengangguk menanggapi celotehan Levi. Sore ini ia
tampak ceria meski wajahnya bertambah pucat dari hari ke hari. Nuansa coklat
muda hangat yang dihadirkannya sore ini tidak mampu menutupi wajahnya yang
pucat.
“Oke kita lanjutkan besok
pengklasifikasiannya!” Teriak salah satu di antara mereka lantang mengkahiri
kegiatan para mahasiswa itu mengklasifikasikan nama-nama pohon yang ada di
sekitar danau kampus ini.
Kupikir
aku memang harus segera merelakan Levi.
***
Segerombolan
mahasiswa baru fakultas kehutanan sudah memadati area danau sejak pagi. Mereka
melanjutkan misi mereka yang belum tuntas kemarin. Mengklasifikasikan
jenis-jenis pohon yang ada di kampus ini.
“Kalau
aku membiarkanmu pergi, apakah kamu akan tetap mengingatku?” tanyaku pada Levi
yang sudah sejak sepuluh menit lalu menemaniku menikmati indahnya danau di pagi
hari.
Levi
tampak terkejut namun tetap menjawab “Tentu saja, Sam. Aku tidak akan pernah
melupakanmu”
“Benarkah?”
rasanya air mataku sudah akan jatuh.
“apakah
kamu akan merelakanku?” tanyanya pelan.
“Tentu
saja kalau itu maumu”
“Bukan
mauku. Tapi sudah seharusnya demikian. Andaikan aku terlahir lagi, aku tetap
ingin terlahir dengan perasaan ini. Rasa cinta ini”.
Lalu
kami berdua terdiam. Angin sehabis hujan semalam berhembus. Dingin malam yang
basah masih terasa di sela-sela hembusannya. Di kejauhan sana beberapa ekor
rusa berlarian saling mengejar satu sama lain menelusuri sisi lain danau.
“Reni,
tolong pasang papan untuk pohon yang itu!” Aku mendengar salah satu mahasiswa
berseru dan gadis benama Reni berlari-lari kecil menghampiri tempatku duduk. Tangan
kanannya membawa sebuah plat biru dari
seng. Tangan kirinya membawa palu dan sekantung tas plastik berisi paku.
Aku
kembali mengalihkan pandanganku ke arah Levi. Aku sudah memutuskan untuk
merelakannya hari ini.
“Terimaksih
untuk untuk semuanya Levi. Kau tahu, aku sangat mencintaimu” ujarku serak. Aku
tidak mampu menahan air mataku.
Angin
berhembus agak kencang pagi itu. “Aku juga mencintaimu. Jaga diri baik-baik,
Sam”. Itu kalimat terkahirnya sebelum ia beranjak pergi. Air mata tak kuasa
lagi kubendung.
“Pohon
ini banyak getahnya, kak!” Aku mendengar suara Reni berteriak namun aku tidak
menghiraukannya. Aku terlalu sibuk mengamati kepergian Levi.
“Semakin
dipaku semakin banyak getanya!” Aku kembali mendengar suara Reni. Air mataku
tumpah semakin banyak.
Seorang
mahasiswa senior berlari-lari kecil menghampiri Reni. “Sini, biar aku yang
paku!” Mahasiswa senior itu cekatan mengambil alih tugas Reni memaku plat seng
ke tubuhku. Tidak sakit. Rasa sakit kehilangan Levi jauh lebih besar.
Samanea saman4.
Aku membaca tulisan di atas plat yang dipakukan ke atas tubuhku sekilas.
Angin
masih berhembus kencang saat aku membiarkan Levi gugur dari salah satu
rantingku. Aku merunduk melihat tubuhnya menari-nari dibelai angin sebelum
terbaring sempurna di atas permukaan tanah tepat di samping sepatu Reni.
Terimakasih telah
berfotosintesis untukku saat matahari meninggi selama tiga bulan ini.
Sabrina
A. Lasama
Keterangan
:
1. Ficus Benjamina :
Pohon Beringin
2. Vitex Cofassus :
Pohon Bitti
3.
swietenia macrophylla : Pohon Mahogani
4. Samanea Saman :
Ki Hujan (Sejenis Pohon Peneduh)
No comments:
Post a Comment