Saturday, April 23, 2016

Samanea Saman




Sebuah cerpen yang pernah saya kirim ke Go!Girl namun tidak kunjung mendapat tanggapan. heheheh

Monggo dinikmati jangan lupa kritikan paling pedas di kolom komentar.


 
Gambar dari sini

Pagi masih muda. Matahari malu-malu mengintip dari ufuk timur. Berkas sinarnya memantul di permukaan danau yang nyaris sebening kaca. Silau. Tapi aku selalu jatuh cinta dengan matahari yang terlihat dari kampus ini. 

 “Selamat pagi, Sam. Kau sedang apa?” Aku tahu itu suara Levi. Aku kenal betul desir suaranya.

 “Aku sedang berpikir untuk berterimakasih kepada yang membuat rancangan master plan kampus ini. Hebat sekali saat dia berinisiatif untuk membuat danau buatan yang ada di depan kita sekarang”
Levi tersenyum dan memutuskan menemaniku menghirup keindahan danau pagi ini. 

Levi baru beberapa minggu ini hadir di kehidupanku. Awalnya aku tidak menyadarinya hingga suatu senja, di tepi danau persis di tempatku berdiri sekarang Ia menyapaku. Aku melirik Levi sekilas. Pagi ini dia begitu indah. Hadir dengan nuansa hijau yang memukau. Sejak pertama kali mengenalnya aku tahu dia bukan mahasiswa kampus ini, sepertiku.

Ia sering menemaniku menikmati keindahan danau seperti sekarang. Kadang Ia menyapaku di senja hari. Kadang sekedar menegurku di kala siang dan matahari menyengat. Tapi lebih sering kami bercengkrama di saat pagi masih muda. 

Hari demi hari kebersamaan kami membuatku tidak bisa menepis sebuah perasaan yang tiba-tiba timbul di hatiku. Awalnya Aku bingung dan berusaha menyangkal. Tapi dibanding membuang energi untuk menghalau persaan itu, aku lebih memilih untuk menikmatinya.

“Lihat! banyak anak-anak yang datang melihat rusa!” seruan Levi membuyarkan lamunanku.

Ini hari Sabtu. Kampus libur. Tapi kehidupan sudah menggeliat sejak pagi masih muda. Ada yang datang untuk sekedar jogging, ada yang datang membawa anak kecil untuk menonton rusa sumbangan bapak Presiden untuk kampus ini berlari-larian di tepi danau.  Ada juga yang datang hanya untuk duduk dan menikmati keindahan danau seperti yang sedang kulakukan bersama Levi.

“Aku tidak bisa, Ridwan” 

Aku agak terkejut dan menoleh ke arah sumber suara dan mendapati seorang gadis berbaju ungu duduk tidak jauh dari tempatku. Di sampingnya seorang laki-laki berkaus oblong hitam menatapnya dengan raut sedih.

“Ssstt.. laki-laki itu baru saja menyatakan perasaannya ke gadis itu” itu suara Levi yang berbisik. Desiran suaranya menggelitikku. “Tapi sepertinya dia ditolak”

“Ternyata kamu suka nguping juga ya Lev?” Sindirku. “Sudahlah, jangan campuri urusan orang lain”
“sssttt....” Levi hanya membalasku dengan suaranya yang mendesis.

“Aku mencintai temanmu, Ridwan. Bukan kamu.” Terdengar lagi suara si gadis berbaju ungu.

Laki-laki yang disebut Ridwan hanya diam mematung. Jarak sepuluh sentimeter di antara mereka seolah-olah menganga lebih lebar. Aku tahu laki-laki itu kecewa. Kekecewaan teramat sangat yang mampu melemparkan pikirannya menjauh dari tempat tubuhnya duduk saat ini.

Aku menunggu apa yang akan mereka bicarakan kemudian. Tapi yang ada hanya sunyi. Sementara di angkasa sana berkas sinar matahari sudah semakin nyata. Laki-laki dan perempuan itu terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing sehingga tidak menyadari keberadaan kami

 “menurutmu bagaimana kelanjutan hubungan mereka?” tanyaku pada Levi kemudian.

“Aku berharap mereka tetap bisa berteman” sahut Levi seadanya. 

“Seperti kita?” Tanyaku. “Seperti kita yang tetap berteman meski kamu tahu betul apa yang aku rasakan?”

Levi tersenyum tipis. Ia melihat ke arah matahari sejenak. Aku tahu sebentar lagi ia akan berpamitan dan meninggalkanku menikmati danau seorang diri. Ada kewajiban yang harus segera ia tunaikan saat matahari meninggi. Selalu seperti itu setiap harinya.

 “Aku tidak ingin kehilanganmu, Lev”

“Aku juga sama sekali tidak ingin meninggalkanmu. Tapi kau tahu Sam, perpisahan adalah sesuatu yang amat nyata untuk kita

Kata-kata Levi tentang perpisahan itu sangat menyakitkan buatku. Bukan pertama kali ini saja ia berfilosofi tentang hal tersebut. Tapi sebanyak apapun ia mengucapkannya tetap terasa menyakitkan.
 “Saat kau menemukan yang lebih baik, kau akan segera melupakanku, Sam”.

Levi lalu pergi meninggalkanku yang masih membisu untuk menunaikan kewaijibannya. Ia tidak suka diganggu saat sedang bekerja. Ia perlu berkonsentrasi sebelum matahari menghilang. 

“Cepat! Cepat! Jangan lambat!” Aku kembali terhempas ke alam sadarku dan menyadari hari beranjak sore. 

Di kejauhan tampak seorang mahasisiwa mengenakan pakaian olahraga memimpin segerombolan mahasiswa lain yang berpenampilan aneh di belakangnya. Yang wanita rambutnya di kuncir lima. Yang laki-lakinya digundul. Masing-masing mereka mengalungi papan nama dari kardus berukuran tiga puluh sentimeter yang diikatkan pada tali rafia. Dari penampilannya, mereka pasti mahasiswa baru yang sedang menjalani ospek. Dan yang berlari memipin mereka di barisan paling depan pasti mahasiswa senior.

 Tetap fokus dan perhatikan pohon-pohon di kanan-kiri jalan” Teriak si mahasiswa senior itu.
Seorang gadis berkuncir lima berlari melalui tempatku duduk. Ia berhenti sejenak di dekatku. Jarak kami yang lumayan dekat membuatku bisa membaca tulisan yang tertera di papan kardus yang dikenakannya. Reni. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin angkatan 2012.
***
Fajar baru saja menyapa semenit yang lalu. Aroma lumut yang tertutup embun di permukaan tanah berlapis paving menyengat hidungku. Aku tidak tahu ini pagi keberapa sejak perkenalanku dengan Levi. 

“Selamat pagi, Sam”

Aku menoleh dan mendapati Levi hadir dalam nuansa kuning muda dan tampak pucat. 

“Kau baik-baik saja?” tanyaku khawatir.

“Ya, aku baik-baik saja”

Belakangan Levi hadir dalam nuansa kuning, bukan lagi hijau seperti saat pertama kali kami bertemu dulu. Padahal warna hijau itu favoritku dan kupikir juga warna favorit Levi. 

“Jangan sedih begitu, Sam. Lihat, langit masih biru dan danau favoritmu ini masih tetap berkilauan seperti kaca”

Aku berusaha tersenyum. Aku tahu Levi sedang tidak baik-baik saja seperti yang dikatakannya tadi. Tapi aku tidak ingin membuatnya tambah sedih dengan rasa khawatirku yang kata Levi tidak beralasan.

“Jangan terlalu mendramatisir. Aku tahu ini sudah sering terjadi padamu. Kau sudah terlalu banyak kehilangan. Tidak apa-apa kalau mengalami satu kali kehilangan lagi” Itu kalimat Levi minggu lalu saat aku mengungkapkan kekhawatiranku pada kondisinya, kekhawatiran yang dia anggap berlebihan.

“Relakan aku, Sam. Tidak ada gunanya kamu mempertahankanku”  ujar Levi tiba-tiba.

 “Aku akan mempertahankanmu apapun yang terjadi”

“Sampai kapan?” Tanyanya. 

Aku memilih untuk diam berusaha melawan kesedihanku.

“Aku akan menemanimu sampai larut” ujar Levi kemudian.

Sudah beberapa hari ini Levi setia menemaniku hingga larut malam. Ia tak lagi pergi saat matahari meninggi. Aku senang lebih lama bersamanya. Semoga ia juga merasakan hal yang sama.

***
Penghujan tiba. Seringkali hujan turun dari pagi dan belum berhenti hingga menjelang malam. Hari ini hujan turun sedari pagi namun berhenti ketika matahari meninggi.

“Sam, lihat di sana!”

Aku menoleh mengikuti arah pandang Levi. Segerombolan mahasiswa. Yang wanita dikuncir lima dan yang laki-laki di cukur botak. Salah satu dari mereka tampak familiar dalam ingatanku.

“fokus dan perhatikan baik-baik pohon-pohon itu. Sebagai mahasiswa kehutanan kalian harus bisa mengklasifikasikannya” Teriak salah seorang mahasiswa senior.

“apa yang mereka lakukan?” tanyaku.

“mereka mengklasifikasikan jenis-jenis pohon. Lihat itu, mereka memasang semacam papan di masing-masing pohon. Ficus Benjamina1, Vitex Cofassus2, swietenia macrophylla3. Mereka menamai pohon-pohon itu”

Aku hanya tersenyum sesekali mengangguk menanggapi celotehan Levi. Sore ini ia tampak ceria meski wajahnya bertambah pucat dari hari ke hari. Nuansa coklat muda hangat yang dihadirkannya sore ini tidak mampu menutupi wajahnya yang pucat. 

 “Oke kita lanjutkan besok pengklasifikasiannya!” Teriak salah satu di antara mereka lantang mengkahiri kegiatan para mahasiswa itu mengklasifikasikan nama-nama pohon yang ada di sekitar danau kampus ini.

Kupikir aku memang harus segera merelakan Levi. 

***

Segerombolan mahasiswa baru fakultas kehutanan sudah memadati area danau sejak pagi. Mereka melanjutkan misi mereka yang belum tuntas kemarin. Mengklasifikasikan jenis-jenis pohon yang ada di kampus ini.

“Kalau aku membiarkanmu pergi, apakah kamu akan tetap mengingatku?” tanyaku pada Levi yang sudah sejak sepuluh menit lalu menemaniku menikmati indahnya danau di pagi hari.
Levi tampak terkejut namun tetap menjawab “Tentu saja, Sam. Aku tidak akan pernah melupakanmu”

“Benarkah?” rasanya air mataku sudah akan jatuh.

“apakah kamu akan merelakanku?” tanyanya pelan.

“Tentu saja kalau itu maumu”

“Bukan mauku. Tapi sudah seharusnya demikian. Andaikan aku terlahir lagi, aku tetap ingin terlahir dengan perasaan ini. Rasa cinta ini”.

Lalu kami berdua terdiam. Angin sehabis hujan semalam berhembus. Dingin malam yang basah masih terasa di sela-sela hembusannya. Di kejauhan sana beberapa ekor rusa berlarian saling mengejar satu sama lain menelusuri sisi lain danau.

“Reni, tolong pasang papan untuk pohon yang itu!” Aku mendengar salah satu mahasiswa berseru dan gadis benama Reni berlari-lari kecil menghampiri tempatku duduk. Tangan kanannya  membawa sebuah plat biru dari seng. Tangan kirinya membawa palu dan sekantung tas plastik berisi paku.

Aku kembali mengalihkan pandanganku ke arah Levi. Aku sudah memutuskan untuk merelakannya hari ini. 

“Terimaksih untuk untuk semuanya Levi. Kau tahu, aku sangat mencintaimu” ujarku serak. Aku tidak mampu menahan air mataku.

Angin berhembus agak kencang pagi itu. “Aku juga mencintaimu. Jaga diri baik-baik, Sam”. Itu kalimat terkahirnya sebelum ia beranjak pergi. Air mata tak kuasa lagi kubendung.

“Pohon ini banyak getahnya, kak!” Aku mendengar suara Reni berteriak namun aku tidak menghiraukannya. Aku terlalu sibuk mengamati kepergian Levi. 

“Semakin dipaku semakin banyak getanya!” Aku kembali mendengar suara Reni. Air mataku tumpah semakin banyak. 

Seorang mahasiswa senior berlari-lari kecil menghampiri Reni. “Sini, biar aku yang paku!” Mahasiswa senior itu cekatan mengambil alih tugas Reni memaku plat seng ke tubuhku. Tidak sakit. Rasa sakit kehilangan Levi jauh lebih besar.

Samanea saman4. Aku membaca tulisan di atas plat yang dipakukan ke atas tubuhku sekilas.
Angin masih berhembus kencang saat aku membiarkan Levi gugur dari salah satu rantingku. Aku merunduk melihat tubuhnya menari-nari dibelai angin sebelum terbaring sempurna di atas permukaan tanah tepat di samping sepatu Reni.

Terimakasih telah berfotosintesis untukku saat matahari meninggi selama tiga bulan ini.

Sabrina A. Lasama

Keterangan :
1.      Ficus Benjamina              : Pohon Beringin
2.      Vitex Cofassus                 : Pohon Bitti
3.      swietenia macrophylla     : Pohon Mahogani
4.      Samanea Saman              : Ki Hujan (Sejenis Pohon Peneduh)

No comments:

Post a Comment