(Cerpen ini saya bikin pas kuliah kira-kira smester 5. itu sekitar tahun 2010. Niatnya untuk diikutsertakan dalam lomba menulis cerpen yang diadakan FLP rantng Unhas. Tapi ga terpilih jadi juara pemirsah..jadinya saya upload di sini saja untuk konsumsi publik. :D)
ALIF
Bahan tugas akhir yang kian hari
kian mendekati deadline berhamburan di meja server di depanku saat gadis itu
menghampiriku.
“Berapa?” tanyanya singkat, cukup
membuatku terhisap kembali ke dunia nyata setelah berpuluh-puluh menit
menggarap skripsi selepas asistensi tadi siang di kampus. Dan juga kelengkapan
berkas S2 yang sangat ribet ini.
“oh..10.000” jawabku singkat.
Ia menyerahkan lembar 10.000-an dan
berlalu pergi. Ekor mataku masih mengikuti kepergiannya. Salah satu juniorku di
kampus. Gadis dengan misi penyetaraan gendernya yang begitu kuat ia pegang
teguh.
“Godhul bashar,,akhi(1)” Ikaz
menyikutku menggoda.
“Astaghfirullahaladzim. Dia juniorku
ko’..”tangkisku cepat dan ku tau dari kerlingan mata Ikaz, ia masih hendak
menggoda. Maka dari itu, aku cepat-cepat beranjak.
“ane liat antum(2) sering perhatikan
tu cewe’..dia langganan warnet ini kan?” sayup-sayup masih terdengar ejekan
Ikaz. Aku menggeleng pelan.
NAMIRAH
Oktober, 2007
Fakultas ini seperti kerajaan. Eh,
bukan. Ini miniatur Negara, aku pernah dengar salah seorang seniorku mengatakan
hal itu. Ya, ini Negara. Negrinya para lelaki. Aku benci laki-laki!! Mereka sok
kuat,sok paling bisa, menjunjung tinggi poligami, yang pada dasarnya adalah
jelmaan nafsu mereka semata dan bukankah presiden Negara ini kesemuanya adalah
laki-laki?? (Well, kita tidak sedang membicarakan ibu Megawati Soekarno Putri)
tapi mana?? Kedikdayaan dan kehebatan yang selalu mereka agung-agungkan itu
sama sekali tidak membawa dampak besar bagi Negara ini.
Dan yang menelantarkan aku dan ibuku
juga laki-laki! Hah!! Hebat sekali mereka!
Jadi
sepertinya, aku salah masuk fakultas. Harusnya waktu SPMB (Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru) 3 bulan lalu, aku tidak mempertimbangkan fakultas ini sebagai
pilihanku sama sekali. Lihatlah, hampir 2/3 dari isi fakultas ini laki-laki.
Makhluk sombong dan arogan.
“siapa yang bersedia jadi ketua
angkatan?” salah satu senior, entah angkatan
berapa menanyai kami, para mahasiswa baru.
Secepat kilat aku mengangkat tangan.
Sejak SMA aku terbiasa bersaing secara sehat, tidak peduli perempuan atau
laki-laki dan sejak kecil aku dididik sangat mandiri oleh ibuku yang single parent itu. Aku sama sekali tidak
mengenal ayahku. Jadi sekarang saatnya aku membuktikan bahwa perempuan juga
bisa lebih hebat dari laki-laki.
“tidak ada yang laki-laki ya??”
senior itu bertanya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan tempat
kami, para mahasiswa baru dikumpulkan.
“saya kak” suaraku lantang! Jengkel,
merasa dicueki.
“oke, kalo tidak ada yang bersedia
mengajukan diri, akan ditunjuk wakil dari tiap jurusan”
“tapi kak…”aku masih bersikeras.
Kenapa harus menunggu ada laki-laki yang mengangkat tangan?
“Dek, tugas ketua angkatan itu
berat, tanggung jawabnya besar. Jadi sebaiknya, temanmu saja yang laki-laki”
Lihat,lihat
betapa arogannya mereka. Dan sangat underestimate
terhadap kaum wanita. Lihat itu!
Seorang ketua angkatan wajib dipilih
tiap tahun di fakultas kami. Terserah dari jurusan apa. Tujuannya adalah
memilih sosok yang kelak akan dijadikan perwakilan dari angkatan itu sendiri
demi menjaga kekompakan angkatan. Tugas ketua angkatan sendiri antara lain
adalah penyalur aspirasi-aspirasi anggota angkatannya juga sebagai konektor
dengan angkatan-angkatan lain maupun organisasi-organisasi yang ada ada dalam
fakultas. Dan setahuku, selama
entah berapa puluh tahun tradisi ini berlangsung, mereka tidak pernah
mengangkat ketua angkatan yang bergender wanita. Sungguh diskriminasi yang
terang-terangan.
***
“masih
nggak terima soal kemarin, Mi?” Tiwi menyikutku sambil berbisik mencegah dosen
kalkulus mendengar suaranya. “pastilah senior-senior itu punya perttimbangan
kenapa mengharuskan laki-laki yang jadi ketua angkatan”
“entahlah
Tiw, sama sekali nggak masuk pikiranku” ketusku. Masih tetap berbisik. “kita
perempuan, ko’ dimana-mana selalu di nomor duakan ya?”
“karena
di fakultas ini perempuan minoritas,Mi. Bayangkan seorang perempuan memimpin
mahasiswa seangakatan yang sebagian
besar laki-laki. Mau jadi apa? Emang kamu sanggup?”
“alah,bahasa
pembenaran aja itu. Kalo nggak dicoba mana tau??”
“sayangnya
ini bukan ajang coba-coba,Mi” selah Tiwi “yang namanya ketua angkatan itu kan
dipilih sekali seumur hidup. Sekali maju, pantang mundur. Hehehe”
Januari,
2008
“10.000”
jawab cowok penjaga computer server warnet Kaktus, tempat ngenet favoritku. “ketua panitia untuk kegiatan sebesar itu
tanggung jawabnya juga besar. Tidak perlu kesal kalo kamu tidak terpilih”
Aku
terkejut. Kenapa orang ini tau kalo aku masih kesal karena tidak terpilih, untuk
yang kesekian kalinya, di negri para
lelaki itu sebagai ketua panitia untuk salah satu kegiatan seminar di
himpunan jurusan.
Aku
memaksa otakku mengingat-ingat wajah yang tampak familiar itu. Yah, dia memang
sering menjaga computer server tiap kali aku ngenet di tempat ini. Tapi selain disini…astaga!!!oh, iya ya...dia
akan senior di jurusanku. Kalo tidak salah angkatan 2005.
“bagaimana
mau bisa kalo tidak pernah dikasih kesempatan??” ketusku. Tidak peduli dia
senior. Kejengkelanku memuncak. “isu penyetaraan gender itu sudah klasik.
Kenapa di himpunan malah belum di terapkan sama sekali?”
“genteng
warnet ini ada yang bolong. Bisa tolong perbaiki?” tanyanya tanpa mempedulikan
argumenku.
“apa?”aku
tersentak. “kenapa suruh saya?”
“lho?
Katanya mau menuntut penyetaraan gender? Jadi nggak apa2 dong kalo suruh
perempuan perbaiki genteng juga”
“penyetaraan
gender bukan yang kayak gitu..”
“jadi?”
“penyetaraan hak”
“kenapa
cuma hak yang minta disetarakan? Kenapa kewajibannya tidak?”
Aku
tidak menjawab. Jujur, bingung hendak menjawab apa atas argument senior ini.
“gender
itu awalnya dicetuskan oleh Robert Stoller yang lebih merujuk pada perbedaan
biologis antara pria dan wanita. Bentukan alamiah kedua jenis kelamin yang
berbeda ini yang kemudian membedakan mereka dalam tugas dan tanggung jawabnya
kemudian. Kalo dalam bentukan sosial, kata siapa laki-laki dan wanita dibedakan
di kampus kita?”
“nah
itu? Kenapa cewe’ gag pernah terpilih jadi ketua angkatan atau jadi ketua
panitia acaranya himpunan?”
“kembali
lagi pada perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis. Lihatlah peran dan
fungsi ketua angkatan ataupun ketua panitia kegiatan khususnya di jurusan kita
sekarang? Bukankah keduanya benar-benar butuh tenaga ekstra? Dan secara
biologis juga, bukankah laki-laki memang lebih kuat fisiknya di banding wanita?
Semuanya kembali pada esensi dan tujuan dari kepemimpinan itu sendiri” jelasnya
panjang lebar
“kalau yang
mengandalkan akal dan kecerdasan,
silahkan kamu bersaing dan mengajukan diri. Siapapun berhak jadi
pemimpin. Meskipun saya sendiri akui, banyak diantara mahasiswa-mahasiswa di
fakultas kita yang masih kolot soal perbedaan gender ini. Tapi silahkan
buktikan kalo kamu bisa. Begitulah cara kami menghargai perempuan di kampus.
Dengan tidak membebaninya dengan hal-hal yang sekiranya di luar kemampuan fisik
kewanitaannya. Sama sekali tidak ada indikasi diskriminasi. Dalam Islam kan
juga tidak ada perbedaan. Kamu Islam kan?”
Aku mengangguk
pelan. Masuk akal juga. “eh, tapi kak…poligami…”
“sudah adzan” ia
menyela saat terdengar adzan maghrib berkumandang lalu bernjak dan menghilang
dari pandanganku.
Desember, 2009
“saya tidak tau
apa yang membuat kamu menilai laki-laki seburuk itu” gumamnnya setelah
mendengar pemaparanku yang panjang lebar mengenai betapa arogannya laki-laki
dan betapa mereka memandang kaum wanita sebelah mata.
“punya trauma masa silam ya??”
tambahnya dengan nada bercanda. Tapi dia sama sekali tidak tau kata-katanya
itu tepat menghujam jantungku.
Entah
sudah sesering apa diskusi-siskusi singkat kami mengenai perbedaan gender
terjadi. Tiap kali aku membayar bill seusai
ngenet di warnet Kaktus ini. Dan
selalu saja seperti ini. Dia duduk di balik meja servernya tanpa pernah
menatapku bahkan saat berbicara padaku. Dan aku berdiri sambil menyerahkan uang
tagihan.
“coba
saja nanti calonkan diri jadi ketua himpunan untuk periode mendatang.
Kepengurusan periode ini sudah mau berakhir kan?” tambahnya.
Hebat
sekali orang ini. Jarang terlihat di kampus apalagi himpunan, tapi informasi
seputar jurusan dan kampus update terus.
“kakak
jarang ngampus ya?” pertama kalinya pertanyaanku keluar dari topik pembicaraan
masalah gender.
Ia
diam tak menjawab.
Februari, 2010
“cieee…yang
terpilih jadi calon ketua himpunan..”Tiwi menggodaku.
Aku membalas godaannya dengan
senyum. Yah, aku akhirnya mempertimbangkan usulan penjaga warnet itu..hey aku
bahkan tidak tau namanya!!!..untuk mengajukan diri menjadi calon ketua himpunan
periode ini. Dan sejauh ini, aku terbukti bisa melulusi semua jenjang tesnya.
Dan kupastikan akulah yang pertama kali dalam sejarah, dari kaum bergender
wanita yang menjabat posisi ketua himpunan di negri para lelaki ini.
***
“hai
kak” aku menghampiri meja server warnet Kaktus.
“nomor
berapa?” tanyanya.
“saya
nggak on line”
Ia
menatap sekilas ke arahku. Lalu memalingkan kembali wajahnya ke computer server
di depannya.
“melanjutkan
soal poligami yang tempo hari pernah saya tanyakan” pancingku. Aku baru
menyadari, orang ini sama sekali tidak tertarik untuk membahas masalah selain
tentang gender.
“gag
akan pernah ada habisnya kalo membahas soal poligami. Kenapa? Karena yang
lelaki terpelintir dengan nafsunya, dan yang wanita sibuk dengan emosinya. Hal
ini tidak akan pernah bertemu. Membicarakan isi kitab suci, harus dengan hati
yang suci juga” jawabnya. Matanya tidak lepas dari computer server.
“alah.
Bahasa pembenaran lagi”
“jadi,
kamu meragukan kitab suci nih? Kamu Islam kan?”
“bukannya meragukan, tapi seolah-olah laki-laki saja yang diuntungkan”
“bukannya meragukan, tapi seolah-olah laki-laki saja yang diuntungkan”
“siapa
bilang??Dalam Al-Quran jelas ada ayat tentang itu, terlepas dari kontroversi di
masyrakat sekarang. Hal itu dibolehkan dan ada dalam dimensi keagamaan. Tidak
ada yang diuntungkan. Tidak ada yang dirugikan. Tadabburi Al-Quran. Jangan
hanya mencernanya sepotong-sepotong”
Aku
terdiam. Jujur kalo sudah menyangkut agama,
rasanya tidak ada yang bisa dibantah. Ah,, tapi tetap saja kalo soal
poligami jelas menguntungkan laki-laki.
“sebenarnya
yang jadi maslah bukan laki-laki atau perempuan. Tapi cara pandang kita saja
yang berbeda. Saat kamu bilang laki-laki dinomor wahidkan dan perempuan
sebaliknya, lalu mengapa surga adanya di telapak kaki ibu? Kenapa Rasul
memertintahkan menghormati ibumu 3 kali lebih banyak dibanding ayah. Semuanya
seimbang dalam tatanan kehidupan. Cara pandang saja yang perlu diperbaiki”
Aku
terperangah
“kamu
Islam kan?” tanyanya lagi.
Aku
mengangguk pelan. Entah untuk yang kesekian kalinya. Dan entah apa juga
alasannya bertanya seperti itu berulang-ulang.
“kalau
begitu, jangan buat saudaramu yang bukan mahram menikmati dosanya”
Kali
ini aku tercekat. Bagaikan ada paku raksasa
dihujamkan dari atas kepalaku menembus lantai warnet tempatku berdiri.
Aku tau ini
pasti sindiran tentangku yang belum juga berhijab.
***
Setelah
itu aku tidak pernah melihat penjaga warnet itu lagi. Tidak di kampus, tidak
juga di warnet. Kecuali saat ia memakai toga
merayakan kelulusannya di jurusan
beberapa waktu lalu.
Masalah
gender mulai memudar dari hari hariku sebagai ketua himpunan jurusan. Ya, aku
terpilih dan berhasil membuktikan bahwa bentukan social dan kedudukan di
masyarakat memang sama sekali tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki.
Yah, meskipun masih ada sebagian orang yang kolot pada prinsipnya mengenai
kodrat wanita yang katanya nomor dua dibanding pria. Biarkan saja. Bukankah
segala seusatu selalu memiliki dua sisi
mata uang? Dan toh, dimata Allah saja tidak ada perbedaan seperti itu. Yang
membedakan hanya kadar iman dan ketakwaan kita.
***
ALIF
Tokyo,
2013
Sakura beramai-ramai menggugurkan
daunnya membuat trotoar seperti beralaskan karpet merah muda. Musim gugur
ketigaku di negeri matahari terbit ini. Tidak sia-sia bersusah-susah mengurus
berkas S2 ke TODAI(3). Benar-benar pencapaian terbesar saat usaha kita terbayar.
Aku
mempercepat langkah kakiku. Ada kelas di kampus Nakano. Orang-orang Jepang
sangat disiplin. Terlebih Profesor Hattori. Terlambat sedikit saja pasti
disuruh tutup pintu dari luar, alias tidak di ijinkan mengikuti kelasnya!
“doumo
sumimasen(4)” saking terburu-burunya aku menabrak seorang wanita berkimono.
“kakak??”
Aku
terperanjat. Mengernyitkan kening berusaha mengenali wajah wanita yang baru
kutabrak itu.
“saya
Namirah. Masih ingat? Junior kakak waktu kuliah dulu?”
“ah..ya!!!”
seruku. Mana mungkin lupa tentang cewe’
dengan misi penyetaraan gendernya ini.
“ohisashi
buri desu ne. O genki desuka(5)” tanyanya.
“hai. Genki desu(6)” jawabku. “ngapain disini?”
“isi seminar.
Saya sudah 1 bulan di Nakano. Senpai(7) sendiri?”
“saya kuliah S2
di TODAI. Kalo boleh tau seminar apa
ya?”
“Tentang peran
wanita di era teknologi sekarang” jawabnya.
“ah,,I’m not
surprise!!” seruku bercanada. “masih penasaran soal gender rupanya”
Ia tersenyum
“Insya Allah tidak kak. Bukankah semuanya seimbang dalam tatanan kehidupan?”
Aku mengangguk menyetujui “Oh, ya..maaf sekali
saya lagi buru-buru. Ada kelas sebentar lagi. Mata ai masho(8). Assalamualaikum”
“ah, afwan
senpai…(9)” serunya mencegah langkahku.
Aku berbalik.
Kimono yang dikenakannya senada dengan warna sakura yang berguguran itu. Dan
ujung jilbabnya menari-nari tertiup angin musim
gugur.
“o namae wa??(10)”
tanyanya.
***
nb : Picture by google
Catatan
(1)Godhul
bashar, akhi (arab) : Jaga
pandangan,saudaraku.
(2)Antum
(Arab) : Anda (laki-laki)
(3)TODAI
(Tokyo Daigaku (Jepang)) : Universitas Tokyo
(4)Doumo
sumimasen (jepang) : Maaf
(5)Ohisashi
buri desu ne. Ogenki desu ka (jepang) : Lama tidak bertemu. Apa kabar?
(6)Hai.
Genki Desu (jepang) : Baik-baik saja
(7)Senpai
(jepang) : kakak tingkat / senior
(8)mata
ai masho (jepang) : sampai jumpa lagi
(9)afwan (Arab) : Maaf
(10)Onamaewa
(jepang) : siapa namamu?
No comments:
Post a Comment