(berawal dari keisengan) Cerpen Ini Pernah Dimuat di Majalah Chic Akhir Tahun 2012 tepatnya bulan Oktober edisi 127 kemaren.. :DD horray..horray..horas!!
Happy Reading :D ~
Disinilah aku sekarang. Di atas pete-pete1 kembali ke rumah. Aku sengaja memilih tempat duduk paling belakang. Di sampingku seorang wanita 40 tahuna-an sedari tadi berbicara di hanphone dengan volume yang aku yakin bisa membuat para pejalan kaki mendengarnya. Langit Makassar memerah saga. Pete-pete yang baru saja aku naiki perlahan berjalan setelah beberapa saat ngetem di depan lapangan Karebosi menunggu penumpang.
Kami berbeda visi sejak awal. Farid benar-benar konvensional dalam hal ini. Ia menginginkan calon istri yang siap menjadi Ibu rumah tangga seutuhnya, mengurusi anak dan suami sehari-harinya, sementara aku tidak dibesarkan dalam keluarga yang mengharapkan seorang wanita hanya jadi pemeran figuran dalam sebuah rumah tangga.
Happy Reading :D ~
Disinilah aku sekarang. Di atas pete-pete1 kembali ke rumah. Aku sengaja memilih tempat duduk paling belakang. Di sampingku seorang wanita 40 tahuna-an sedari tadi berbicara di hanphone dengan volume yang aku yakin bisa membuat para pejalan kaki mendengarnya. Langit Makassar memerah saga. Pete-pete yang baru saja aku naiki perlahan berjalan setelah beberapa saat ngetem di depan lapangan Karebosi menunggu penumpang.
Aku
mengusap keringat yang membanjiri keningku. Makassar di musim panas adalah
mimpi buruk. Biasanya sepulang kantor aku tidak perlu naik pete-pete untuk kembali ke kontrakanku yang terletak di bilangan
Tamalanrea, sekitar 1 jam perjalanan dari kantorku. Farid dengan setia akan
menjemputku dengan “si biru”-motor kesayangannya sejak kuliah, atau Xenia hitamnya.
Berprofesi
sebagai kontraktor tambang membuat Farid punya lebih banyak waktu senggang-Ia
hanya sibuk disaat perusahaannya memenangkan tender eksplorasi- dibanding aku
yang berprofesi sebagai Junior Project
Engineer di salah satu perusahaan bahan makanan di Makassar, yang membuatku
harus bekerja delapan sampai sepuluh jam sehari, Senin sampai Jumat
kadang-kadang sampai Sabtu bila harus mengurusi gandum impor yang didatangkan
dari luar negeri untuk bahan baku produksi di pabrik.
Aku
melirik jam tanganku sekilas. Pukul 17.20 saat pete-pete berhenti di depan Mesjid Al-Markas untuk menaikkan
penumpang. Seorang bapak tua membawa Ayam dalam keranjang memilih duduk di
sampingku.
“Tabe’ di’2” Ia menatapku
sekilas. Mungkin dilihatnya aku agak risih dengan keberadaan ayamnya.
“Silahkan
Pak” sahutku cepat sambil tersenyum.
Aku
kembali melemparkan pandanganku ke luar jendela pete-pete. Lalu lintas Makassar agak padat di jam-jam pulang kantor
seperti ini, kadang-kadang macet di beberapa titik.
“Orang
mana ki?” Bapak dengan ayamnya di
sampingku bertanya.
“Saya
Pak? Dari Manado” Jawabku
“Kerja
di sini?”
“Saya
kuliah di UNHAS3. Selesai kuliah dapat kerja disini”
“Siapa
tahu jodohnya orang sini juga” Ibu 40 tahun di depanku ikut nimbrung. Ia baru saja mengakhiri
percakapan di telpon genggamnya. “Sudah ki
menikah atau belum kah?”
“Belum
Bu, saya belum menikah”
“Nah,
kalau sudah menikah nanti tidak usah bekerja. Urus suami sama anak. Bagaimana
kah, Daeng4?” Ia berbicara
lebih kepada bapak tua dengan ayam di sampingku. “Heran saya sama
perempuan-perempuan jaman sekarang. Sudah tidak ada yang mau tinggal di rumah.
Semua mau jadi wanita karir”
Aku
tersenyum menanggapi perkataan Ibu 40 tahun itu. Hal itu sejujurnya agak menggangguku.Hal
ini jugalah yang kerap menjadi bahan pertengkaranku dengan Farid. Hubunganku dengan
Farid sudah berjalan 4 tahun. Kami sama-sama berkuliah di UNHAS tapi kami baru
dekat di tingkat akhir perkuliahan.
“Kalau
sudah menikah nanti kamu tidak usah bekerja. Saya ingin istriku di rumah urus
anak dan suami.” katanya suatu hari. “Mami juga berharap menantunya seperti
itu”. Farid menyebut Ibunya degan sebutan ‘Mami’.
“Kenapa?
Saya kuliah jauh-jauh kesini bukan untuk jadi ibu rumah tangga. Saya ingin
bekerja, saya ingin meniti karir”
“Sebenarnya
buat apa kamu bekerja? Gaji saya sekarang lebih dari cukup. Usaha saya di
Pinrang besar dan maju”
“Ini
bukan soal gaji. Ini soal pencapaian. Ini soal penghargaan kepada diri sendiri”
Sahutku.
“Kenapa
kita’5 tidak mengerti Ana?.
Dimana tanggung jawabmu sebagai seorang istri dan Ibu kalau masih bekerja di
kantor saat menikah nanti?Anak-anakmu siapa yang urus?”
Saat
itu aku terkejut. Tidak menyangka pikiran Farid sekolot itu. “Kita bisa pakai
pembantu dan Baby Sitter kan? Banyak ko’ contoh wanita yang bekerja setelah
menikah. Toh mereka bisa bagi waktunya dengan baik. Salah satunya tanteku”
“Saya
tidak percaya kamu bisa” Farid bergumam lebih kepada dirinya sendiri tanpa ia
ketahui hal itu membuatku sangat kecewa dan mulai meragukan hubungan kami.
Kami berbeda visi sejak awal. Farid benar-benar konvensional dalam hal ini. Ia menginginkan calon istri yang siap menjadi Ibu rumah tangga seutuhnya, mengurusi anak dan suami sehari-harinya, sementara aku tidak dibesarkan dalam keluarga yang mengharapkan seorang wanita hanya jadi pemeran figuran dalam sebuah rumah tangga.
Hampir
semua wanita dalam keluarga Papa yang orang Manado bekerja. Begitupun kolega
dari sebelah Mama. Sama sekali tidak ada masalah dengan wanita yang bekerja.
Berbeda dengan keluarga besar Farid yang rata-rata para wanitanya menjadi ibu
rumah tangga setelah menikah. Setia menunggu suami pulang di depan meja makan.
“Kata
teman dari Makassar, orang Makassar itu kalau cari istri kriterianya cuma satu.
Pintar usrusin anak dan suami” Suatu ketika Mama pernah berkata seperti itu. Ia bersikap
netral terhadap hubunganku dengan Farid. “Memang kamu sanggup kalau menikah
nanti cuma jadi ibu rumah tangga?Masak saja kamu tidak bisa.”
“Farid
orang Bugis Ma” bantahku.
“Sama
saja” balas Mama.
“Sudah,
cari yang lain jo” Papa ikut nimbrung setengah bercanda. “Papa mau
carikan jo? Ngana6 mau yang rupa bagaimana? Dokter? Polisi?”
Aku
merengut sebal. Papa dan Mama tertawa merasa berhasil menjahiliku. Aku tahu
mereka tidak bersungguh-sungguh dengan ucapan mereka barusan. Mereka sama
sekali tidak mempermasalahkan hubunganku dengan Farid. Mereka berdua pun sudah
pernah kupertemukan dengan Farid saat mereka jalan-jalan ke Makassar tempo hari
dan mereka menyukai Farid. Siapa yang tidak suka dengan Farid? Berparas tampan,
berperilaku sopan, berpendidikan dan telah mapan pula. Ia memiliki semua
kriteria calon menantu idaman dalam dirinya.
Farid
adalah pemuda Bugis tulen. Ada embel-embel “Andi7”
di depan namanya. Keluarga besarnya tinggal di kabupaten Pinrang. Tapi sebagian
ada yang menetap di Makassar. Para lelaki di keluarga besarnya beristrikan
seorang wanita Bugis dengan kriteria-kriteria yang disebut Mama tadi, pintar
urus rumah tangga, urus suami dan juga pintar masak.
Berbeda
dengan sikap Mama yang netral terhadap hubungan kami, Mami Farid dan keluarga
besarnya kurang menyetujui. Bukan sekali dua kali Farid dijodoh-jodohkan dengan
gadis Bugis yang masih kolega dengannya. Meski berkali-kali Farid meyakinkan
bahwa pendapatku salah, namun aku tetap yakin Mami dan keluarga besar Farid
menginginkan ia beristrikan seorang wanita Bugis. Sejak itu aku mulai sadar, aku
adalah perpaduan sempurna dari wanita yang sama sekali tidak diinginkan Maminya
sebagai menantu. Aku bukan orang Bugis, tidak bisa masak, lebih dari itu aku
tidak bersedia melepaskan karirku kalau suatu saat menikahi Farid nanti. Perfect!
“Kiri
depan, Pak!” seorang penumpang dekat pintu pete-pete
setengah berteriak membuyarkan lamunanku. Pete-pete
beregerak dan menepi.
Udara
Makassar yang berdebu dan penuh polusi membuatku bertambah gerah. Aku mengambil
selembar kertas dari dalam tas kerjaku dan mulai mengipas-ngipas.
“Kalau
perempuan bekerja itu repot. Mana urus suami? Mana urus pekerjaan? Bisa –bisa suami
dan anak-anak terlantar” Ibu 40 tahun di depanku masih berceloteh tentang
betapa pentingnya seorang wanita diam di rumah dan tidak perlu bekerja di luar.
Bapak
dengan ayamnya di sampingku senyum-senyum. Aku mengipas lebih cepat.
Benar-benar gerah. Bukan udara saja yang teras panas sekarang. Telingaku juga
mulai panas.
Puncak
pertengkaranku dengan Farid terjadi Minggu lalu saat Aku dan Farid menemani
keponakannya yang datang ke Makassar bermain di Timezone.
“Puang8 Farid, Rifai mau naik itu”
Rifai menunjuk ke arah mainan mobil-mobilan. Farid menggedongnya menaiki
mobil-mobilan yang Rifai maksud, menggesek kartu Timezone ke mesin mainannya dan seketika mobil mainan itu beregerak
naik turun.
“Jadi
bagaimana Ana? Minggu depan kamu mau kan ikut saya ke Pinrang bertemu Mami?”
Farid mengulangi pertanyaannya. “soalnya minggu depannya lagi saya ada proyek 3
bulan di Kendari”
“Far,
kamu kan tahu Mami tidak suka sama saya. Setiap ke Makassar dia tidak mau
ketemu saya”
“Justru
itu, kalau Mami tidak mau ketemu kamu, kamu yang temui dia di Pinrang. Sudah
saatnya kalian berdamai”
“Saya
tidak pernah merasa memusuhi Mami” Bantahku cepat. “Mami mu yang kayaknya
memusuhi saya. Saya belum siap ketemu Mami kalau keadaannya masih seperti ini”
“Kalau
begitu kapan siapnya?” Tanya Farid tampak mulai kesal. “Atau jangan-jangan kamu
tidak mau menikah dengan saya?”.
“Bukan
begitu Farid. Kamu tahu kan sejak awal kita sama-sama serius dengan hubungan
ini. Tapi kalau Mami mu seperti ini..”
“Jangan
bingung soal Mami, dia tinggal diyakinkan saja. Kalau melihat kita serius, dia
pasti menyetujui” kali ini Farid yang membantah.
“Bukan
Mami saja, tapi keluarga besarmu. Saya bukan orang Bugis, Farid” Seruku
tertahan.
“Ana,
yang akan menikah itu saya dan kamu, bukan keluargaku. Jadi jangan terlalu diambil
pusing” Farid berusaha menenangkanku. Semua yang berhubungan dengan keluarga
besarnya membuatku tegang belakangan ini. “Saya sudah 26 tahun. Saya sudah
tidak sabar ingin menikah. Dan satu-satunya wanita yang ingin saya nikahi cuma
kamu. Bukan gadis Bugis manapun”
“Saya
tidak siap kalau harus meninggalkan karirku yang sekarang. Saya tidak bisa
hanya jadi Ibu rumah tangga seperti maumu dan Mami. Saya sama sekali tidak
punya gambaran mengenai kehidpuan yang seperti itu. Kita berbeda visi. Kita
berbeda tujuan. Kita berbeda latar belakang” Aku mulai tidak bisa mengendalikan
emosiku.
Farid
agak terkejut mendengar perkataanku. Ia terdiam cukup lama sebelum akhirnya
menjawab. “Mengalah lah sedikit demi saya Ana. Kenapa kamu begitu keras kepala?”
Gantian
aku yang terkejut. “Saya keras kepala? Bukannya kamu yang egois? Membuat harga
mati tentang syarat istri ideal buatmu. Kalau Saya tidak bisa seperti itu bagaimana?
Jangan paksakan idealismu ke saya. Jangan paksakan saya menjadi apa yang kamu
mau. Bukannya lebih gampang kalau kamu mencari wanita lain saja yang sesuai
kriteriamu?”
“Ana!”
Farid benar-benar terkejut kali ini. Ia kehilangan kata-kata untuk diucapkan.
Aku
memilih untuk berbalik pergi dibanding menunggunya mengatakan sesuatu. Aku
pikir inilah yang terbaik. Sudah saatnya semua ini diakhiri. Sudah saatnya kami
berjalan sendiri-sendiri setelah sekian lama bertahan dengan satu alasan.
Cinta. Mungkin saat kuliah dulu hal itu masih bisa menjadi toleransi. Namun
kini, di saat segalanya lebih rasional, di saat kami sudah semakin dewasa, aku
rasa inilah keputusan paling bijak.
Saat
itu Farid tidak mengejarku. Itu sudah menjadi alasan paling kuat untuk menghapus
namanya dari kontak handphone ku,
lalu perlahan-lahan dari kehidupanku.
Maka
di atas pete-pete lah aku sekarang
berada. Sudah genap seminggu Farid tidak menghubungiku. Sudah genap seminggu
aku kembali naik pete-pete untuk
pergi dan pulang kantor. Mungkin hubunganku dengannya benar-benar telah
berakhir.
“Tidak
juga!” Tandas Bapak dengan ayamnya di sampingku “Istriku dokter hewan. Sampai
sekarang dia masih kerja juga”
Aku
menoleh ke arah Bapak itu mencoba menyimak pembicaraannya dengan Ibu 40 tahun
di depanku.
“Benarkah?”
gumamku. Merasa mendapat pembelaan terhadap ocehan si Ibu.
“Saya
peternak ayam di kampung. Dulu istriku datang untuk kasih penyuluhan tentang
vaksin. Sampai sekarang dia masih jadi dokter hewan, sekaligus ibu yang baik
untuk lima orang anak saya dan nenek yang hebat untuk tiga orang cucu saya”
Lanjut Bapak itu di susul dengan tawanya yang membuat si Ibu 40 tahun keki.
“Iya
kah? Tidak sibuk ji itu urus keluarga
sambil kerja?” Si Ibu tampak tidak mau kalah.
“Ya,
kita sebagai suami harus mengerti ki
juga toh. Kalau istri pulang malam
saya yang masak buat anak-anak” sahut si Bapak.
“Edede..istri apa mi itu?” Si Ibu tampak mencibir.
Bapak
itu hanya membalas dengan senyum. Detik berikutnya Ia menoleh padaku “Semuanya
bisa di atur. Iya kan?” Ia berbicara seolah-olah tahu dilema yang terjadi dalam
hatiku. Aku mengangguk tanpa sadar.
“Saya duluan ya. Sudah sampai. Kiri depan Pak” Ia
memberi kode kepada supir dan pete-pete
pun menepi di tepi jalan di kawasan Panaikang.
Sejak
si Bapak dengan ayamnya turun, Ibu 40 tahun itu berhenti mengoceh hingga pete-pete menepi di salah satu gang di
kawasan Tamalanrea dan aku pun turun. Rumah kontrakanku berjarak kurang lebih 200
meter dari jalan utama. Aku berjalan melintasi gang dan terkejut begitu
mendapati Farid ada di sana. Bersandar di depan pagar rumahku sambil
mengibas-ngibaskan tangannya mengusir nyamuk.
“Lama
sekali kamu pulang Ana. Saya di gigit nyamuk di luar sini” Ujar Farid. Ia
berlagak seperti tidak ada apa-apa di antara kami.
“Saya
pusing Ana”
“Pusing
kenapa?” Tanyaku ketus.
“Pusing
memikirkan nasib bangsa ini tanpa kamu di sisiku” sahutnya membuatku seketika
ingin tertawa. Dalam keadaan normal mungkin aku sudah tertawa terbahak-bahak.
“Ayo
ikut saya ke Pinrang besok. Saya akan memperkenalkan kamu sebagai calon istriku
secara resmi ke Mami”.
Aku
mengerutkan kening tanda tidak mengerti. Belum cukup jelaskah baginya setelah
yang terjadi di Timezone minggu lalu?
“Sekalian
nanti kita sama-sama jelaskan ke Mami kalau calon mantunya ini wanita karir
yang bekerja di salah satu perusahaan terbesar di Indonesia” lanjut Farid
membuatku tersentak. “kalau kamu terlalu capek untuk masak saat pulang kerja
nanti, saya yang akan masak, nanti kita bikin jadwal menyapu dan cuci baju juga.”
Aku
bingung mendengarnya. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Farid seminggu ini
tapi menurutku itu lah opsi paling masuk akal selama empat tahun hubungan kami.
“Bagaimana?
Besok ikut saya ke Pinrang kan?”
Aku
mengangguk pasti. Tiba-tiba aku merasakan udara di sekitarku menjadi lebih
sejuk. Semilir angin perlahan berhembus, mengusir udara panas kota Makassar dan
kepenatan dalam pikiranku sekaligus.
***
Catatan :
1.
Sebutan
untuk angkutan umum (Makassar)
2.
Permisi
(Makassar)
3.
Universitas
Hasanuddin
4.
Sebutan
sopan untuk laki-laki (Makassar)
5.
Sebutan
sopan untuk “Kamu” (Makassar)
6.
Kamu
(Manado)
7.
Gelar
kebangsawanan (Bugis)
8.
Sebutan
sopan kepada yang lebih tua (Bugis)
No comments:
Post a Comment