TERISOLASI
Cerpen Adania Shibli
Untuk menjauh dari
keramaian ibu kota, dengan atmosfernya yang tidak sehat dan tidak aman, serta untuk
mencari sedikit ketenangan serta kedamaian, ia pindah ke tempat jauh, ke sebuah
rumah yang terisolasi di ujung paling utara kota, dekat dengan sungai. Sebuah
pekarangan terbengkalai mengantarai pinggiran sungai dan teras rumah itu. Pekarangannya
kosong dan terlihat begitu luas. Terasnya sendiri, yang hanya satu meter di
atas tanah, juga sangat luas, seluas langit, dan begitu pula jendelanya, tampak
seperti lukisan pemandangan di mana anak-anak bisa melongok keluar.
Sumber gambar dari sini |
Ia akan memandangi cahaya
pertama yang menyentuh pucuk pohon dalam barisan dan menyebar ke bagian
pohonnya lainnya, lalu ke pohon sebelahnya, lalu ke seluruh barisan pohon, lalu
ke pekarangan. Seperti halnya cahaya itu, ia merasa mudah saja untuk bergerak
bebas tanpa ada yang menahan. Kadang-kadang ia bahkan melompat turun dari teras
untuk berkeliling di tempat-tempat yang dijatuhi cahaya matahari sebelum
kembali berteduh. Ini adalah kedamaian yang sudah lama ia nantikan dan yang
saat ini berganti menantikannya setiap kali ia melangkah ke teras atau mendekati
jendela untuk melihat ke luar.
Suatu malam, ia terbangun
dengan suara ratapan yang yang aneh. Awalnya, ia tidak bisa memprediksi darimana
suara itu berasal atau bagaimana suara itu bisa sampai terdengar. Ratapan itu
tajam dan berulang-ulang. Seperti suara burung yang belum pernah ia dengar
sebelumnya. Suara itu seolah berasal dari luar jendela. Burung jenis apa yang
berkicau selarut ini? suara aneh itu terus terdengar hingga akhirnya ia kembali
terlelap.
Di pagi harinya saat ia
menyibak gorden, teras, pekarangan dan barisan pohon seketika menjadi
pemandangan yang ia lihat, segalanya terlihat luas, tenang, damai seperti
sebelumnya, kecuali untuk angin kecil yang seolah tengah mencoba menghalangi
matahari untuk mencapai puncak pohon pertama tempat di mana dahan-dahannya berantakan.
Ingatan akan suara misterius
menyerupai kicauan burung di malam hari mungkin sudah hilang sepenuhnya jika
saja ia tidak terbangun beberapa malam kemudian dengan suara lain, yang lebih
aneh dan lebih keras daripada sebelumnya. Kali ini, bagaimanapun juga, ia merasa
sangat ketakutan.
Terdengar bunyi benturan
logam beradu, terasa sangat dekat, seperti berasal dari dalam kamarnya sendiri.
Tetapi ketika ia membuka matanya, suara itu mereda, menjauh ke arah teras. Ia segera
beranjak dari tempat tidur dan menyalakan lampu, agar siapa pun yang
menimbulkan kegaduhan itu tahu bahwa mereka baru saja membangunkan seseorang di
dalam rumah dan mereka sebaiknya segera pergi. Tak lama setelah ia menyalakan
lampu, suara itu pun lenyap. Ia menuju ke pintu teras dan berdiri di sana tanpa
membukanya, ragu-ragu apakah orang yang membuat kegaduhan tadi masih ada di
sana atau sudah berlari melintasi pekarangan dan bersembunyi di belakang
pepohonan. Hanya setelah ia merasa yakin dengan keheningan di sekelilingnya, dan
tidak ada lagi suara-suara yang timbul, ia kembali ke kamarnya untuk tidur
meskipun kegelishan dan ketakuan yang ia rasakan belum juga hilang.
Keesokan paginya, sinar
matahari belum mencapai puncak pohon pertama ketika ia membuka pintu dan keluar
untuk memeriksa teras. Tidak ada hal yang mencurigakan, tidak ada goresan atau
kerusakan pada saluran pipa pembuangan, yang merupakan satu-satunya benda logam
di sana. Semuanya terlihat baik-baik saja. Ia kembali ke dalam untuk membuat kopi.
Berencana untuk meminumnya sambil duduk-duduk seperti biasanya, memandangi
matahari terbit yang muncul di antara cahaya-cahaya di puncak pohon, berharap
hal itu dapat menyingkirkan kegelisahan yang ia rasakan tadi malam. Ketika ia
kembali, sinar matahari sudah membanjiri barisan pohon, tetapi pemandangan
tenang di sekitarnya tetap saja mampu menghadirkan kedamaian dan mengusir
kegelisahan dari malam sebelumnya sehingga yang tersisa hanya sedikit kebingungan
saja tentang apa yang sebenarnya terjadi tadi malam.
Hingga pada suatu pagi,
di mana terlihat seperti pagi biasa, ia tiba-tiba saja diserang kegelisahan dan
kecemasan yang tak dapat ia jelaskan. Ia tidak mengerti dari mana perasaan itu
berasal hingga ia melihat keluar jendela. Pada mulanya ia tidak begitu yakin apa yang
sedang ia saksikan, atau ia tidak yakin apakah yang tengah ia lihat itu
benar-benar berada di sana. Di tengah pemandangan yang luas dan lengang itu, di
ujung pekarangan, di sebelah barisan pepohonan, berdiri sebuah bayangan gelap.
Ketika dilihat dengan saksama, bayangan itu mewujud menjadi sesosok makhluk
besar yang tengah balas menatapnya. Ketika ia sudah yakin dengan apa tengah
dilihatnya, ia segera pergi dari jendela dan bersembunyi untuk menghindari
tatapan si makhluk besar. Pagi itu, alih-alih pergi ke teras seperti yang selalu
ia lakukan sejak pindah ke rumah tersebut, ia justru membawa kopinya ke dalam
kamar.
Setelah mengumpulkan
keberanaian, ia kembali ke jendela untuk melihat sosok gelap di luar sana tetapi,
keadaan tampaknya telah kembali normal. Tak ada tanda-tanada keberadaan makhluk
raksasa seperti yang sebelumnya ia saksikan. Namun, ketakutan yang terlanjur
tercipta di dalam dirinya cukup besar sehingga meninggalkan kesan buruk pada
pemandangan di luar sana.
Beberapa hari setelah
peristiwa tersebut, dari arah belakang rumah kembali terdengar bunyi gaduh yang
memekakkan telinga, sehingga untuk berdiri di samping jendela demi melihat apa
yang tengah terjadi serasa mustahil. Tukang besi dan asistennya sudah tiba di pagi
hari dan telah selesai dengan pekerjaan mereka membuat pagar mengelilingi teras
pada siang hari. Ketika mereka pergi, mereka tidak hanya meninggalkan puing-puing
besi di mana-mana, tetapi juga pemandangan yang benar-benar baru.
Pekarangan itu tidak lagi
bisa terlihat seluruhnya; sekarang yang bisa ia lihat hanyalah pemandangan di kejauhan,
di mana barisan puncak pohon bersentuhan dengan langit. Kemudian, ketika ia
menarik kursi dan duduk di teras, bahkan pemandangan lama tak tersisa sedikit
pun. Yang tersisa hanyalah lapisan tipis langit di sela-sela ujung pagar dan
atap. Awalnya, ia mencoba melihat melalui celah-celah
sempit antara batang-batang pagar, tetapi melakukan hal itu segera membuat matanya
lelah. Akhirnya, ia terbiasa hanya menatap langit, berhati-hati untuk tidak
menoleh ke atas atau ke bawah sedikit pun, jika tidak, garis pandangnya akan
bertabrakan dengan atap teras, yang bahkan tidak pernah ia perhatikan sebelum
hari ini, atau pagar logam yang gelap. Namun, paling tidak, ia merasa aman
lagi.
Tapi kedamaian itu tidak berlangsung lama;
setelah beberapa malam, ia kembali terbangun oleh ratapan makhluk aneh tersebut,
kali ini lebih keras dari sebelumnya. Kemudian, beberapa malam setelahnya, saat
ia sedang tidur, dentuman yang membahana menusuk kepalanya, lebih keras dari
sebelumnya, datang dari sepanjang pagar.
Sejak malam itu, begitu selesai membuat kopi di pagi hari, ia akan segera kembali ke kamar tidurnya dan berdiri di dekat jendela besar yang menghadap keluar, karena pemandangan dari sana lebih luas daripada teras yang dikelilingi pagar, dan akan mudah baginya untuk melihat siluet gelap raksasa itu kalau makhluk tersebut datang lagi. Ia sudah bersiap untuk itu.
Diterjemahkan dari Bahasa
Arab oleh Katharine Halls
Dipublikasikan pada 3
November 2020
Diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia oleh Sabrina Lasama
Adania Shibli, lahir pada tahun 1974 di Palestina,
telah menulis novel, naskah drama, cerita pendek, dan esai naratif, yang
diterbitkan dalam berbagai antologi, buku seni, dan majalah sastra dan budaya
dalam berbagai bahasa. Novel terbarunya, "Minor Detail," diterbitkan
di Amerika Serikat oleh New Directions pada tahun 2020, dalam terjemahan oleh
Elisabeth Jacquette, dan telah diterjemahkan ke banyak bahasa, termasuk
terjemahan ke bahasa Jerman (diterbitkan oleh Berenberg Verlag). "Minor
Detail" menjadi finalist dalam National Book Award dan masuk dalam daftar
panjang untuk International Booker Prize tahun 2021.