Dilihat dari bentuknya maka seluruh penduduk kota sepakat bahwa jenis kelamin pohon beringin tua di tengah alun-alun ini adalah perempuan. Bagiku, cabangnya yang rimbun di bagian atas sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa pohon itu memang benar berjenis kelamin perempuan. Bukankah pikiran perempuan selalu lebih dari dua cabang? Karena posturnya yang tambun, pohon itu kerap dipanggil Nyonya Besar.
Nyonya Besar selalu membanggakan usianya yang hampir 20 dasawarsa. Tidak ada manusia yang mampu mengimbangi umurnya, maka ia akan murka jika ada manusia yang tidak menghormatinya.
"Aku jadi tambun begini karena menyerap begitu banyak air." Katanya suatu ketika.
Aku sedang duduk-duduk di bawah naungannya ketika itu.
"Kau jadi berlemak begini karena suka memakan daging manusia." Seseorang membantah. "Terlebih yang perutnya buncit. Makanan favoritmu."
Nyonya besar tergelak hingga seluruh tubuhnya bergetar dan dedaunan rontok satu-satu dari kepalanya.
Seluruh penjuru kota paham tabiat si Nyonya Besar. Ia sangat penyayang dan welas asih seperti kebanyakan wanita pada umumnya. Ia pun memiliki naluri keibuan itu. Pada ranting rimbunnya tinggal berbagai jenis burung dan serangga. Ia gemar memberikan kehidupan bagi makhluk lain. Di lain pihak pun gemar memangsa manusia. Terutama manusia-manusia rakus yang punya niat jahat terhadapnya. Manusia rakus teridentifikasi dari perutnya yang buncit.
Aku memandang sekilas ke selusur akar yang jadi tempatku duduk membaca buku di sore itu. Tak jauh dari sana ada potongan kaki yang menyembul ke permukaan. Itu pasti kaki milik pria buncit yang dimakannya sore kemarin.
"Oops, itu sisa makanku. Belum tercerna semua."Nyonya besar menjawab rasa penasaranku diiikuti selusur akarnya yang menggeliat meremukkan potongan kaki tadi dan melesakkannya ke dalam tanah.
Aku tertegun sejenak sebelum kembali menekuri bukuku.
Nyonya Besar Berbadan tambun. Perlu 10 orang dewasa saling merentangkan tangan melingkar untuk memeluknya. Dengan adanya dia alun-alun kota menjadi sangat rindang. Kontras dengan kondisi sekitar yang dipenuhi hutan beton dan menara-menara tinggi menjulang. Di kota ini, satu-satunya pohon yang tersisa hanyalah si Nyonya Besar. Kau bisa menjumpai pohon lain di kota sebelah. Kalau tidak salah ada dua. Si Tua Ketapang dan Si Jangkung Jati. Di kota sebelahnya kota sebelah ada juga Sam Si Samanea. Mereka semuanya gemar memberikan kehidupan bagi burung dan serangga, namun hanya si Nyonya Besar yang doyan memakan manusia buncit.
"Lama-lama kau akan ditebang kalau masih saja makan manusia." Lelaki itu kembali membuka suara menghentikan gelak tawa si Nyonya Besar.
"Sudah. Semuanya berakhir sama. Habis kusantap. Hahahahahah." Nyonya Besar menjawab santai.
Tubuh Nyonya Besar yang seukuran rentangan tangan 10 orang dewasa membuatnya menjadi incaran para manusia rakus untuk ditebang. Jika tempat Nyonya Besar berpijak itu dijadikan lahan parkir mol yang ada di depannya, maka akan sangat strategis bagi pengembangan mol tersebut.
"Lain kali mereka akan menggunakan alat yang lebih canggih untuk menebangmu, sehingga kau tidak punya waktu, jangankan untuk memakan mereka, meranggaspun tidak." Suara si lelaki tua. Ia beranjak.
"Oh, terimakasih sudah mengingatkan. Saat itu terjadi aku ingin kau membuat bahtera." Nyonya Besar menyahuti punggung lelaki tua.
Dedaunan berguguran dari tubuh Nyonya Besar. Menmbuat tanah menjadi seolah berlapis karpet hijau.
"Ini bulan Desember. Belum waktunya kau meranggas, Nyonya." Gumamku pelan.
"Oh, dear. Maafkan aku. Ini bukan mauku. Bumi sudah semakin panas. Cuaca sudah berubah dengan cara yang paling ekstrim. Tidak ada lagi hujan di bulan Desember."Ujar Nyonya. "Aku perlu meranggas untuk menjaga kestabilan metabolismeku."
Aku mengangguk paham. Seperti halnya perempuan yang mengalami siklus menstruasi, Nyonya Besar juga punya siklus meranggas.
"Oh ya dear, aku juga ingin kau membuat bahtera yang cukup untuk memuat keluargamu."
"Kenapa dengan bahtera itu Nyonya?"
"Buatlah, hanya untuk berjaga-jaga."
"Baik, Nyonya," Ucapku sebelum beranjak.
"Kau manis sekali. Sini kukecup dulu."
Aku mengangsurkan tubuh mendekap Nyonya Besar. Tepat di jidatnya ada lubang tempat burung hantu bersarang.
***
3 bulan setelah pelukan itu Nyonya Besar ditebang dengan buldozer oleh sekelompok manusia rakus berperut buncit. 3 hari berturut-turut turun hujan deras tanpa jeda. Bendungan di pinggir kota tak mampu menampung air bah. Pun, tak ada lagi akar-akar Nyonya Besar yang menahan laju air.
Bahtera yang kubuat sudah siap kugunakan. Nanti jika air bah telah setinggi langit-langit. Sekarang baru setinggi gagang pintu.